Polemik Penjual Pecel Lele dan UU Tipikor: Antara Celah Hukum dan Keadilan

Dipublikasikan 22 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Pendahuluan: Pernyataan mengejutkan mantan pimpinan KPK, Chandra Hamzah, yang menyebut penjual pecel lele di trotoar berpotensi dijerat UU Tipikor, telah memicu perdebatan sengit di masyarakat. Pernyataan kontroversial ini bukan hanya soal seorang pedagang kaki lima, melainkan menyoroti ambiguitas dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, dan implikasinya terhadap prinsip keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Artikel ini akan mengupas tuntas polemik ini, menganalisis argumen yang diajukan, serta menelaah dampaknya terhadap penegakan hukum di Tanah Air.

Argumen Chandra Hamzah: Interpretasi Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor

Chandra Hamzah, mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2009, mengemukakan argumennya dalam sidang uji materi UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia berfokus pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, yang menurutnya memiliki rumusan yang terlalu luas dan ambigu, rentan terhadap penafsiran yang keliru.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Chandra berargumen bahwa frasa “setiap orang” dan “melawan hukum” dalam pasal ini terlalu umum. Ia memberikan contoh ekstrem, penjual pecel lele di trotoar. Dengan berjualan di trotoar, pedagang tersebut dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena memanfaatkan fasilitas publik tanpa izin, memperkaya diri sendiri, dan secara tidak langsung merugikan negara karena kerusakan infrastruktur. Dengan demikian, menurut Chandra, penjual pecel lele pun bisa dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Lebih lanjut, Chandra mengkritisi Pasal 3 UU Tipikor yang juga menggunakan frasa “setiap orang”. Pasal ini mengatur tentang penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang dapat merugikan keuangan negara. Ia berpendapat, frasa ini mengaburkan esensi korupsi yang seharusnya dikaitkan dengan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan.

Asas Lex Certa dan Lex Stricta dalam Perspektif Chandra Hamzah

Chandra menekankan pentingnya asas lex certa (kepastian hukum) dan lex stricta (penafsiran hukum pidana yang ketat) dalam perumusan delik. Ia berpendapat, rumusan pasal yang ambigu seperti dalam UU Tipikor dapat melanggar kedua asas tersebut, berpotensi menimbulkan penegakan hukum yang sewenang-wenang dan tidak adil. Contoh kasus penjual pecel lele, menurutnya, menunjukkan betapa rumusan pasal yang tidak jelas bisa menjerat warga biasa yang tidak memiliki niat koruptif.

Tanggapan KPK dan Pihak Lain: Sanggahan dan Perbedaan Pendapat

Pernyataan Chandra Hamzah mendapat tanggapan beragam. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, misalnya, menolak keras argumen tersebut. Ia menekankan bahwa pendapat hukum harus disertai dengan dasar dan alasan hukum yang jelas serta rasional, bukan hanya opini pribadi. Tanak berpendapat bahwa penjual pecel lele tidak mungkin merugikan keuangan negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku korupsi.

Pandangan serupa disampaikan oleh beberapa ahli hukum lainnya. Mereka berpendapat bahwa meskipun berjualan di trotoar melanggar peraturan daerah, hal tersebut tidak dapat dikaitkan dengan delik korupsi yang diatur dalam UU Tipikor. Korupsi, menurut mereka, berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara, dan biasanya melibatkan unsur kesengajaan dan niat jahat.

Perbedaan Interpretasi dan Perdebatan Hukum

Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas interpretasi hukum, terutama dalam konteks UU Tipikor yang rumusannya seringkali dianggap multitafsir. Perdebatan ini menyoroti pentingnya perumusan hukum yang jelas, spesifik, dan tidak ambigu untuk menghindari penafsiran yang keliru dan penegakan hukum yang tidak adil.

Implikasi Polemik: Reformasi UU Tipikor dan Prinsip Keadilan

Polemik ini memicu diskusi penting tentang perlunya reformasi UU Tipikor. Banyak pihak mendesak agar pasal-pasal yang dianggap ambigu, seperti Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, direvisi agar lebih presisi dan sesuai dengan asas lex certa dan lex stricta. Tujuannya adalah untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan keadilan dalam penegakan hukum.

Pentingnya Kepastian Hukum dan Perlindungan Rakyat Kecil

Kasus ini menyoroti pentingnya melindungi rakyat kecil dari potensi penyalahgunaan hukum. Rumusan pasal yang tidak jelas dapat menjadi alat bagi pihak tertentu untuk menekan atau menjerat warga biasa dengan tuduhan korupsi. Reformasi UU Tipikor harus memastikan bahwa hukum melindungi semua warga negara, termasuk mereka yang berada di lapisan bawah masyarakat.

Kesimpulan: Menuju Penegakan Hukum yang Adil dan Berkeadilan

Pernyataan mantan pimpinan KPK tentang penjual pecel lele telah memicu perdebatan yang menyentuh inti dari keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Polemik ini bukan hanya tentang seorang pedagang kaki lima, tetapi tentang kualitas perumusan UU Tipikor dan bagaimana hukum seharusnya diterapkan secara adil dan proporsional. Perlunya revisi UU Tipikor untuk memperjelas rumusan pasal yang ambigu menjadi mendesak, guna melindungi warga negara dari potensi penyalahgunaan hukum dan memastikan bahwa penegakan hukum benar-benar berpihak pada keadilan. Hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan alat untuk menindas. Harapannya, perdebatan ini akan menjadi momentum untuk perbaikan sistem hukum di Indonesia, sehingga keadilan dapat ditegakkan secara adil dan merata bagi semua lapisan masyarakat. Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terkait untuk selalu mengedepankan asas keadilan dan kepastian hukum dalam setiap tindakan. Mari bersama-sama mendorong terwujudnya penegakan hukum yang lebih baik dan berkeadilan di Indonesia.