Di Balik Jeruji Besi: Mengurai Tragedi Pembunuhan ART oleh Eks Finalis MasterChef Malaysia

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Kriminal

Kisah pilu dan keji kembali menyayat nurani publik, menyorot sisi gelap kemanusiaan yang tak terduga. Kali ini, sorotan tajam mengarah pada tragedi yang melibatkan Etiqah Siti Noorashikeen Sulong, seorang mantan finalis ajang memasak bergengsi MasterChef Malaysia, dan mantan suaminya, Mohammad Ambree Yunos. Keduanya kini dijatuhi hukuman 34 tahun penjara atas pembunuhan keji terhadap asisten rumah tangga (ART) mereka, Nur Afiyah Daeng Damin, seorang warga negara Indonesia.

Di Balik Jeruji Besi: Mengurai Tragedi Pembunuhan ART oleh Eks Finalis MasterChef Malaysia

Kasus ini, yang berawal dari sebuah laporan palsu tentang kematian tak wajar, telah berkembang menjadi sebuah saga hukum yang panjang dan mengerikan, membuka mata dunia tentang kerentanan pekerja migran dan potensi kekejaman yang bisa terselubung di balik citra publik. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana kasus finalis MasterChef Malaysia bunuh ART ini terungkap, proses hukum yang mengiringinya, hingga vonis yang dijatuhkan, serta implikasinya yang lebih luas bagi perlindungan hak asasi manusia.

Awal Mula Tragedi: Kisah Pilu Nur Afiyah dan Majikannya

Nur Afiyah Daeng Damin, seorang perempuan muda berusia 28 tahun, merantau dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia, ke Malaysia dengan harapan mencari penghidupan yang lebih baik di tengah tantangan pandemi global. Ia bekerja sebagai asisten rumah tangga di apartemen pasangan Etiqah Siti Noorashikeen Sulong dan Mohammad Ambree Yunos di Amber Tower, Lido Avenue, Penampang, Sabah. Nur Afiyah adalah salah satu dari jutaan pekerja migran yang meninggalkan kampung halaman demi masa depan yang lebih cerah, namun nasibnya justru berakhir tragis.

Etiqah Siti Noorashikeen, yang kini berusia 37 tahun, pernah dikenal publik Malaysia sebagai salah satu finalis MasterChef Malaysia musim kedua pada tahun 2012. Ia berhasil mencapai posisi empat besar, menunjukkan bakatnya di dapur dan membangun citra positif di mata masyarakat. Sementara suaminya, Mohammad Ambree Yunos (44), juga merupakan bagian dari rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat aman bagi Nur Afiyah. Ironisnya, di balik gemerlap citra publik dan keahlian kuliner yang pernah disorot, tersembunyi kekejaman yang tak terbayangkan.

Kejadian nahas yang merenggut nyawa Nur Afiyah terjadi antara tanggal 8 hingga 11 Desember 2021. Awalnya, Etiqah dan Ambree mencoba menutupi kejahatan mereka dengan membuat laporan palsu kepada pihak berwenang. Mereka mengklaim menemukan Nur Afiyah sudah tak sadarkan diri di lantai apartemen mereka setelah kembali dari liburan di Kundasang. Laporan ini, yang disampaikan pada 13 Desember 2021, sempat mengaburkan fakta awal, namun kejanggalan yang terdeteksi oleh polisi segera mengarah pada penyelidikan yang lebih mendalam.

Terkuaknya Kekejaman: Proses Investigasi dan Bukti yang Mengerikan

Penyelidikan polisi segera menemukan kejanggalan dalam laporan pasangan tersebut. Hanya sehari setelah laporan palsu itu dibuat, pada 14 Desember 2021, Etiqah dan Ambree ditahan. Pihak berwenang mulai curiga setelah laporan forensik awal menunjukkan luka-luka mencurigakan pada tubuh Nur Afiyah yang mustahil disebabkan oleh kecelakaan biasa.

Dua hari kemudian, pada 16 Desember 2021, hasil autopsi yang dipimpin oleh dr. Norhayati Jaffar dari Rumah Sakit Queen Elizabeth mengungkap kengerian yang sesungguhnya. Nur Afiyah mengalami penyiksaan parah yang tak terperi. Temuan forensik mencatat berbagai luka mengerikan, termasuk:

  • Delapan luka jaringan lunak di bagian dalam mulut.
  • Trauma parah pada enam gigi depan.
  • Beberapa gigi, termasuk gigi insisivus kiri, tampak seperti dicabut paksa dengan alat penjepit.
  • Tulang rahang tempat giginya patah dan gusinya robek.
  • Luka melepuh di sekujur tubuh seperti disiram air panas.
  • Kepala korban botak licin, tanpa rambut.

Tingkat kesakitan luka-luka tersebut digambarkan mencapai “10 dari 10,” dan diyakini dilakukan tanpa anestesi. Luka-luka ini juga terbilang segar, menunjukkan bahwa penyiksaan terjadi dalam waktu yang sangat dekat dengan kematian korban. Kondisi jenazah Nur Afiyah bahkan dilaporkan sangat buruk hingga tak bisa dikenali oleh suaminya sendiri, Askari. Sebuah gelang yang masih terikat di pergelangan tangannya menjadi satu-satunya bukti identitas.

Yang lebih mengguncang adalah temuan bukti forensik digital. Polisi berhasil menemukan video penyiksaan berulang terhadap Nur Afiyah dari ponsel pasangan tersebut. Bukti ini menunjukkan bagaimana para terdakwa tampaknya sengaja mendokumentasikan penderitaan korban, memperkuat dugaan adanya niat, kekerasan sistematis, dan keterlibatan aktif dari kedua terdakwa. Jaksa Penuntut Umum Dacia Jane Romanus juga mengungkap bahwa selain penyiksaan fisik, Nur Afiyah mengalami penganiayaan setiap hari, tidak menerima upah, serta tidak diberi hak untuk pulang ke kampung halamannya.

Jalan Panjang Menuju Keadilan: Proses Hukum dan Argumen Pembelaan

Dengan bukti-bukti yang sangat kuat dan mengerikan, kasus ini resmi masuk ke persidangan pada 29 Desember 2021. Baik Mohammad Ambree Yunos maupun Etiqah Siti Noorashikeen Sulong didakwa berdasarkan Pasal 302 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Malaysia, yang mengatur hukuman untuk kasus pembunuhan, dibaca bersama Pasal 34 yang menyangkut niat bersama (common intention).

Meskipun dihadapkan pada bukti yang memberatkan, pada 17 November 2022, kedua terdakwa menyatakan tidak bersalah. Proses hukum yang panjang pun berlangsung selama lebih dari dua tahun. Selama persidangan berlangsung, Etiqah sempat dibebaskan dengan jaminan karena alasan kesehatan mental dan tanggung jawab terhadap anak kembar autistiknya. Sementara itu, pihak jaksa penuntut umum, yang diwakili oleh Dacia Jane Romanus, terus mendesak pengadilan untuk menjatuhkan hukuman maksimal. Dacia Jane Romanus menyebut kasus ini sebagai “kekejaman yang berkepanjangan” dan berargumen bahwa kebrutalan tindakan pasangan ini telah “mengejutkan negara.” Ia bahkan sempat menuntut hukuman mati bagi kedua terdakwa, atau setidaknya 40 tahun penjara dan 12 kali cambukan, mengingat kekejaman luar biasa yang dialami korban.

Di sisi pembelaan, pengacara Ambree, Datuk Ram Singh, sempat mengusulkan hukuman penjara 30 tahun dengan 4 cambukan, berargumen bahwa kliennya menyesal dan ingin meminta maaf kepada keluarga Nur Afiyah. Sementara itu, pengacara Etiqah, Datuk Seri Rakhbir Singh, menyatakan bahwa kliennya mengalami masalah kesehatan mental dan masih menjalani pengobatan, serta menyesal dan ingin merawat ketiga anaknya. Namun, di mata hukum, argumen-argumen ini tidak dapat menghapus kekejaman yang telah dilakukan.

Vonis dan Implikasinya: Akhir Perjalanan Hukum yang Mengguncang

Setelah melalui serangkaian persidangan yang intens, pada 20 Juni 2025, Hakim Datuk Dr. Lim Hock Leng menjatuhkan vonis yang telah dinanti-nantikan. Hakim menyatakan bahwa pihak pembela gagal mengajukan keraguan yang wajar, dan jaksa penuntut telah berhasil membuktikan bahwa cedera yang dialami korban bersifat disengaja dan dilakukan bersama-sama.

Etiqah Siti Noorashikeen Sulong dan Mohammad Ambree Yunos masing-masing dijatuhi hukuman 34 tahun penjara. Selain hukuman penjara, Ambree juga dikenakan 12 kali cambukan. Namun, Etiqah dibebaskan dari hukuman cambukan karena pertimbangan jenis kelaminnya, sesuai Pasal 289 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Malaysia yang melindungi perempuan dari hukuman fisik tersebut.

Meski jaksa menuntut hukuman mati, pengadilan memilih menjatuhkan hukuman penjara jangka panjang. Hal ini sejalan dengan perubahan hukum di Malaysia pada tahun 2023 yang menghapus hukuman mati wajib, memberikan hakim lebih banyak diskresi dalam menjatuhkan hukuman untuk kasus pembunuhan. Keputusan ini, meskipun tidak memenuhi tuntutan maksimal jaksa, tetap mencerminkan beratnya kejahatan yang dilakukan dan memberikan keadilan bagi almarhumah Nur Afiyah. Di ruang sidang, Ambree tampak tenang, sementara Etiqah menundukkan kepala dan menutupi wajahnya, menunjukkan beban atas putusan yang harus mereka terima.

Lebih dari Sekadar Berita: Refleksi Kasus Ini bagi Perlindungan Pekerja Migran

Kasus tragis bagaimana kasus finalis MasterChef Malaysia bunuh ART ini bukan hanya sekadar berita kriminal biasa; ia menjadi sorotan publik di Malaysia dan kawasan regional, mengguncang kesadaran masyarakat akan isu-isu yang lebih dalam. Kasus ini menyoroti secara brutal eksploitasi dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT), yang seringkali menjadi isu sensitif dan rentan dalam relasi kerja domestik di negara-negara Asia Tenggara.

Reaksi publik, khususnya dari netizen Indonesia, sangatlah murka. Banyak yang menyerukan keadilan setimpal, bahkan ada yang menginginkan pelaku merasakan siksaan yang sama dengan korban. Kasus ini menjadi pengingat pahit akan sisi gelap kemanusiaan, di mana kekejaman bisa terselubung di balik gemerlap nama dan citra publik.

Peristiwa ini mendesak kita semua untuk merenung dan bertindak. Nur Afiyah adalah seorang wanita muda yang hanya ingin bekerja secara jujur, namun ia justru diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi oleh mereka yang seharusnya memberikan perlindungan, keamanan, dan makanan. Kasus ini memperkuat urgensi untuk:

  • Memperkuat Perlindungan Hukum: Pemerintah di negara pengirim dan penerima pekerja migran harus terus berupaya memperkuat kerangka hukum dan penegakan hukum untuk melindungi hak-hak dasar pekerja rumah tangga.
  • Meningkatkan Kesadaran: Edukasi publik tentang hak-hak pekerja migran dan konsekuensi dari kekerasan serta eksploitasi harus terus digalakkan.
  • Membangun Jaringan Dukungan: Memperkuat jaringan dukungan bagi pekerja migran, termasuk akses mudah ke bantuan hukum dan perlindungan, adalah krusial.
  • Mendorong Akuntabilitas: Memastikan bahwa setiap kasus kekerasan dan eksploitasi diinvestigasi secara tuntas dan pelaku dihukum setimpal, tanpa memandang status sosial atau citra publik mereka.

Kisah Nur Afiyah Daeng Damin adalah pelajaran pahit yang menunjukkan bahwa kekerasan terhadap ART masih menjadi masalah serius yang mengakar. Diperlukan kesadaran kolektif dan tindakan nyata dari semua pihak—pemerintah, masyarakat, dan individu—untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan manusiawi, serta memastikan keadilan selalu ditegakkan bagi mereka yang paling rentan.

Kesimpulan

Vonis 34 tahun penjara bagi Etiqah Siti Noorashikeen Sulong dan Mohammad Ambree Yunos atas pembunuhan Nur Afiyah Daeng Damin adalah sebuah penutup babak hukum yang panjang dan mengerikan. Kasus bagaimana kasus finalis MasterChef Malaysia bunuh ART ini bukan hanya sekadar catatan kriminal, melainkan cermin tragis dari kerentanan pekerja migran dan kebiadaban yang dapat muncul dari mereka yang seharusnya menjadi pelindung.

Tragedi ini harus menjadi pengingat yang menyakitkan bagi kita semua: bahwa di balik setiap berita, ada kisah manusia yang mendalam, dan bahwa keadilan harus selalu ditegakkan, terutama bagi mereka yang paling lemah dan tak bersuara. Semoga keadilan yang ditegakkan mampu memberi sedikit ketenangan bagi almarhumah Nur Afiyah dan keluarganya, serta memicu perubahan nyata demi perlindungan yang lebih baik bagi seluruh pekerja migran di dunia. Mari bersama-sama memastikan bahwa kisah pilu seperti Nur Afiyah tak lagi terulang di masa mendatang. Bagikan artikel ini untuk menyebarkan kesadaran dan mendorong diskusi tentang isu penting ini.

FAQ

Berikut adalah 3 pertanyaan FAQ beserta jawaban singkatnya untuk artikel “Di Balik Jeruji Besi: Mengurai Tragedi Pembunuhan ART oleh Eks Finalis MasterChef Malaysia”:

  • Apa yang terjadi dalam kasus pembunuhan ART oleh eks finalis MasterChef Malaysia ini?

    • Seorang eks finalis MasterChef Malaysia diduga melakukan pembunuhan terhadap asisten rumah tangganya (ART).
  • Siapa yang menjadi tersangka dalam kasus ini?

    • Tersangka utama dalam kasus ini adalah eks finalis MasterChef Malaysia tersebut.
  • Apa motif di balik pembunuhan ini?

    • Motif pembunuhan masih dalam penyelidikan dan belum diumumkan secara resmi.
Di Balik Jeruji Besi: Mengurai Tragedi Pembunuhan ART oleh Eks Finalis MasterChef Malaysia - zekriansyah.com