Dari pusat keramaian Kota Kembang, Bandara Husein Sastranegara kini bagai saksi bisu denyut nadi yang melambat. Sebuah ironi, mengingat fasilitas udara yang strategis ini pernah menjadi gerbang utama jutaan wisatawan dan pebisnis. Sejak Oktober 2023, hiruk pikuk penerbangan jet komersial yang dulu memadati landasannya telah berpindah, meninggalkan Husein hanya dengan desingan sesekali pesawat baling-baling yang melayani rute intra-Jawa yang terbatas. Namun, di tengah kesunyian itu, suara lantang Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menggema, mendesak pemerintah pusat untuk kembali membuka Bandara Husein secara penuh. Ini bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah taruhan besar bagi masa depan ekonomi dan pariwisata Bandung, di tengah bayang-bayang Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati yang masih mencari jati diri.
Desakan dari Kota Kembang: Mengapa Husein Harus Kembali?
Muhammad Farhan tak menyembunyikan kekecewaannya atas kondisi Bandara Husein saat ini. Baginya, pembatasan operasional Husein adalah pukulan telak bagi Kota Bandung. “Yang perlu dilakukan sekarang adalah buka segera Husein, karena dengan segera membuka Husein maka sektor pariwisata Kota Bandung akan bergerak,” tegas Farhan, menyuarakan urgensi yang mendalam. Data yang dimilikinya menunjukkan potensi kerugian yang masif: 4 juta wisatawan diduga urung datang ke Bandung sejak pembatasan operasional Husein diberlakukan. Angka ini signifikan, mengingat 80 persen dari 4 juta wisatawan yang datang ke Bandung setiap tahun adalah domestik, dan 20 persen sisanya dari mancanegara.
Farhan berargumen, pasar terbesar untuk penerbangan di Jawa Barat sejatinya berada di Kota Bandung. Dengan ditutupnya Husein dan dipaksa pindah ke Kertajati, banyak warga Bandung dan sekitarnya justru memilih terbang melalui Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta. “Yang untung siapa? Ya Jakarta. Jawa Barat enggak dapat apa-apa,” keluhnya. Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Sebelum pembatasan, Bandara Husein mampu melayani hingga 4 juta penumpang per tahun. Kini, jumlah penumpang harian anjlok drastis dari rata-rata 2.000-2.300 orang per hari menjadi hanya lima orang.
Pemerintah Kota Bandung juga siap mendukung reaktivasi ini dengan mempersiapkan infrastruktur penunjang. Perbaikan tempat parkir dan rekayasa lalu lintas di sekitar area bandara, terutama akses dari flyover Nurtanio hingga Jalan Pajajaran, menjadi prioritas agar operasional tidak menimbulkan kemacetan. General Manager Bandara Husein Sastranegara, Indra Crisna Seputra, bahkan telah memastikan kesiapan teknis bandara. Seluruh fasilitas, termasuk runway dan terminal, tetap dirawat sesuai prosedur dan siap digunakan. “Fasilitas tidak ada yang kami kurangi. Runway-nya masih tetap panjang, fasilitasnya juga masih ada. Seperti teman-teman lihat terminalnya pun juga masih dingin,” ujar Indra, seraya menegaskan Husein masih mampu melayani pesawat jet tipe A320.
Namun, Farhan juga realistis. Ia memahami keterbatasan landasan pacu Husein yang relatif pendek dan lokasinya yang dikelilingi pemukiman padat. Oleh karena itu, jika Husein dibuka kembali, ia mengusulkan agar bandara ini tidak melayani pesawat jet berbadan lebar (wide-body) seperti A330, B777, atau A380. Fokusnya adalah pada pesawat jet komersial seperti Boeing 737, ATR, atau A320 untuk rute-rute wisatawan dari luar Pulau Jawa dan negara-negara Asia Tenggara, seperti Bali, Medan, Ujung Pandang, Balikpapan, Palembang, serta Malaysia dan Singapura.
Bayang-bayang Kertajati: Beban dan Tantangan Operasional
Desakan Farhan tak lepas dari kondisi BIJB Kertajati yang belum mencapai titik optimal. Sejak Oktober 2023, Bandara Kertajati menjadi tumpuan utama penerbangan jet komersial di Jawa Barat, termasuk pengalihan rute dari Husein. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Dari tujuh rute penerbangan yang dialihkan dari Bandung, kini hanya tiga jalur yang bertahan: Balikpapan, Denpasar, dan Medan. Angka ini mencerminkan tantangan besar dalam menarik penumpang dan maskapai.
Wakil Menteri Perhubungan Suntana mengakui bahwa Kemenhub sedang mengevaluasi pengoperasian Bandara Husein Sastranegara, namun tak menampik adanya konflik kepentingan antara Pemkot Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pj Gubernur Jawa Barat, Bey Triadi Machmudin, misalnya, tetap ingin BIJB Kertajati dihidupkan dan dioptimalkan, terutama untuk penerbangan haji dan umrah (yang mulai tahun 2025 ditetapkan berangkat dari Kertajati), serta penerbangan internasional dan kargo.
Salah satu alasan di balik dorongan Bey untuk Kertajati adalah beban biaya operasional BIJB yang mencapai Rp 60 miliar per tahun yang ditanggung Pemprov Jabar. Angka ini tentu menjadi pertimbangan krusial dalam kajian efektivitas dan efisiensi kedua bandara. Jika Kertajati sepi penumpang, beban ini akan terus membebani anggaran daerah. Namun, pihak Pemprov Jabar juga percaya Kertajati memiliki ekosistem industri penerbangan yang telah terbentuk, termasuk dengan kepindahan fasilitas pemeliharaan pesawat Garuda (GMF) ke sana.
Pusaran Kebijakan di Meja Pusat: Antara Efektivitas dan Efisiensi
Polemik antara Bandung dan Kertajati kini berada di meja pemerintah pusat. Wali Kota Farhan berulang kali menegaskan bahwa “bola ada di tangan pemerintah pusat.” Kemenhub, melalui Wamenhub Suntana, telah menyatakan akan berkoordinasi dan mengevaluasi secara komprehensif. Keputusan yang akan diambil harus mempertimbangkan manfaat terbaik bagi masyarakat dan pemerintah daerah, dengan fokus pada efektivitas dan efisiensi. Data mengenai potensi kehilangan wisatawan di Bandung yang disampaikan Farhan juga akan menjadi bahan kajian.
Kompleksitas masalah ini tidak hanya melibatkan Kemenhub, Pemkot Bandung, dan Pemprov Jabar, tetapi juga pemangku kepentingan lain seperti TNI AU, PTDI, dan Angkasa Pura. Bandara Husein, sebagai aset yang terkait dengan beberapa entitas ini, memerlukan koordinasi lintas sektoral yang matang. Pj Gubernur Bey Triadi Machmudin pun menyatakan akan melaporkan dinamika ini kepada Kemenhub, berharap ada solusi terbaik yang tidak menimbulkan perdebatan berkepanjangan.
Menjembatani Dua Kutub: Solusi untuk Konektivitas Jawa Barat
Di tengah tarik-ulur ini, muncul pemikiran tentang bagaimana kedua bandara, Husein dan Kertajati, dapat saling melengkapi alih-alih bersaing. Bey Machmudin mengisyaratkan kemungkinan pembagian peran: Kertajati untuk penerbangan haji/umrah, internasional, dan kargo, sementara Husein melayani rute domestik dengan pesawat berbadan sedang atau kecil. Farhan sendiri telah mengusulkan rute-rute spesifik yang dianggap “market terbesar” Husein sebelum dipindahkan, seperti Denpasar-Bandung (urutan pertama) dan Medan-Bandung (urutan kedua), yang didominasi pebisnis dan mahasiswa.
Ide ini sejalan dengan pandangan Farhan bahwa pembukaan Husein tidak akan mengganggu ekosistem Kertajati, terutama jika jenis pesawat dan rute diatur secara cermat. PT Angkasa Pura, sebagai pengelola kedua bandara, diharapkan dapat menghitung model bisnis yang paling optimal untuk pembagian rute ini. Ini adalah tentang mengoptimalkan aset yang ada dan memastikan konektivitas yang efisien bagi masyarakat dan perekonomian Jawa Barat secara keseluruhan.
Polemik Bandara Husein dan Kertajati adalah cerminan dari tantangan pembangunan infrastruktur yang tak hanya berbicara soal fisik, tetapi juga dinamika ekonomi regional, politik lokal, dan kepentingan nasional. Keputusan akhir pemerintah pusat akan sangat menentukan tidak hanya nasib Bandara Husein, tetapi juga arah pertumbuhan pariwisata dan ekonomi Bandung, serta optimalisasi investasi besar di Kertajati. Ini bukan sekadar memilih satu dari dua bandara, melainkan merumuskan sebuah strategi konektivitas udara yang cerdas dan berkelanjutan bagi seluruh Jawa Barat, demi keuntungan masyarakat dan kemajuan daerah. Bola memang ada di tangan pusat, dan seluruh mata tertuju pada langkah bijak yang akan diambil.
FAQ
Tanya: Mengapa Bandara Husein Sastranegara di Bandung saat ini beroperasi terbatas?
Jawab: Bandara Husein Sastranegara saat ini beroperasi terbatas, hanya melayani penerbangan pesawat baling-baling untuk rute intra-Jawa. Pembatasan ini menyebabkan berkurangnya penerbangan jet komersial yang sebelumnya ramai beroperasi di bandara tersebut. Alasan pasti pembatasan ini tidak dijelaskan secara detail dalam artikel, namun konteksnya menunjukkan adanya pergeseran fokus ke Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati.
Tanya: Apa dampak pembatasan operasional Bandara Husein Sastranegara terhadap Kota Bandung?
Jawab: Pembatasan operasional Bandara Husein Sastranegara berdampak negatif signifikan terhadap ekonomi dan pariwisata Bandung. Diperkirakan sekitar 4 juta wisatawan tidak jadi mengunjungi Bandung akibat pembatasan ini, yang berakibat pada kerugian ekonomi yang besar. Hal ini dikarenakan aksesibilitas udara yang lebih terbatas membuat Bandung kurang menarik bagi wisatawan.
Tanya: Mengapa Wali Kota Bandung mendesak agar Bandara Husein Sastranegara dibuka kembali secara penuh?
Jawab: Wali Kota Bandung mendesak pembukaan kembali Bandara Husein Sastranegara secara penuh karena hal tersebut dianggap krusial untuk menghidupkan kembali sektor pariwisata dan ekonomi Kota Bandung. Pembatasan operasional bandara dinilai sebagai kerugian besar bagi kota, mengingat potensi wisatawan yang hilang dan dampaknya terhadap perekonomian lokal.
Tanya: Apa hubungan antara Bandara Husein Sastranegara dan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati?
Jawab: Artikel menyiratkan adanya persaingan atau pergeseran fokus dari Bandara Husein Sastranegara ke Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati sebagai bandara utama di Jawa Barat. Pembatasan operasional Bandara Husein mungkin terkait dengan upaya untuk mendorong penggunaan BIJB Kertajati, meskipun BIJB Kertajati sendiri masih dalam tahap pengembangan dan mencari jati dirinya.