Korupsi Chromebook: Cermin Buram Pendidikan Indonesia, Nadiem Makarim Tersangka, dan Janji Digitalisasi yang Tergadai

Dipublikasikan 8 September 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda membayangkan sebuah proyek ambisius yang digadang-gadang akan membawa pendidikan Indonesia ke era digital, namun justru berakhir dengan kasus korupsi dan kerugian negara triliunan rupiah? Kisah ini, seperti yang diungkapkan di Kompasiana, adalah “cermin buram pendidikan kita” yang kembali mencoreng harapan. Kasus pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek telah menyeret nama mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, sebagai tersangka. Artikel ini akan mengupas tuntas kronologi kasus, dampak, serta pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kejadian yang memilukan ini.

Korupsi Chromebook: Cermin Buram Pendidikan Indonesia, Nadiem Makarim Tersangka, dan Janji Digitalisasi yang Tergadai

Ilustrasi kasus korupsi Chromebook yang menyeret nama Nadiem Makarim menjadi sorotan, mengungkap buramnya pendidikan digital Indonesia dan janji modernisasi yang terancam batal.

Mari kita selami lebih dalam bagaimana sebuah niat mulia untuk digitalisasi pendidikan bisa berbelok arah menjadi pusaran masalah hukum yang kompleks.

Kronologi Kasus Korupsi Chromebook: Dari Grup WhatsApp hingga Rutan

Dugaan korupsi Chromebook ini bukanlah cerita sehari dua hari. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melakukan penyelidikan intensif sejak Mei 2025, yang akhirnya menuntun pada penetapan lima tersangka, termasuk Nadiem Makarim sendiri.

Awal Mula Ide Digitalisasi: “Mas Menteri Core Team”

Jauh sebelum Nadiem resmi dilantik sebagai menteri, benih-benih proyek pengadaan laptop ini sudah mulai disemai. Sekitar Agustus 2019, sebuah grup WhatsApp bernama “Mas Menteri Core Team” terbentuk, beranggotakan Nadiem, Jurist Tan (yang kemudian jadi staf khususnya), dan Fiona Handayani. Di grup inilah, rencana besar program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek mulai dibahas secara intensif, seolah mempersiapkan landasan untuk masa depan.

Pertemuan Rahasia dan Arahan Khusus

Setelah Nadiem resmi menjabat pada 19 Oktober 2019, koordinasi terkait proyek ini semakin gencar. Jurist Tan, staf khusus Nadiem, aktif berkomunikasi dengan konsultan teknologi dari luar, Ibrahim Arief, untuk membahas pengadaan laptop berbasis Chromebook. Yang mengejutkan, Nadiem juga diketahui beberapa kali bertemu langsung dengan pihak Google Indonesia pada Februari 2020. Dari serangkaian pertemuan tersebut, disepakati bahwa sistem operasi berbasis Chrome atau ChromeOS dan Chrome Devices Management (CDM) akan menjadi inti proyek pengadaan Alat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Puncaknya, pada 6 Mei 2020, Nadiem mengadakan rapat tertutup via Zoom bersama jajarannya. Dalam rapat yang meminta pesertanya menggunakan headset ini, Nadiem sudah memberikan arahan spesifik untuk menggunakan Chrome OS, padahal proses pengadaan TIK belum resmi dimulai.

Mengunci Spesifikasi di Tengah Keraguan

Keputusan untuk mengunci spesifikasi pada Chromebook ini menuai tanda tanya besar. Pasalnya, pada tahun 2019, uji coba pengadaan Chromebook telah dilakukan dan hasilnya dinilai gagal. Laptop ini dianggap tidak cocok untuk sekolah-sekolah di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) karena ketergantungan pada jaringan internet. Mantan Mendikbud sebelumnya, Muhadjir Effendy, bahkan tidak menanggapi surat dari Google terkait partisipasi pengadaan ini karena hasil uji coba yang kurang memuaskan.

Namun, di era Nadiem, surat Google justru dijawab dan dilanjutkan. Atas perintah Nadiem, para pejabat Kemendikbud, seperti Direktur SD Sri Wahyuningsih dan Direktur SMP Mulyatsyah, menyusun petunjuk teknis dan pelaksanaan yang secara spesifik mengunci penggunaan Chrome OS. Pada Februari 2021, Nadiem bahkan menerbitkan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 yang kembali mencantumkan spesifikasi Chrome OS, melanggar beberapa regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah.

Kerugian Negara dan Ironi Chromebook di Daerah 3T

Proyek pengadaan laptop Chromebook yang berlangsung dari tahun 2019-2022 ini menelan anggaran fantastis, mencapai Rp 9,3 triliun. Namun, dari anggaran tersebut, Kejaksaan Agung menduga adanya kerugian keuangan negara hingga Rp 1,98 triliun. Angka ini tentu saja membuat kita terhenyak, mengingat besarnya dana yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Lebih miris lagi, banyak dari laptop berbasis Chromebook ini yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para pelajar. Sumber dari Kompas.com dan Kompasiana menyoroti ironi ini: di daerah 3T yang minim akses internet dan bahkan listrik, laptop canggih ini justru menjadi barang mubazir.

“Laptop mahal itu bisa saja berakhir sebagai barang pajangan di gudang sekolah, berdebu, dan dilupakan,” demikian narasi yang pernah disuarakan di Kompasiana, menggambarkan betapa kebijakan yang dibuat di balik meja seringkali buta akan realitas lapangan.

Nadiem Makarim dan Para Tersangka Lain: Siapa Saja?

Kasus ini telah menyeret lima orang sebagai tersangka, yang perannya bervariasi dalam memuluskan proyek pengadaan Chromebook:

  • Nadiem Makarim (NAM): Mantan Mendikbudristek 2019-2024. Perannya sentral dalam mengarahkan dan memastikan penggunaan Chromebook melalui pertemuan dengan Google, rapat tertutup, hingga penerbitan regulasi yang mengunci spesifikasi.
  • Jurist Tan (JT): Mantan Staf Khusus Mendikbudristek. Terlibat dalam grup WhatsApp “Mas Menteri Core Team” dan memfasilitasi komunikasi dengan konsultan teknologi serta pihak Google.
  • Ibrahim Arief (IA): Eks Konsultan Teknologi di Kemendikbudristek. Bertindak sebagai konsultan yang membahas pengadaan laptop berbasis Chrome.
  • Mulyatsyah (MUL): Direktur SMP pada Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbudristek 2020-2021. Menerima perintah dan mengeksekusi pengadaan TIK dengan mengarahkan pada sistem operasi Chrome, serta membuat petunjuk teknis yang mengunci spesifikasi.
  • Sri Wahyuningsih (SW): Direktur Sekolah Dasar pada Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbudristek 2020-2021. Menerima perintah, mengeksekusi pengadaan dengan mengarahkan ke vendor tertentu, dan mengubah metode e-katalog.

Meskipun Nadiem dan pengacaranya, Hotman Paris Hutapea, bersikeras bahwa tidak ada uang sepeser pun yang masuk ke kantong kliennya, pakar hukum pidana Albert Aries dari Universitas Trisakti menegaskan bahwa tidak adanya aliran dana pribadi tidak serta-merta menghapus unsur pidana. Unsur memperkaya orang lain atau menguntungkan pihak lain juga menjadi fokus pembuktian.

Mengapa Korupsi Pendidikan Terus Berulang? Cermin Buram yang Tak Kunjung Jernih

Kasus korupsi Chromebook ini bukan yang pertama kali terjadi di sektor pendidikan. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, antara 2016-2021, ada 240 kasus korupsi di dunia pendidikan dengan total kerugian negara mencapai Rp 1,6 triliun. Ini menunjukkan bahwa sektor pendidikan sangat rentan terhadap praktik korupsi.

Fenomena ini adalah cermin buram pendidikan yang terus-menerus memantulkan wajah yang sama: ketidakberesan dalam tata kelola dan pengawasan. Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mendesak adanya perbaikan kualifikasi pejabat di level atas pemerintahan dan penelusuran aliran dana (follow the money) untuk mengungkap semua pihak yang menikmati hasil korupsi.

Pelajaran Penting: Transparansi dan Prioritas yang Tepat

Kasus korupsi Chromebook ini adalah pelajaran yang sangat mahal bagi bangsa ini. Ini bukan hanya tentang uang yang hilang, tetapi juga tentang kegagalan dalam merancang kebijakan yang responsif terhadap realitas di lapangan.

Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu belajar bahwa digitalisasi pendidikan tidak bisa berjalan tanpa fondasi yang kuat. Fondasi itu bukan hanya internet dan listrik, tetapi juga:

  • Kesejahteraan guru: Guru yang termotivasi dan kompeten adalah kunci.
  • Fasilitas dasar: Bangunan sekolah yang layak, sanitasi yang bersih, dan meja kursi yang memadai.
  • Kurikulum yang relevan: Sesuai dengan kebutuhan dan kondisi siswa.

Abdul Fickar Hadjar dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti menekankan pentingnya transparansi semua informasi proyek di sektor pendidikan. Dengan keterbukaan, masyarakat dapat mengawasi dan oknum yang berniat korupsi akan berpikir dua kali.

Kisah korupsi Chromebook ini setidaknya mengingatkan kita semua, bahwa kemajuan sejati sebuah bangsa itu bukan cuma tentang berapa banyak laptop canggih yang kita punya. Tapi, tentang seberapa adil dan bijaksana kita dalam membelanjakan uang rakyat, dan seberapa tulus kita memikirkan masa depan anak-anak di seluruh penjuru negeri ini. Semoga saja, pelajaran kali ini tidak ada yang mengulang lagi, agar pendidikan Indonesia bisa benar-benar bersinar, bukan lagi menjadi cermin buram.

FAQ

Tanya: Apa kasus korupsi Chromebook yang melibatkan Nadiem Makarim?
Jawab: Kasus ini terkait dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek yang menyeret mantan Menteri Nadiem Makarim sebagai tersangka.

Tanya: Kapan dan bagaimana penyelidikan kasus korupsi Chromebook ini dimulai?
Jawab: Penyelidikan intensif oleh Kejaksaan Agung dimulai sejak Mei 2025, yang berawal dari pembentukan grup WhatsApp “Mas Menteri Core Team” pada Agustus 2019.

Tanya: Siapa saja yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Chromebook ini?
Jawab: Lima tersangka telah ditetapkan, termasuk Nadiem Makarim, Jurist Tan, dan Fiona Handayani.