Kabar duka dan misteri menyelimuti kepergian Brigadir Muhammad Nurhadi, seorang anggota polisi yang bertugas di Paminal Propam Polda NTB. Kasus kematiannya yang janggal di Gili Trawangan, Lombok Utara, pada 16 April 2025, masih menyisakan banyak pertanyaan. Di tengah pusaran penyelidikan yang belum menemukan titik terang, sang istri, Elma Agustina (28), menghadapi tuduhan yang tak kalah menyakitkan: disebut menerima uang sogokan Rp 400 juta agar kasus suaminya tidak diperkarakan lagi.
Elma Agustina, istri almarhum Brigadir Nurhadi, membantah keras tudingan menerima Rp 400 juta demi menghentikan kasus kematian suaminya, menegaskan tak akan menukar nyawa sang suami dengan materi.
Namun, dengan tegas dan penuh duka, Elma Agustina membantah keras tuduhan tersebut. Ia bersumpah tidak pernah menerima sepeser pun uang itu. Artikel ini akan mengupas lebih dalam bantahan Elma, kejanggalan dalam kasus kematian Brigadir Nurhadi, serta perjuangan keluarga menuntut keadilan. Mari kita selami fakta-fakta di balik kisah memilukan ini.
Bantahan Tegas Elma Agustina: Nyawa Suami Tak Ternilai dengan Uang
Tuduhan bahwa istri Brigadir Nurhadi menerima uang Rp 400 juta dari salah satu tersangka, Kompol I Made Yogi Purusa Utama (YG), telah menyebar dan menambah beban duka Elma. Uang tersebut konon dimaksudkan sebagai “damai” agar Elma tidak lagi mempermasalahkan kematian suaminya.
Namun, Elma dengan suara bergetar dan penuh keyakinan membantah tuduhan keji tersebut. “Itu semua fitnah, saya tidak akan menukar nyawa suami saya dengan uang, tidak pernah ada uang Rp 400 juta itu demi Allah,” tegas Elma di kediamannya di Desa Sembung, Lombok Barat, Jumat (11/7/2025). Ia bahkan menambahkan, “Seperti apa yang Rp 400 juta saja tidak pernah saya lihat.”
Pernyataan ini menunjukkan betapa besar ketulusan dan keinginan Elma untuk mencari keadilan sejati, bukan sekadar kompensasi materi. Baginya, nyawa sang suami, yang meninggal secara tidak wajar, jauh lebih berharga dari uang sebanyak apa pun.
Misteri Kematian Brigadir Nurhadi yang Belum Terungkap
Brigadir Nurhadi ditemukan tewas di dasar kolam Vila Tekek, Gili Trawangan. Saat kejadian, ia sedang bersama dua atasannya, Kompol I Made Yogi Purusa Utama dan Ipda Haris Chandra, serta dua orang perempuan, Misri Puspitasari alias M dan P. Meskipun beberapa pihak telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Kompol Yogi, Ipda Haris, dan Misri, motif serta peran utama masing-masing tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir Nurhadi ini masih menjadi misteri.
Polda NTB hingga kini belum bisa menunjukkan siapa pelaku utama pembunuhan polisi muda itu. Keluarga merasa ada banyak kejanggalan dalam kronologi yang disampaikan polisi.
Beberapa poin yang menjadi sorotan keluarga meliputi:
- Hilangnya Ponsel Korban: Ponsel Brigadir Nurhadi yang mestinya menyimpan banyak petunjuk penting, telah disita penyidik Polda NTB. Padahal, kakak ipar Nurhadi, Reni, sempat melihat pesan WhatsApp dari tersangka HC yang meminta Nurhadi untuk “diam saja”.
- Perbedaan Keterangan: Informasi dari kepolisian mengenai penyebab luka Nurhadi (disebut karena terjatuh dari cidomo) dan siapa yang mengantar Nurhadi ke klinik (disebut Kompol YG) berbeda dengan kesaksian rekan-rekan di Gili Trawangan. Hal ini membuat keluarga semakin tidak percaya pada versi resmi polisi.
- Kondisi Tubuh Korban: Hasil ekshumasi jenazah Brigadir Nurhadi pada 1 Mei 2025, mengungkapkan adanya luka lecet, luka gerus, luka memar, luka robek di kepala, tengkuk, punggung, dan kaki. Yang paling mengejutkan adalah temuan patah tulang lidah yang diduga akibat pencekikan. Ini bertolak belakang dengan klaim awal polisi bahwa Nurhadi tewas tenggelam.
- Tuduhan Negatif pada Korban: Polisi sempat menyebut Nurhadi terlibat dalam hal-hal negatif seperti memakai obat-obatan atau minuman keras. Elma dan keluarga membantah keras tuduhan ini, mengingat Nurhadi dikenal sebagai pribadi yang pendiam, jujur, rajin beribadah, dan bahkan tidak bisa merokok. Keluarga menduga Nurhadi dipaksa.
Perjuangan Keluarga Menuntut Keadilan
Kehidupan keluarga Brigadir Nurhadi dikenal sangat sederhana. Ia meninggalkan Elma dan dua putra kecilnya, yang tertua berusia 5 tahun dan si bungsu baru 4 bulan saat ayahnya meninggal. Kepergian Nurhadi, seorang yatim yang berjuang keras hingga menjadi polisi, menjadi pukulan berat bagi mereka.
Keluarga, terutama Elma, hanya menginginkan satu hal: keadilan untuk Brigadir Nurhadi. Mereka berharap pelaku pembunuhan segera diadili dan dihukum sesuai hukum yang berlaku. Sumpah Elma untuk tidak “menukar nyawa suami dengan uang” adalah cerminan dari tekad bulat keluarga untuk memastikan kasus ini terungkap secara transparan dan tuntas.
Kesimpulan
Kisah Elma Agustina, istri Brigadir Nurhadi, yang dengan gigih menolak tuduhan menerima uang Rp 400 juta, menjadi sorotan utama dalam kasus kematian suaminya. Penolakan ini bukan hanya soal uang, melainkan tentang harga diri, kebenaran, dan tuntutan keadilan yang tak tergoyahkan. Di tengah duka dan berbagai kejanggalan yang menyelimuti penyelidikan, Elma dan keluarga terus berjuang agar kepergian Brigadir Nurhadi tidak berakhir sia-sia. Semoga kebenaran segera terungkap dan keadilan bisa ditegakkan bagi almarhum Brigadir Muhammad Nurhadi.