Pemanfaatan Chromebook untuk Sekolah di Lingga Bermasalah: Antara Janji Digitalisasi dan Realita Lapangan

Dipublikasikan 9 September 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Program digitalisasi pendidikan yang dicanangkan pemerintah pusat melalui pengadaan laptop Chromebook sempat digadang-gadang akan membawa angin segar bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Namun, di balik ambisi besar itu, muncul berbagai tantangan, terutama terkait pemanfaatannya. Di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, masalah ini menjadi sorotan tajam. Banyak perangkat yang seharusnya mendukung pembelajaran justru tak optimal, bahkan ada yang teronggok begitu saja. Mari kita telusuri lebih dalam mengapa Chromebook sekolah Lingga pemanfaatannya bermasalah dan apa kaitannya dengan kasus yang kini ramai di tingkat nasional.

Mengapa Chromebook Jadi Sorotan? Kasus Korupsi dan Janji Digitalisasi

Proyek pengadaan laptop Chromebook merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mempercepat transformasi digital di sektor pendidikan. Anggaran triliunan rupiah digelontorkan untuk mendistribusikan ratusan ribu unit perangkat ke sekolah-sekolah dan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Namun, program ini kini tersandung kasus dugaan korupsi yang menyeret nama mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim, sebagai tersangka. Dugaan kerugian negara mencapai Rp1,9 triliun, sebagian besar dari mark-up harga laptop dan biaya lisensi.

Baca juga: korupsi chromebook: cermin

Jejak Program Digitalisasi dan Dugaan Korupsi

Menurut Peraturan Mendikbud Nomor 5 Tahun 2021, perangkat yang dipilih wajib menggunakan sistem operasi ChromeOS. Sistem ini dikenal ringan, murah, dan terintegrasi dengan layanan daring Google. Secara global, Chromebook pertama kali hadir pada 2011 dan populer di dunia pendidikan, khususnya di Amerika Serikat, karena keunggulannya ini. Namun, justru karakteristik inilah yang kemudian menjadi pangkal masalah di banyak daerah, terutama yang infrastruktur internet-nya belum memadai.

Realita di Lapangan: Chromebook Mandek di Lingga

Di Kabupaten Lingga, kondisi pemanfaatan Chromebook sangat bervariasi. Ada sekolah yang kesulitan, ada pula yang berhasil beradaptasi.

SMP Negeri 1 Singkep: Terkendala Jaringan dan Spesifikasi

Ambil contoh SMP Negeri 1 Singkep. Sekolah ini menerima tiga unit Chromebook pada tahun 2021 melalui Dinas Pendidikan setempat. Sayangnya, hingga kini perangkat tersebut belum pernah digunakan secara optimal.

“Kalau Chromebook itu kan harus online terus, sementara jaringan dan kebutuhan siswa kami tidak mendukung. Jadi sejak 2021 tiga unit itu tidak terpakai,” kata Thopan Jauhari, Guru SMP Negeri 1 Singkep, Senin (8/9/2025).

Thopan juga menambahkan bahwa spesifikasi perangkat yang diterima tergolong standar: layar 11,6 inci HD, prosesor Intel Celeron, RAM 4 GB, dan SSD 32 GB. Spek ini dinilai kurang fleksibel dibandingkan laptop konvensional untuk kebutuhan sekolah dengan jumlah siswa yang banyak. Keterbatasan ini membuat pemanfaatan Chromebook di sana menjadi sangat terbatas.

Beda Cerita di SMP Negeri 2 Singkep: Tetap Dimanfaatkan

Namun, tidak semua sekolah di Lingga mengalami nasib serupa. SMP Negeri 2 Singkep justru berhasil memanfaatkan 51 unit Chromebook yang mereka terima di tahun yang sama. Wakil Kepala Sekolah, Andry Setiawan, menjelaskan bahwa perangkat tersebut sangat membantu pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) dan ujian berbasis digital.

“Secara umum kondisinya masih bagus. Kalau keyboard rusak kami usahakan beli pengganti. Anak-anak tetap bisa memakainya dengan baik,” ujar Andry.

Dari 51 unit, sekitar 30 lebih masih aktif, meski sebagian mengalami kerusakan ringan pada keyboard. Ini menunjukkan bahwa dengan persiapan dan adaptasi yang tepat, serta dukungan infrastruktur yang memadai, Chromebook sebenarnya bisa memberikan manfaat signifikan dalam digitalisasi pendidikan.

Benarkah Chromebook Tidak Cocok untuk Sekolah di Indonesia?

Perdebatan mengenai kecocokan Chromebook untuk sekolah di Indonesia bukanlah hal baru. Kritikus menyoroti ketergantungan perangkat ini pada akses internet yang stabil, sementara infrastruktur jaringan di Indonesia belum merata, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Perdebatan Akses Internet dan Kebutuhan Fleksibilitas

Mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim sendiri sempat menanggapi kritik ini. Ia menyatakan bahwa target pengadaan Chromebook adalah sekolah-sekolah yang sudah memiliki akses internet, dan Kemendikbudristek juga menyediakan modem WiFi 3G dan proyektor sebagai pelengkap. Nadiem juga menekankan bahwa Chromebook lebih murah 10-30% dari laptop lain dengan spek setara, sistem operasi ChromeOS tidak berbayar, serta lebih aman untuk siswa dari konten negatif seperti pornografi atau judi online.

Namun, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina, menyebut adanya kejanggalan. Uji coba pada 2019 justru menyimpulkan laptop Chromebook tidak efisien untuk kondisi Indonesia. Hal ini memicu pertanyaan mengapa spesifikasi Chromebook tetap dipaksakan dalam regulasi, padahal uji coba awal menunjukkan infrastruktur jaringan internet di Indonesia belum merata. Meskipun Chromebook bisa digunakan secara offline dengan fitur terbatas, fungsi optimalnya sangat bergantung pada koneksi internet.

Masa Depan Chromebook di Sekolah: Harapan dan Tantangan

Kasus Chromebook di Lingga dan skala nasional ini membuka mata kita akan pentingnya perencanaan yang matang dalam program digitalisasi pendidikan. Perangkat canggih sekalipun tidak akan optimal jika tidak didukung oleh infrastruktur memadai dan kesiapan pengguna.

Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap bantuan teknologi benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan riil di lapangan, bukan sekadar memenuhi target pengadaan. Pelatihan intensif bagi guru dan siswa, serta pemeliharaan berkelanjutan, juga menjadi kunci agar pemanfaatan Chromebook dapat maksimal dan tidak berakhir sia-sia.

Kesimpulan

Dari Lingga hingga ke tingkat nasional, masalah pemanfaatan Chromebook di sekolah menjadi cerminan kompleksnya transformasi digital di Indonesia. Antara niat baik untuk memajukan pendidikan dan tantangan lapangan yang nyata, ada pelajaran berharga yang harus diambil. Semoga kasus ini menjadi momentum untuk mengevaluasi ulang strategi digitalisasi pendidikan agar manfaat teknologi benar-benar dirasakan oleh seluruh siswa dan guru di Tanah Air, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada lagi Chromebook yang teronggok tak terpakai.

FAQ

Tanya: Mengapa pemanfaatan Chromebook di sekolah Lingga bermasalah meskipun telah diadakan oleh pemerintah?
Jawab: Pemanfaatan Chromebook di Lingga bermasalah karena banyak perangkat yang tidak optimal digunakan, bahkan ada yang tidak terpakai, yang mengindikasikan adanya kendala dalam implementasi program digitalisasi.

Tanya: Apa kaitan masalah Chromebook sekolah Lingga dengan kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Mendikbudristek?
Jawab: Kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Mendikbudristek diduga terkait dengan mark-up harga laptop Chromebook dan biaya lisensi, yang berpotensi mempengaruhi kualitas dan ketersediaan perangkat yang didistribusikan, termasuk ke Lingga.

Tanya: Apa sistem operasi yang digunakan pada Chromebook sekolah yang diadakan pemerintah dan mengapa dipilih?
Jawab: Chromebook sekolah yang diadakan pemerintah menggunakan sistem operasi ChromeOS, yang dipilih karena dikenal ringan dan mendukung transformasi digital di sektor pendidikan.