Sistem ‘Satu Anggota, Satu Suara’: Mengapa **Kaesang Pangarep Kalah Pemilihan** Ketum PSI Mungkin Terjadi?

Dipublikasikan 16 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Ada kabar menarik dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjelang Pemilihan Raya Ketua Umum periode 2025-2030. Putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang saat ini menjabat Ketua Umum PSI, justru dikabarkan berpotensi kalah dalam kontestasi tersebut. Kok bisa? Kuncinya ada pada sistem unik yang diterapkan PSI: ’satu anggota, satu suara’.

Sistem 'Satu Anggota, Satu Suara': Mengapa **Kaesang Pangarep Kalah Pemilihan** Ketum PSI Mungkin Terjadi?

Ilustrasi: Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI, berpotensi kalah dalam pemilihan ketua umum partai menggunakan sistem ‘satu anggota, satu suara’.

Artikel ini akan membahas mengapa sistem pemilihan ini bisa menjadi batu sandungan bagi Kaesang, bagaimana persaingan berlangsung, dan apa artinya bagi masa depan PSI. Mari kita selami lebih dalam dinamika politik yang menarik ini!

Sistem “Satu Anggota, Satu Suara”: Demokrasi Internal yang Menantang Kaesang

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menerapkan sistem pemilihan yang cukup inovatif dan jarang ditemui di partai politik lain di Indonesia, yaitu satu anggota, satu suara (atau one member, one vote). Sistem ini memberikan hak pilih yang setara kepada setiap anggota partai yang terverifikasi, bukan hanya kepada segelintir elite atau pimpinan wilayah.

Calon Ketua Umum PSI, Ronald A Sinaga, yang akrab disapa Bro Ron, menegaskan bahwa pola ini membuat hasil Pemilihan Raya sulit diprediksi. “Semua anggota yang berhak memilih punya otonomi masing-masing. Tidak bisa diatur-atur. Bahkan, serius, Mas Kaesang mungkin kalah. Apa pun bisa terjadi,” kata Ronald. Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya persaingan di internal PSI, di mana nama besar sekalipun tidak menjamin kemenangan mutlak.

Lebih dari 187 Ribu Suara, Bukan Angka Main-main

Bayangkan, ada 187.306 pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Raya PSI. Jumlah ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan sistem pemilihan konvensional yang seringkali hanya melibatkan sekitar 600 Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD).

“Tapi bagaimana cara mengatur atau memaksa lebih dari 180 ribu pemilih? Ketua DPW bisa saja memilih kandidat A, tapi anggota di kepengurusannya bisa dan boleh memilih kandidat B atau C,” jelas Ronald. Ini menggarisbawahi esensi dari Partai Super Terbuka yang diusung PSI, di mana “Partai bukan didikte atau dikendalikan elite. Setiap anggota punya posisi menentukan.” Dengan begitu banyaknya suara yang harus direbut, kampanye harus benar-benar menyentuh langsung basis anggota.

Ironi “Partai Super Terbuka” yang Menguji Kaesang

Menariknya, sistem satu anggota, satu suara serta konsep ‘Partai Super Terbuka’ ini justru merupakan gagasan yang sering digaungkan oleh Presiden Jokowi dan juga Kaesang Pangarep sendiri. Konsep ini ingin diterapkan ke dalam dunia politik, di mana semua anggota partai memiliki hak yang sama dalam menentukan kebijakan dan kepemimpinan.

Pelaksana Harian Ketua Umum PSI, Andy Budiman, pernah mengungkapkan bahwa ide ini datang langsung dari Kaesang. “Mas Kaesang bilang, saya ingin ketika saya nggak jadi ketua umum lagi, saya sudah meletakkan satu dasar yang saya anggap baik di PSI. Yang dianggap baik itu adalah satu sistem di mana ketua umum itu dipilih oleh seluruh anggota,” kata Andy. Kini, mekanisme demokratis yang ia dorong ini justru menjadi ujian terberat bagi dirinya.

Persaingan Ketat dan Strategi Kaesang Menjelang Kongres

Dalam Pemilihan Raya Ketua Umum PSI periode 2025-2030, terdapat tiga kandidat yang bertarung: Ronald Aristone Sinaga (Bro Ron), Kaesang Pangarep, dan Agus Mulyono Herlambang. Ketiganya telah memenuhi persyaratan khusus, termasuk dukungan minimal dari DPW dan DPD.

Menurut hasil sementara e-voting, Bro Ron sempat berada di posisi teratas, mengungguli Kaesang. Menanggapi hal ini, Kaesang menyatakan akan berkeliling ke sejumlah daerah untuk membulatkan suara. “Insya Allah, besok saya akan keliling Jawa Tengah, karena Jawa Barat sudah dikuasai Bro Ron, jadi saya harus keliling Jawa Tengah untuk membulatkan suara,” ujar Kaesang. Kongres PSI sendiri akan diselenggarakan di Kota Solo pada 19-20 Juli 2025, dan Presiden Jokowi dijadwalkan hadir.

Lebih dari Sekadar Pemilihan: Masa Depan PSI di Tangan Anggota

Psikolog politik dari UNS Solo, Moh Abdul Hakim, melihat Kongres Nasional I PSI di Solo ini sebagai penentu penting. Ia menyebut, Kongres ini akan menjadi penanda apakah partai itu akan sepenuhnya dimiliki Jokowi dan keluarganya atau tidak. Jika Kaesang Pangarep terpilih, maka publik akan melihat PSI sebagai “partai keluarga Jokowi”.

Namun, Abdul Hakim juga mencermati bahwa kader-kader PSI saat ini ingin membangun hubungan yang dinamis dengan keluarga Jokowi, sambil tetap menunjukkan independensi. Ini berarti, mereka ingin dekat dengan Jokowi sebagai representasi partai, tetapi juga ingin memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan.

Pada akhirnya, hasil Pemilu Raya PSI akan menjadi pembuktian apakah nama besar masih menjadi jaminan dalam politik modern, ataukah demokrasi internal partai telah benar-benar berjalan dan mampu menghadirkan kejutan.

Kesimpulan

Pemilihan Raya PSI dengan sistem satu anggota, satu suara ini adalah bukti nyata komitmen partai terhadap demokrasi internal. Meskipun Kaesang Pangarep memiliki nama besar dan adalah putra presiden, peluangnya untuk kalah pemilihan tetap terbuka lebar karena suara setiap anggota dihargai sama. Ini bukan hanya tentang siapa yang menang, tetapi tentang bagaimana sebuah partai bisa benar-benar menjadi milik anggotanya, bukan didikte oleh elite. Kita tunggu saja hasil akhir yang akan diumumkan pada Kongres PSI di Solo.