Yogyakarta, zekriansyah.com – Yogyakarta, kota yang selalu punya tempat spesial di hati banyak orang. Dikenal dengan budaya adiluhung, pendidikan berkualitas, dan pesona wisatanya yang bikin rindu. Tapi, ada satu fakta yang sering bikin kaget: Yogyakarta tercatat sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa.
Ilustrasi: Senyum warga Yogyakarta membuktikan kebahagiaan tak selamanya terukur dari kekayaan.
Lalu, muncul paradoks menarik: di tengah kondisi ekonomi yang “pas-pasan”, warga Jogja justru sering disebut-sebut sebagai salah satu yang paling bahagia. Kok bisa begitu? Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena unik ini, mencari tahu data di baliknya, dan memahami apa sebenarnya rahasia kebahagiaan warga Jogja. Mari kita selami lebih dalam!
Potret Kemiskinan dan Ketimpangan di Yogyakarta
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercatat sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa. Persentase penduduk miskinnya mencapai 11,49%, dengan jumlah sekitar 463.630 jiwa. Angka ini bahkan meningkat dibandingkan Maret 2022.
Garis kemiskinan per kapita per bulan di Jogja pada September 2022 adalah Rp 551.342. Ini berarti, jika pengeluaran seseorang di bawah angka tersebut, ia masuk kategori miskin.
Tak hanya itu, Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta di tahun 2023 juga tergolong rendah, yakni Rp 1.981.782. Angka ini menempatkan DIY di posisi kedua terendah di Pulau Jawa, hanya lebih tinggi dari Jawa Tengah.
Selain kemiskinan, Yogyakarta juga menghadapi masalah ketimpangan sosial yang tinggi. Rasio gini (pengukur kesenjangan si kaya dan si miskin) di DIY mencapai 0,459 per September 2022, tertinggi di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan terus melebar.
Apa penyebab ketimpangan ini? Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menjelaskan beberapa faktor:
- Kota Pelajar dan Pendatang: Yogyakarta sebagai kota pelajar menarik banyak pendatang dengan kondisi ekonomi yang lebih mapan.
- Sektor Pertanian: Sebagian besar rumah tangga miskin di Jogja bekerja di sektor pertanian, yang profil usianya banyak diisi oleh usia non-produktif.
- Pensiunan Kaya: Ada tren pensiunan dari kota-kota besar dengan uang pensiun besar memilih tinggal dan membeli properti di Jogja, yang memperlebar ketimpangan.
Indeks Kebahagiaan: Benarkah Warga Jogja Paling Bahagia?
Klaim “miskin tapi bahagia” ini memang sering jadi perbincangan. Bahkan, Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, sempat mengatakan tidak terlalu khawatir dengan status termiskin karena warganya tetap bahagia.
Data Indeks Kebahagiaan BPS menunjukkan bahwa Yogyakarta pernah menduduki peringkat teratas sebagai provinsi paling bahagia di Pulau Jawa pada 2014 (70,77%) dan 2017 (72,93%).
Namun, survei terbaru BPS tahun 2021 menunjukkan adanya penurunan. Indeks Kebahagiaan DIY menjadi 71,70%. Angka ini menempatkan Jogja di posisi ketiga di Pulau Jawa, di bawah Jawa Timur (72,08%) dan Jawa Tengah (71,73%). Secara nasional, posisinya bahkan turun ke peringkat 22.
Indeks Kebahagiaan diukur dari tiga dimensi utama:
- Kepuasan Hidup: Meliputi kepuasan personal (pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kesehatan, fasilitas rumah) dan kepuasan sosial (keharmonisan keluarga, waktu luang, hubungan sosial, lingkungan, keamanan).
- Perasaan (Affect): Menggambarkan emosi positif dan negatif.
- Makna Hidup (Eudaimonia): Merujuk pada tujuan hidup, kemandirian, dan hubungan positif dengan orang lain.
Uniknya, dalam Indeks Kebahagiaan DIY 2021, dimensi kepuasan hidup sosial sangat tinggi (79,64%), jauh melampaui kepuasan hidup personal (69,38%).
Meskipun demikian, ada beberapa catatan penting terkait indikator kepuasan hidup personal:
- Pendidikan: Walau banyak penduduk berpendidikan tinggi (11,68% menempuh pendidikan tinggi), angka melek huruf (95,15%) masih di bawah rata-rata nasional.
- Kesehatan: Prevalensi beberapa penyakit kronis seperti kanker, diabetes, dan jantung di DIY termasuk yang tertinggi secara nasional.
- Pendapatan: UMP yang rendah membuat persentase pengeluaran terhadap pendapatan di Jogja menjadi yang tertinggi di Jawa (27,8%). Artinya, sebagian besar pendapatan habis untuk pengeluaran.
Di sisi lain, angka harapan hidup di DIY sangat tinggi, mencapai 74 tahun, di atas rata-rata nasional 71 tahun. Ini menunjukkan kualitas hidup non-ekonomi yang patut diacungi jempol.
Rahasia Kebahagiaan Warga Jogja: Budaya dan Filosofi Hidup
Fenomena “miskin tapi bahagia” di Yogyakarta sering dikaitkan dengan budaya dan filosofi hidup masyarakat Jawa, khususnya di tanah keraton ini.
-
Filosofi “Nrimo ing Pandum”
“Nrimo ing pandum” berarti menerima dengan ikhlas apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Prinsip ini mengajarkan rasa syukur, keseimbangan, dan kesederhanaan dalam menjalani hidup.
Ekonom Bhima Yudhistira menyebut budaya ini bisa bersifat permisif terhadap kemiskinan, karena meyakini kemiskinan adalah pemberian yang harus diterima. Namun, bagi warga Jogja, ini menjadi fondasi kebahagiaan non-material. -
Konsep “Sithik Eding”
Antropolog UGM, Heddy Shri Ahimsa Putra, menjelaskan konsep “sithik eding”. “Sithik” berarti sedikit, dan “eding” kurang lebih bermakna berbagi atau sama-sama.“Orang Jawa Itu mengenal istilah sithik eding, sama-sama meski sedikit. Saya ingat dulu waktu kecil itu kalau kita punya sedikit, kemudian orang tua bilang, sithik eding, dibagi tapi sama-sama sedikit.”
Dalam konsep ini, berbagi lebih diutamakan daripada jumlah materi yang sedikit. Berbagi ini memberikan kenyamanan hidup dan mengajarkan bahwa materi bukan segalanya. -
Gotong Royong dan Kepedulian Sosial
Komunitas di Jogja dikenal sangat kuat. Budaya gotong royong dan saling membantu antar tetangga masih kental. Jika ada yang susah, akan dibantu. Jika ada yang berdagang, akan dibeli. Ini menciptakan jaring pengaman sosial informal yang kuat. -
Biaya Hidup Relatif Murah dan Lingkungan Kondusif
Meskipun UMP rendah, beberapa pihak berpendapat biaya hidup di Jogja relatif lebih murah dibandingkan kota besar lain, sehingga kebutuhan dasar bisa terpenuhi. Kehidupan di lingkungan yang asri, minim polusi, dan kaya akan keindahan alam serta budaya (Keraton, Candi Prambanan, seni tradisional) juga memberikan rasa nyaman dan bangga.
Intinya, kebahagiaan masyarakat Jogja tidak semata-mata ditentukan oleh kemakmuran ekonomi, melainkan oleh harmoni antara manusia, alam, dan budaya, serta pandangan hidup yang positif dan sederhana.
Tantangan dan Perspektif Lain di Balik ‘Kere Hore’
Meskipun budaya lokal sangat mendukung kebahagiaan, ada kritik dan kekhawatiran yang perlu diperhatikan terkait fenomena “kere hore” ini.
- UMP yang Tidak Layak: Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) menilai UMP Jogja yang rendah tidak layak. Mereka berpendapat bahwa harga kebutuhan pokok seperti gas dan beras di Jogja setara dengan kota-kota ber-UMP tinggi seperti Tangerang, membuat buruh sulit memenuhi kebutuhan hidup layak.
- Risiko dalam Sistem Kapitalisme: Beberapa pandangan menyoroti bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme, memiliki “resources” (uang, koneksi, skill) yang cukup itu penting untuk bertahan hidup. Terlalu pasrah tanpa usaha bisa berdampak buruk di masa depan, terutama jika tidak ada jaring pengaman sosial yang kuat.
- Penurunan Indeks Kebahagiaan: Penurunan peringkat Indeks Kebahagiaan DIY di tahun 2021 menunjukkan bahwa ada isu-isu yang mulai memengaruhi kebahagiaan warga. Dr. Pajar Hatma Indra Jaya dari UIN Sunan Kalijaga menyoroti beberapa hal yang perlu diwaspadai:
- Fenomena klithih (kejahatan jalanan) yang membuat warga khawatir berkendara malam hari.
- Kerusakan lingkungan, seperti tingginya bakteri E. coli di sungai dan sumur.
- Inflasi harga tanah dan kesenjangan kekayaan yang tinggi yang mempersulit kelompok miskin.
Pemerintah DIY, melalui Sekda Kadarmanta Baskara Aji, menyatakan bahwa penilaian kemiskinan tidak hanya berpatokan pada pengeluaran bulanan, tetapi juga pada kebiasaan menabung dan investasi warga. Namun, upaya peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja tetap perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi yang nyata.
Kesimpulan
Yogyakarta memang menyimpan paradoks unik: di satu sisi menghadapi masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, namun di sisi lain warganya dikenal memiliki tingkat kebahagiaan yang relatif tinggi. Hal ini didukung oleh budaya luhur seperti “nrimo ing pandum” dan “sithik eding”, serta kuatnya ikatan sosial dan gotong royong.
Fenomena ini mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya diukur dari materi. Namun, bukan berarti masalah ekonomi bisa diabaikan. Tantangan seperti UMP yang rendah, kesenjangan sosial, dan masalah lingkungan tetap perlu diatasi agar kebahagiaan warga Jogja bisa terus lestari dan mereka juga mencapai kesejahteraan yang lebih baik.
Mari terus belajar dari kearifan lokal, sambil tetap berupaya menciptakan masa depan yang lebih sejahtera bagi semua.