Menguak Fakta: Respons Forensik Bali Terhadap Hasil Autopsi Juliana Marins di Brasil

Dipublikasikan 11 Juli 2025 oleh admin
Kriminal

Kisah tragis Juliana Marins, seorang turis asal Brasil yang meninggal dunia setelah terjatuh saat mendaki Gunung Rinjani, Lombok, telah menjadi sorotan publik internasional. Setelah proses autopsi awal dilakukan di Bali, jenazahnya kemudian diterbangkan ke Brasil untuk menjalani autopsi ulang atas permintaan keluarga. Kini, perhatian tertuju pada bagaimana forensik Bali tanggapi hasil autopsi Juliana Marins yang dilakukan di tanah kelahirannya.

Menguak Fakta: Respons Forensik Bali Terhadap Hasil Autopsi Juliana Marins di Brasil

Ilustrasi untuk artikel tentang Menguak Fakta: Respons Forensik Bali Terhadap Hasil Autopsi Juliana Marins di Brasil

Artikel ini akan mengupas tuntas respons dari ahli forensik Indonesia, membandingkan hasil autopsi dari kedua negara, dan menyoroti harapan keluarga untuk mendapatkan kejelasan penuh. Mari kita selami lebih dalam kasus yang menyedihkan ini.

Autopsi Ulang: Hak Keluarga dan Prinsip Kenetralan Forensik

Setelah insiden tragis di Gunung Rinjani, jenazah Juliana Marins diautopsi pertama kali di RS Bali Mandara oleh dokter senior ahli forensik, Dr. Ida Bagus Putu Alit, pada Jumat, 27 Juni 2025. Beberapa hari setelah diterbangkan ke Brasil, jenazah Juliana kembali diautopsi oleh tim forensik di sana.

Dr. Ida Bagus Putu Alit menjelaskan bahwa autopsi ulang merupakan hal yang sangat lumrah dan menjadi hak penuh bagi pihak keluarga untuk mendapatkan keyakinan lebih lanjut mengenai penyebab kematian kerabat mereka. “Itu memang hak dari keluarga untuk mengautopasi ulang. Prinsipnya, dokter forensik bersifat netral, imparsial. Jadi saya yakin dokter di Brasil konsepnya sama, imparsial artinya tidak memihak,” ujar Alit, menegaskan profesionalisme dalam dunia forensik.

Pihak forensik Bali tidak berkomunikasi langsung dengan tim forensik di Brasil, namun keyakinan akan kesamaan prinsip kerja tetap ada. Dokter Alit percaya bahwa meskipun metode autopsi bisa berbeda di setiap negara, tujuan dan prinsip dasarnya akan tetap sama: menemukan bukti dan membuat kesimpulan yang objektif.

Membandingkan Hasil: Autopsi Bali dan Autopsi Brasil

Hasil autopsi adalah inti dari penyelidikan kematian. Mari kita bandingkan temuan dari autopsi di Bali dan di Brasil yang melibatkan Juliana Marins.

Hasil Autopsi di Bali

Autopsi yang dilakukan di RS Bali Mandara oleh Dr. Ida Bagus Putu Alit menyimpulkan bahwa penyebab kematian Juliana Marins adalah trauma tumpul akibat benturan keras. Ditemukan luka-luka lecet geser di seluruh tubuh, menandakan tubuh korban bergesekan dengan benda tumpul saat terjatuh. Selain itu, ada patah tulang parah di area dada belakang, tulang punggung, dan paha.

Benturan keras di punggung menyebabkan pendarahan masif di rongga dada dan kerusakan organ dalam. Berdasarkan kondisi luka, Dr. Alit memperkirakan Juliana meninggal dunia sekitar 20 menit setelah benturan terjadi. Tidak ada tanda-tanda hipotermia ditemukan pada organ tubuh korban, seperti limpa.

Hasil Autopsi di Brasil

Setibanya di Brasil, jenazah Juliana Marins langsung dibawa ke Institut Medis Legal (IML) Afranio Peixoto di Rio de Janeiro untuk pemeriksaan forensik tambahan. Hasil autopsi Juliana Marins di Brasil ternyata tidak jauh berbeda dengan temuan di Indonesia.

Tim forensik Brasil menyimpulkan bahwa Juliana meninggal karena pendarahan internal akibat cedera poliviseral dan beberapa trauma, yang konsisten dengan benturan berenergi tinggi akibat jatuh dari ketinggian. Mereka memperkirakan Juliana bertahan hidup sekitar 10 hingga 15 menit setelah terjatuh. Dalam kondisi luka parah tersebut, korban tidak mungkin bisa bergerak atau meminta bantuan secara efektif.

Dr. Alit sendiri telah memprediksi bahwa hasil autopsi ulang tidak akan jauh berbeda. “Jadi mungkin ada perbedaan tapi pada prinsipnya itu sama,” terangnya. Kesamaan hasil ini memperkuat hipotesis bahwa penyebab utama kematian adalah trauma fatal akibat benturan keras dari ketinggian.

Metode dan Kondisi Jenazah

Penting juga untuk memahami bahwa metode autopsi bisa bervariasi. Di Indonesia, Dr. Alit menyebutkan penggunaan metode teknik leetule yang dimodifikasi. Meski demikian, prinsip dasar “membuka rongga tubuh, dilihat organ-organ dan kelainan-kelainan yang ada” tetap berlaku di mana pun.

Proses pembalseman atau embalming yang dilakukan pada jenazah Juliana sebelum diterbangkan ke Brasil memang memungkinkan pemeriksaan patologi dan jaringan tubuh tetap bisa dilakukan. Namun, beberapa ahli forensik di Brasil menyoroti bahwa manipulasi organ internal pada autopsi pertama dan metode pengawetan jenazah dapat membatasi beberapa analisis detail, seperti memperkirakan volume darah yang hilang atau rekonstruksi kematian secara terperinci.

Kekecewaan Keluarga: Informasi dari Media, Bukan Otoritas

Meskipun hasil autopsi Juliana Marins di Brasil secara substansial sama dengan di Indonesia, ada satu hal yang menimbulkan kekecewaan besar bagi keluarga. Mereka mengaku kaget dan meradang karena mengetahui laporan hasil autopsi ulang dari pemberitaan pers, alih-alih diinformasikan secara formal oleh otoritas setempat. “Kami tidak menerima apapun (dari hasil autopsi ulang Juliana),” aku Mariana Marins, saudara perempuan Juliana.

Pihak keluarga sebelumnya telah meminta autopsi ulang karena merasa kurang mendapatkan klarifikasi mengenai penyebab dan waktu pasti kematian dari laporan otoritas Indonesia. Mereka juga ingin menyelidiki dugaan kelalaian pihak berwenang Indonesia dalam memberikan bantuan yang krusial. Kepolisian Rio de Janeiro membantah telah membocorkan isi dokumen autopsi ke media, menegaskan bahwa hasil tersebut telah dibahas dalam pertemuan internal bersama perwakilan keluarga.

Implikasi Hukum dan Tuntutan Keluarga

Di balik hasil autopsi, keluarga Juliana Marins masih menuntut kejelasan dan keadilan. Mereka menduga adanya kelalaian dalam proses pencarian dan penyelamatan oleh otoritas Indonesia. Juliana dilaporkan jatuh pada 21 Juni, namun bantuan medis baru tiba hampir 90 jam kemudian, dan jenazahnya baru berhasil dievakuasi pada 25 Juni.

Pembela hak asasi manusia regional di Rio de Janeiro, Taísa Bittencourt, menyatakan bahwa jika terbukti tidak ada penyelidikan atau akuntabilitas oleh pihak berwenang Indonesia, Brasil dapat membuka penyelidikannya sendiri melalui Kepolisian Federal, berdasarkan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial. Jika “kemungkinan kelalaian” ditemukan, kasus kematian Juliana dapat dibawa ke badan-badan internasional.

Untuk berjaga-jaga jika diperlukan pemeriksaan ulang atau ekshumasi, pihak keluarga memutuskan untuk tidak mengkremasi jenazah Juliana, melainkan menguburkannya di kampung halamannya, Niterói.

Kesimpulan

Respons forensik Bali tanggapi hasil autopsi Juliana Marins di Brasil menunjukkan sikap profesionalisme dan kenetralan yang menjadi dasar ilmu forensik. Kedua hasil autopsi, baik di Bali maupun di Brasil, secara substansial konsisten dalam menyimpulkan bahwa Juliana meninggal dunia akibat trauma tumpul parah dan pendarahan internal setelah terjatuh dari ketinggian, dengan perkiraan waktu bertahan hidup yang singkat.

Meskipun demikian, kasus ini masih menyisakan pertanyaan dan tuntutan dari pihak keluarga terkait transparansi dan dugaan kelalaian dalam proses evakuasi. Semoga kasus ini dapat memberikan pelajaran berharga dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.