Di tengah keindahan bahari Indonesia yang melimpah ruah dengan ribuan pulau, tersembunyi sebuah ironi: kunjungan atau bahkan sekadar klaim atas sebuah pulau, betapapun kecilnya, seringkali memicu sengketa yang kompleks. Fenomena “berkunjung pulau memicu sengketa apa sana” bukan sekadar isu administratif, melainkan cerminan dari tarik-menarik kepentingan ekonomi, historis, dan kedaulatan yang mendalam. Dari perairan Aceh hingga Laut Natuna Utara, bahkan hingga kancah internasional, polemik kepemilikan pulau telah menjadi “bom waktu” yang membutuhkan penanganan serius dan strategis. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa sengketa pulau terus bermunculan, di mana saja kasus-kasus signifikan terjadi, serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai penyelesaian yang berkelanjutan.
Sengketa Pulau di Indonesia: Potret Konflik Batas Wilayah yang Berulang
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, secara inheren rentan terhadap sengketa batas wilayah, khususnya pulau-pulau kecil. Konflik ini tidak hanya terjadi antarnegara, tetapi juga seringkali antar-pemerintah daerah di dalam negeri.
Kasus Aceh dan Sumatera Utara: Empat Pulau yang Menjadi Sorotan
Baru-baru ini, perhatian publik tertuju pada sengketa kepemilikan empat pulau tak berpenghuni di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara: Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Polemik ini mereda setelah Presiden Prabowo Subianto memutuskan bahwa keempat pulau tersebut secara administratif masuk wilayah Aceh, berdasarkan dokumen dan data pendukung yang dimiliki pemerintah pusat. Keputusan ini disambut gembira oleh masyarakat lokal, seperti Saleh Meha dari Tapanuli Tengah, yang mengutamakan rasa aman dan damai di tengah kebersamaan sebagai bagian dari NKRI.
Sebelumnya, sengketa memanas setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 (dan juga Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022) yang menetapkan empat pulau itu masuk wilayah Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Tapanuli Tengah. Padahal, secara historis dan administratif, keempat pulau itu sebelumnya diakui sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, bersikukuh bahwa Aceh memiliki kewenangan atas pulau-pulau tersebut, merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dan Perjanjian Helsinki 2005. Sementara itu, Kemendagri berargumen bahwa pulau-pulau tersebut secara geografis lebih dekat dengan Tapanuli Tengah, meski faktor kedekatan geografis bukan satu-satunya penentu.
Kondisi fisik keempat pulau ini bervariasi. Pulau Panjang, yang terluas (45,81 hektare), memiliki makam “Raja Udah Bakongan” dan “Hamba Allah” yang dihormati nelayan setempat sebagai tempat singgah saat badai. Pulau Lipan, yang lebarnya sekitar 30 meter dan panjang 100 meter, unik karena bisa timbul tenggelam tergantung pasang surut air laut dan tidak ditumbuhi tanaman signifikan. Sementara Pulau Mangkir Ketek (6,36 hektare) dan Mangkir Gadang (7,48 hektare) memiliki pasir putih, patahan terumbu karang, dan beberapa pohon kelapa serta cemara. Keberadaan tugu penanda wilayah Aceh di Mangkir Gadang, meski tak terawat, menjadi bukti klaim historis Aceh. Potensi ekonomi, terutama sumber daya alam seperti perikanan dan dugaan cadangan migas di dekat Wilayah Kerja (WK) Offshore West Aceh (OSWA), menjadi salah satu faktor pendorong di balik sengketa ini. Masyarakat lokal berharap setelah sengketa usai, ada pengelolaan serius untuk potensi pariwisata dan infrastruktur dasar seperti musala dan dermaga.
Polemik 13 Pulau Trenggalek-Tulungagung: Bom Waktu yang Berdenyut
Tak lama setelah sengketa Aceh-Sumut mereda, muncul lagi kasus serupa di Jawa Timur, melibatkan 13 pulau yang diperebutkan oleh Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung. Pulau-pulau seperti Pulau Anak Tamengan, Pulau Anakan, Pulau Boyolangu, hingga Pulau Solimo menjadi objek sengketa. Konflik ini mencuat sejak terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Tulungagung Nomor 4 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang memasukkan 13 pulau tersebut ke dalam wilayahnya, padahal Pemkab Trenggalek bersikukuh pulau-pulau itu adalah miliknya berdasarkan peta RTRW yang selaras dengan RTRW Provinsi.
Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha menyebut fenomena ini sebagai “bom waktu”. Ia menekankan bahwa ketidakjelasan administrasi pulau-pulau kecil berisiko memicu konflik horizontal antardaerah, mengganggu pelayanan publik, dan menghambat pembangunan. Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menyatakan Kemendagri berhati-hati dalam mengevaluasi sengketa ini, dengan menelusuri data geografis, historis, dan kesepakatan masa lalu.
Akar Masalah Sengketa Batas Wilayah Antar-Daerah
Ketidakjelasan batas wilayah di Indonesia, yang memicu berbagai sengketa, memiliki akar yang kompleks:
- Undang-Undang Pembentukan Daerah yang Tidak Akurat: Banyak UU pembentukan provinsi, kabupaten, atau kota yang hanya menyebutkan batas secara umum (misalnya, “sebelah utara dengan Laut Jawa”) tanpa dilengkapi deskripsi jelas dan titik koordinat yang akurat. Contohnya adalah sengketa 22 pulau di Kepulauan Seribu antara DKI Jakarta dan Banten pada 1999-2007.
- Efek Pemekaran Wilayah Pasca-Reformasi: Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, menjelaskan bahwa ledakan pemekaran daerah sejak 1999 tanpa didukung teknologi pemetaan yang canggih saat itu, menyebabkan banyak daerah otonom baru terbentuk hanya dengan sketsa tanpa peta yang akurat. Hal ini menciptakan tumpang tindih klaim yang berkelanjutan.
- Beragam Klaim: Daerah seringkali mendasarkan klaimnya pada aspek historis, klaim pengelolaan yang sudah dilakukan, atau bahkan komposisi etnis penduduk.
Sengketa Pulau di Kancah Internasional: Cerminan Geopolitik dan Ekonomi
Sengketa kepemilikan pulau bukan hanya fenomena domestik Indonesia, tetapi juga isu global yang sering kali menjadi titik panas geopolitik, terutama karena nilai strategis dan kekayaan sumber daya alamnya.
Sipadan dan Ligitan: Pelajaran dari Mahkamah Internasional
Salah satu kasus sengketa pulau paling monumental bagi Indonesia adalah perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia. Kedua pulau kecil di timur laut Kalimantan ini, meskipun tidak berpenghuni, memiliki nilai strategis dan potensi sumber daya minyak yang signifikan. Sengketa ini berlangsung sejak 1967 dan pada akhirnya dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2002. ICJ memutuskan kepemilikan jatuh ke tangan Malaysia, bukan karena klaim historis yang lebih kuat, melainkan berdasarkan prinsip effective occupation—bukti bahwa Inggris (sebagai penjajah Malaysia) lebih dulu melakukan tindakan nyata seperti pembangunan mercusuar dan konservasi penyu di pulau tersebut, sementara Belanda (penjajah Indonesia) hanya singgah tanpa aktivitas signifikan. Keputusan ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia mengenai pentingnya data dan bukti konkret dalam klaim wilayah.
Dokdo/Takeshima dan Kuril: Sengketa Abadi di Asia
Di Asia Timur, sengketa pulau tak berpenghuni juga menjadi sumber ketegangan diplomatik antara negara-negara tetangga:
- Pulau Dokdo (Korea Selatan) / Takeshima (Jepang): Sengketa atas kepulauan kecil ini di Laut Jepang (Laut Timur) telah berlangsung sejak 1905. Korea Selatan mengklaim Dokdo berdasarkan geografis, hukum internasional, dan sejarah, sementara Jepang juga menyatakan pulau tersebut miliknya. Pulau ini, meskipun kecil, kaya akan sumber daya laut, perikanan, dan cadangan gas. Kunjungan Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak ke pulau tersebut pada 2012 memicu kemarahan Jepang, yang kemudian menarik duta besarnya dari Seoul. Jepang bersikukuh membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional, namun Korea Selatan menolak, memilih jalur perundingan bilateral.
- Kepulauan Kuril (Rusia) / Wilayah Utara (Jepang): Kepulauan ini direbut Rusia dari Jepang pada akhir Perang Dunia II. Meskipun kaya akan endapan emas, perak, dan ikan di perairan sekitarnya, sengketa ini mencegah Rusia dan Jepang menandatangani perjanjian damai pasca-perang. Kunjungan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev ke Pulau Kunashir pada 2012 dan 2010 memicu protes keras dari Jepang, menunjukkan sensitivitas isu ini.
Laut Natuna Utara: Kedaulatan di Tengah Klaim Global
Indonesia secara resmi bukanlah negara pengklaim terhadap gugusan kepulauan di Laut Cina Selatan yang disengketakan oleh beberapa negara (Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, Taiwan). Namun, sejak 2010, Indonesia “terlibat” setelah Tiongkok secara sepihak mengklaim hampir 90% wilayah Laut Cina Selatan melalui “Sembilan Garis Putus-putus” (Nine-Dashed Line), yang mencakup Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di utara Kepulauan Natuna.
Indonesia berpegang teguh pada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) yang mengakui ZEE dan menolak klaim Tiongkok atas dasar traditional fishing ground yang tidak memiliki landasan hukum internasional. Untuk menegaskan kedaulatannya, Indonesia telah mengambil beberapa langkah:
- Protes Diplomatik: Melayangkan nota protes kepada Tiongkok.
- Penegasan Kedaulatan: Presiden Joko Widodo mengunjungi Laut Natuna Utara pada 2016 dan 2020 dengan KRI, mengirim sinyal kuat bahwa Indonesia akan melindungi hak kedaulatan di ZEE-nya.
- Perubahan Nama: Pada 2017, Indonesia secara resmi mengganti nama sebagian perairan Laut Cina Selatan di ZEE-nya menjadi Laut Natuna Utara, sesuai dengan temuan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016 yang menyatakan klaim Tiongkok tidak memiliki dasar hukum.
- Peningkatan Pengawasan: TNI melakukan operasi penjagaan intensif.
- Peningkatan Ekonomi Lokal: Mengembangkan kegiatan ekonomi di sekitar wilayah perairan Natuna.
Melalui Forum Regional ASEAN, Indonesia juga proaktif mendorong penyelesaian damai sengketa di Laut Cina Selatan, yang menghasilkan Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) dan upaya perumusan Code of Conduct (CoC) untuk mengatur tata perilaku negara-negara yang bersengketa.
Mengapa Pulau-Pulau Memicu Sengketa? Faktor Pendorong Utama
Fenomena “berkunjung pulau memicu sengketa apa sana” tidak terjadi tanpa sebab. Ada beberapa faktor fundamental yang secara konsisten menjadi pemicu utama:
- Potensi Sumber Daya Alam (SDA): Ini adalah faktor paling dominan. Pulau-pulau, bahkan yang tak berpenghuni, seringkali menjadi pintu gerbang menuju kekayaan bawah laut berupa cadangan minyak dan gas bumi (migas), perikanan yang melimpah, atau deposit mineral berharga. Kasus Aceh-Sumut (dugaan migas), Sipadan-Ligitan (minyak), Dokdo/Takeshima (ikan, gas), Kuril (emas, perak, ikan), dan Laut Natuna Utara (migas, perikanan) adalah bukti nyata bahwa potensi ekonomi adalah magnet konflik.
- Posisi Strategis dan Geopolitik: Pulau-pulau, terutama yang terluar atau berada di jalur pelayaran internasional penting, memiliki nilai strategis untuk pertahanan, pengawasan maritim, atau bahkan klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang lebih luas. Pulau Berhala (Kepri-Jambi) dan Laut Natuna Utara adalah contoh di mana posisi geografis memicu perebutan.
- Ketidakjelasan Batas Administratif: Terutama di Indonesia, banyak undang-undang pembentukan daerah otonom baru pasca-reformasi tidak dilengkapi dengan deskripsi batas wilayah yang jelas dan titik koordinat yang akurat. Hal ini menciptakan “abu-abu” administratif yang mudah disalahartikan atau diklaim oleh pihak yang berbeda.
- Klaim Historis vs. Geografis/Hukum Internasional: Seringkali terjadi perbedaan interpretasi antara klaim berdasarkan sejarah panjang kepemilikan, adat istiadat, atau perjanjian masa lalu, dengan klaim berdasarkan data geografis modern atau prinsip-prinsip hukum internasional seperti UNCLOS 1982. Kasus Aceh-Sumut dengan Perjanjian Helsinki dan Dokdo/Takeshima adalah contoh klasik dari tarik-menarik ini.
- Kepentingan Politik dan Kedaulatan: Pulau-pulau kecil sering menjadi simbol kedaulatan dan identitas nasional atau regional. Perebutan kepemilikan dapat memicu sentimen nasionalisme yang kuat, membuat penyelesaian menjadi sangat politis dan sensitif.
Menuju Solusi Berkelanjutan: Mengatasi Sengketa Pulau
Mengingat kompleksitas dan dampak potensial dari sengketa pulau—mulai dari ketegangan antar-daerah hingga ancaman disintegrasi—langkah-langkah konkret dan komprehensif sangat diperlukan:
- Pendataan dan Pemetaan Batas Wilayah yang Akurat: Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus lebih proaktif dan intensif dalam mendata serta memetakan seluruh pulau yang berpotensi atau sedang disengketakan. Pendataan ini harus berbasis data geospasial yang akurat dan disepakati oleh semua pihak, melibatkan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, hingga Kementerian Desa untuk batas desa.
- Revisi Undang-Undang Pembentukan Daerah: UU pembentukan daerah otonom yang ada harus segera direvisi atau diundangkan kembali dengan menambahkan deskripsi batas wilayah yang sangat jelas, lengkap dengan titik koordinat yang akurat dan berbasis digital. Ini akan memberikan kepastian hukum dan mencegah tumpang tindih klaim di masa depan.
- Implementasi One Map Policy (Kebijakan Satu Peta): Kebijakan satu peta yang terintegrasi di BIG sangat krusial. Data ini harus terkoneksi dengan batas sektoral lainnya (kehutanan, kelautan, perairan) untuk memastikan konsistensi dan akurasi data batas wilayah di seluruh Indonesia.
- Pemanfaatan Teknologi dan Data Historis: Penggunaan teknologi peta digital dan data historis, termasuk peta kolonial yang tersimpan di lembaga arsip internasional, dapat membantu dalam penentuan batas wilayah yang lebih akurat dan berdasarkan fakta.
- Mengedepankan Diplomasi dan Hukum Internasional: Untuk sengketa antarnegara, jalur diplomasi damai dan mekanisme penyelesaian sengketa melalui hukum internasional (seperti ICJ) harus selalu menjadi prioritas. Indonesia telah menunjukkan pendekatan ini dalam kasus Sipadan-Ligitan dan Laut Natuna Utara.
- Peningkatan Kesadaran dan Kolaborasi Lintas Sektor: Masyarakat perlu memahami pentingnya isu batas wilayah bagi kedaulatan negara. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat sipil sangat penting dalam proses identifikasi, verifikasi, dan penyelesaian sengketa.
Kesimpulan
Fenomena “berkunjung pulau memicu sengketa apa sana” adalah cerminan dari dinamika kompleks antara kedaulatan, sumber daya alam, sejarah, dan administrasi. Baik di tingkat nasional maupun internasional, pulau-pulau kecil yang seringkali tak berpenghuni ini ternyata menyimpan potensi konflik besar yang jika dibiarkan dapat mengancam stabilitas dan integritas wilayah.
Penyelesaian sengketa pulau bukan hanya tentang garis di peta, melainkan tentang kepastian hukum, keadilan, dan keberlanjutan pembangunan. Kasus-kasus seperti Aceh-Sumut, Trenggalek-Tulungagung, Sipadan-Ligitan, Dokdo/Takeshima, Kuril, dan Laut Natuna Utara mengajarkan kita bahwa pendekatan yang komprehensif—menggabungkan data geospasial akurat, landasan hukum yang kuat, pemahaman historis, dan diplomasi yang bijaksana—adalah kunci. Dengan langkah-langkah proaktif dan kolaboratif, harapan untuk menciptakan kejelasan batas wilayah dan mencegah “bom waktu” sengketa dapat terwujud, demi kedaulatan dan kemakmuran bangsa.