Waspada! Daya Saing RI Anjlok Parah, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Pendahuluan:

Waspada! Daya Saing RI Anjlok Parah, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Indonesia terpukul. Peringkat daya saing negara kita terjun bebas dari posisi 27 ke 40 dalam World Competitiveness Ranking (WCR) 2025 yang dirilis Institute for Management Development (IMD). Ini bukan sekadar penurunan angka, melainkan sinyal bahaya bagi perekonomian dan masa depan bangsa. Anjloknya peringkat ini, yang terburuk dalam empat tahun terakhir, setelah sempat menorehkan prestasi membanggakan, membawa kita pada pertanyaan krusial: siapa yang bertanggung jawab atas kemerosotan ini? Apakah pemerintah, sektor swasta, atau bahkan kita semua? Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai faktor penyebabnya dan mencari solusi yang tepat.

Pemerintahan Baru dan Kehilangan Fokus Kebijakan

Salah satu sorotan tajam tertuju pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, dan analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, menyarankan bahwa pergantian kepemimpinan mengakibatkan hilangnya fokus kebijakan. Efisiensi anggaran yang diprioritaskan, menurut Bhima, tidak berkorelasi dengan kecepatan perizinan usaha, sebuah faktor kunci daya saing. Perbandingan dengan Vietnam, yang berhasil meningkatkan daya saing melalui efisiensi perizinan, semakin memperkuat argumen ini. Perubahan drastis fokus kebijakan dari infrastruktur dan hilirisasi di era Jokowi ke prioritas pangan dan pertahanan di era Prabowo diduga membuat investor ragu dan enggan berinvestasi di Indonesia. Kehilangan kepercayaan investor ini merupakan pukulan telak bagi daya saing negara.

Efisiensi Pemerintah, Bisnis, dan Infrastruktur yang Terpuruk

Laporan IMD menunjukkan penurunan signifikan pada tiga pilar utama daya saing: efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Indonesia merosot 11 peringkat dalam efisiensi pemerintah, 12 peringkat dalam efisiensi bisnis, dan 5 peringkat dalam infrastruktur. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari birokrasi yang lamban dan ketidakpastian kebijakan hingga rendahnya produktivitas tenaga kerja, terbatasnya akses pembiayaan, dan kualitas infrastruktur yang belum merata. Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menekankan bahwa penurunan ini mencerminkan tantangan struktural yang belum teratasi secara sistemik, bukan sekadar gejolak jangka pendek. Lemahnya kontribusi sektor penunjang ekonomi, seperti rendahnya produktivitas tenaga kerja dan daya beli masyarakat yang masih rendah, juga menjadi biang kerok masalah. Biaya logistik Indonesia yang mencapai lebih dari 23 persen, jauh di atas angka ideal 13 persen, semakin memperburuk daya saing.

Rendahnya Kualitas SDM dan Tantangan Bonus Demografi

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, mengaitkan penurunan daya saing dengan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Laporan IMD menyoroti rendahnya jumlah peneliti dan pengembangan, rendahnya kualitas pelajar berdasarkan skor PISA, dan rendahnya tingkat pendidikan tinggi. Ini menjadi ancaman serius mengingat bonus demografi Indonesia yang akan segera tiba. Tanpa peningkatan kualitas SDM yang signifikan, bonus demografi justru akan menjadi beban, karena banyaknya tenaga kerja yang tidak terserap industri.

Tanggapan Pemerintah dan Pandangan yang Berbeda

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa daya saing Indonesia masih terkelola dengan baik, dengan mengacu pada arus masuk modal asing yang masih tinggi. Namun, argumen ini dipertanyakan oleh berbagai pihak, mengingat penurunan peringkat yang drastis dan berbagai indikator negatif lainnya. Upaya pemerintah seperti inisiatif Danantara dan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) diharapkan dapat meningkatkan daya saing, namun keberhasilannya masih perlu dipantau. Para pakar menekankan perlunya fokus pada pembenahan efisiensi pemerintah dan bisnis, serta peningkatan kualitas SDM sebagai kunci utama mengatasi masalah ini.

Kesimpulan: Kolaborasi dan Reformasi Struktural yang Komprehensif

Penurunan peringkat daya saing Indonesia bukanlah masalah yang dapat diselesaikan secara instan. Ini membutuhkan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, serta reformasi struktural yang komprehensif dan berkelanjutan. Pemerintah perlu fokus pada penyederhanaan birokrasi, peningkatan kualitas infrastruktur, pembentukan iklim investasi yang kondusif, dan peningkatan kualitas SDM melalui reformasi pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan industri. Sektor swasta perlu meningkatkan produktivitas dan inovasi, sedangkan masyarakat perlu berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Jika tidak, ancaman kehilangan kesempatan investasi, melemahnya perekonomian, dan membengkaknya pengangguran akan semakin nyata. Kita semua perlu bertanggung jawab atas masa depan Indonesia.


FAQ

Tanya: Mengapa peringkat daya saing Indonesia anjlok drastis dari posisi 27 ke 40 dalam World Competitiveness Ranking (WCR) 2025?
Jawab: Anjloknya peringkat daya saing Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah perubahan fokus kebijakan pemerintahan baru yang dinilai kurang efektif. Perubahan prioritas dari infrastruktur dan hilirisasi ke pangan dan pertahanan diduga membuat investor ragu dan mengurangi investasi di Indonesia. Selain itu, kecepatan perizinan usaha yang kurang efisien juga menjadi faktor penyebab.

Tanya: Apa dampak dari penurunan peringkat daya saing Indonesia terhadap perekonomian dan masa depan bangsa?
Jawab: Penurunan peringkat daya saing merupakan sinyal bahaya bagi perekonomian Indonesia dan masa depan bangsa. Hal ini dapat berdampak pada menurunnya investasi asing, pelemahan pertumbuhan ekonomi, dan kesulitan dalam menciptakan lapangan kerja.

Tanya: Siapa yang dianggap bertanggung jawab atas penurunan daya saing Indonesia berdasarkan artikel tersebut?
Jawab: Artikel tersebut menyorot pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab, karena perubahan fokus kebijakan yang dianggap kurang mendukung peningkatan daya saing. Namun, artikel juga menyiratkan bahwa sektor swasta dan bahkan masyarakat juga turut berperan dalam permasalahan ini.

Tanya: Apa perbandingan Indonesia dengan negara lain, misalnya Vietnam, yang relevan dengan penurunan daya saing ini?
Jawab: Artikel membandingkan Indonesia dengan Vietnam. Vietnam berhasil meningkatkan daya saingnya melalui efisiensi perizinan usaha, berbeda dengan Indonesia yang dinilai kurang efisien dalam hal tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa efisiensi birokrasi dan regulasi merupakan faktor penting dalam menentukan daya saing suatu negara.