Warga Cilodong Depok Demo Tolak Pembangunan Gereja: Bukan Intoleransi, Ini Duduk Perkaranya

Dipublikasikan 6 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Warga Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat, baru-baru ini menggelar aksi unjuk rasa menolak pembangunan sebuah gereja. Kejadian ini ramai diperbincangkan karena memicu berbagai spekulasi. Tapi, sebenarnya apa yang terjadi di balik penolakan warga ini?

Warga Cilodong Depok Demo Tolak Pembangunan Gereja: Bukan Intoleransi, Ini Duduk Perkaranya

Ilustrasi: Warga Cilodong Depok berkumpul menolak pembangunan gereja, menyoroti duduk perkara di balik aksi mereka yang bukan karena intoleransi.

Artikel ini akan mengupas tuntas duduk perkara di balik demo tolak pembangunan gereja di Cilodong Depok. Anda akan memahami alasan di balik penolakan warga, termasuk bantahan soal isu intoleransi, serta penjelasan dari pihak gereja terkait polemik ini. Yuk, simak informasinya sampai tuntas!

Kronologi Aksi Penolakan Warga Cilodong Depok

Pada Sabtu, 5 Juli 2025, ratusan warga yang mayoritas berasal dari RT 02 dan RT 05 RW 03 Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilodong, Depok, turun ke jalan. Mereka berunjuk rasa di Jalan Palautan Reres, tepat di depan lahan yang rencananya akan dibangun Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Runggun Studio Alam.

Aksi ini diwarnai dengan teriakan penolakan dan spanduk-spanduk besar yang dibentangkan warga. Beberapa spanduk bertuliskan, “Tolak, tolak. Bongkar!” dan “Kami seluruh warga RT 02 dan RT 05, RW 03 menolak keras untuk mendirikan pembangunan gereja di lingkungan kami. Karena tidak pernah menghargai warga dan lingkungan kami.”

Di lokasi, terdapat plang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan logo Pemerintah Kota Depok, bernomor 6-15.8/0642/IMB/SIMPOK/DPMPTSP/2025 yang terbit pada 4 Maret 2025. Plang ini juga mencantumkan peringatan hukum bagi siapa saja yang mencabutnya.

Alasan Warga Menolak: Klaim Minim Sosialisasi dan Tanpa Persetujuan

Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kalibaru, Rudi Ardiansah, menjelaskan bahwa penolakan warga bukan tanpa alasan. Menurutnya, inti masalahnya adalah kurangnya komunikasi dan sosialisasi dari pihak gereja.

“Yang pertama, tidak ada sosialisasi sebelumnya kepada warga. Yang kedua, kami sebagai pemangku jabatan lingkungan di bawah juga tidak pernah diajak untuk mediasi,” kata Rudi.

Ia menambahkan, meskipun pihak gereja sudah mengantongi izin pembangunan, warga merasa tidak pernah dimintai persetujuan secara resmi.

“Sekarang perizinan mereka sudah keluar, tanpa adanya persetujuan dari warga masyarakat juga. Di mana warga masih menolak pendirian gereja tersebut,” ujarnya.

Beberapa warga juga mengeluhkan bahwa pihak pengelola gereja hanya mengandalkan izin resmi dari pemerintah, tanpa melakukan pendekatan langsung kepada warga sekitar. Bahkan, muncul dugaan adanya manipulasi tanda tangan warga untuk pengurusan izin, di mana ada tanda tangan palsu atau bahkan tanda tangan dari warga yang sudah meninggal.

Bantahan Isu Intoleransi: Sudah Ada Gereja Lain Berdampingan

Rudi Ardiansah dengan tegas membantah anggapan bahwa penolakan warga ini disebabkan oleh isu intoleransi. Ia menjelaskan bahwa di lingkungan sekitar lokasi yang akan dibangun gereja tersebut, sudah berdiri dua gereja lain yang beroperasi tanpa masalah.

“Kalau masalah intoleran kita tidak ke sana, karena kenapa di belakang saya sudah ada dua gereja yang bersebelahan,” tegas Rudi.

Menurutnya, masalah utama adalah “adab” atau perlakuan pihak gereja yang tidak berdiskusi dan berkoordinasi dengan warga sejak awal. Warga merasa kecewa karena pihak gereja menempuh “jalur atas” untuk mendapatkan izin tanpa melibatkan pengurus RT dan RW setempat. Berbeda dengan pembangunan gereja lain di area yang sama, yang berjalan lancar karena prosesnya sesuai prosedur, yaitu melakukan sosialisasi dan diskusi yang baik dengan warga.

Tanggapan Pihak Gereja: IMB Sudah Ada dan Klaim Ada Kesepakatan

Menanggapi aksi penolakan ini, Ketua Marturia Gereja GBKP Runggun Studio Alam Depok, Zetsplayrs Tarigan, angkat bicara. Ia menjelaskan bahwa peletakan batu pertama pembangunan gereja dilakukan karena mereka sudah mengantongi IMB yang terbit pada 4 Maret 2025.

Zetsplayrs juga membantah tudingan tidak adanya koordinasi dengan warga. Menurutnya, beberapa hari sebelum peletakan batu pertama, tepatnya pada Kamis, 3 Juli 2025, pihaknya sudah mengadakan pertemuan dengan Camat Cilodong, Lurah Kalibaru, LPM, serta pengurus RT dan RW setempat.

Dalam pertemuan tersebut, kata Zetsplayrs, telah dicapai beberapa kesepakatan antara pihak gereja dengan perwakilan warga:

  • Hibah Tanah untuk Jalan: Gereja akan menghibahkan tanahnya untuk pelebaran jalan, dari yang semula 1,5 meter menjadi 3,5 meter. Ini akan bermanfaat bagi akses kompleks perumahan dan warga sekitar.
  • Pembangunan Saluran Air: Akan dibangun saluran air (drainase) di belakang perumahan, mengingat saat ini warga membuang air ke tanah gereja.
  • Pembangunan Gereja dengan Tiang: Gereja akan dibangun menggunakan tiang, tidak diurug, untuk mengantisipasi masalah banjir di lingkungan sekitar.
  • Bantuan untuk Kegiatan Warga: Pihak gereja berjanji akan memberikan bantuan untuk kegiatan warga yang membutuhkan, seperti acara 17 Agustus-an.

“Itu sudah menjadi kesepakatan kita waktu kita di kantor camat. Nah ini sudah kita sampaikan ke Pak RW, Pak Wagino untuk menyampaikan kepada warga kita,” jelas Zetsplayrs.

Ia menegaskan bahwa semua persyaratan perizinan sudah dipenuhi, termasuk persetujuan dari 90 jemaat dan 60 warga, serta sertifikat tanah yang sudah atas nama gereja.

Mencari Titik Temu di Tengah Polemik

Polemik pembangunan gereja di Cilodong, Depok, ini menyoroti pentingnya komunikasi dan transparansi dalam setiap proyek pembangunan, terutama yang melibatkan fasilitas umum atau rumah ibadah. Baik warga maupun pihak gereja memiliki argumen dan dasar masing-masing.

Semoga saja, melalui dialog yang konstruktif dan mediasi yang efektif, kedua belah pihak dapat menemukan titik temu yang adil dan beradab. Tujuan utamanya adalah menjaga kerukunan antarumat beragama dan memastikan setiap pembangunan dapat berjalan harmonis dengan lingkungan sekitar.