Gejolak di Timur Tengah kembali menghebohkan dunia dengan update perang Iran vs Israel yang memasuki babak baru, diwarnai pengumuman gencatan senjata yang penuh drama sekaligus klaim kemenangan dari berbagai pihak. Di tengah narasi yang simpang siur, pertanyaan besar muncul: mengapa Iran, pada awalnya, seolah menolak gencatan senjata dan mengajak perang Israel dan AS secara lebih luas, padahal kemudian mengumumkan berakhirnya konflik 12 hari? Artikel ini akan mengupas tuntas kompleksitas di balik peristiwa tersebut, menganalisis klaim-klaim yang saling bertentangan, serta menyoroti dampak luas yang mungkin terjadi bagi stabilitas kawasan dan global.
Konflik yang melanda Iran dan Israel selama 12 hari terakhir telah mencengkeram perhatian dunia. Dimulai dengan serangan Israel terhadap Iran pada 13 Juni 2025, yang diklaim untuk mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir—tuduhan yang dibantah keras oleh Iran—situasi dengan cepat memanas. Iran membalas dengan melancarkan Operasi True Promise III, menargetkan instalasi militer di Israel. Puncaknya, Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, turut campur tangan dengan mengebom tiga fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan pada 22 Juni 2025. Peristiwa ini memicu rentetan reaksi dan manuver diplomatik yang rumit, menciptakan lanskap geopolitik yang penuh ketidakpastian.
Drama di Balik Pengumuman Gencatan Senjata
Puncak dari serangkaian serangan dan balasan ini adalah pengumuman mengejutkan dari Presiden AS Donald Trump pada Senin, 23 Juni 2025, yang menyatakan bahwa Israel dan Iran telah menyepakati gencatan senjata penuh dan menyeluruh. Trump, melalui platform Truth Social-nya, bahkan mengucapkan selamat kepada kedua negara dan menyebut perjanjian ini sebagai terobosan yang “dapat menyelamatkan Timur Tengah dari kehancuran selama bertahun-tahun.” Ia menggambarkan konflik ini sebagai pertikaian yang sudah terlalu lama berlangsung, bahkan menyamakannya dengan “dua anak kecil yang bertengkar di halaman sekolah.” Bagi Trump, gencatan senjata ini adalah pencapaian besar yang mencegah perang berkepanjangan yang berpotensi menghancurkan Timur Tengah.
Namun, pengumuman Trump segera disambut dengan kebingungan dan skeptisisme, terutama dari pihak Iran. Seorang pejabat tinggi Iran, yang berbicara kepada CNN pada Selasa, 24 Juni 2025, dengan tegas menyatakan bahwa Teheran menolak seluruh usulan gencatan senjata dari pihak manapun, termasuk dari Dewan Keamanan PBB. Pejabat tersebut menuding musuh-musuh negaranya hanya menyodorkan “janji-janji damai penuh tipu daya” dan menegaskan bahwa Iran tidak melihat alasan untuk gencatan senjata. Pernyataan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa Iran akan terus melakukan perlawanan militer hingga tercapai “perdamaian abadi, bukan sekadar kesepakatan palsu di atas kertas.” Bahkan, pejabat tersebut mengisyaratkan bahwa Iran “hampir mengintensifkan serangan balasannya, tanpa mau mendengarkan kebohongan dari mereka.”
Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai koordinasi diplomatik dan niat sebenarnya dari masing-masing pihak. Hingga Senin malam, baik pejabat Israel maupun Iran belum mengonfirmasi secara terbuka kesepakatan apa pun, dan Gedung Putih serta Pentagon juga belum mengeluarkan pernyataan resmi. Trump sendiri sempat mengungkapkan kekecewaannya dengan tindakan Israel yang melancarkan serangan udara besar-besaran ke Iran segera setelah kesepakatan dicapai, bahkan menuduh Israel “melangkah terlalu jauh.”
Perang 12 Hari: Eskalasi dan Keterlibatan AS
Konflik yang berlangsung selama 12 hari ini telah menjadi salah satu yang paling intens di Timur Tengah dalam beberapa dekade terakhir. Setelah serangan awal Israel dan balasan Iran, keterlibatan Amerika Serikat secara langsung mengubah dinamika konflik. AS, yang dikomandoi Presiden Trump, melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir Iran. Tindakan ini memicu reaksi keras dari Teheran, dengan Presiden Iran Masoud Pezeshkian menegaskan bahwa AS harus menanggung konsekuensi permanen atas agresi tersebut.
Ancaman balasan Iran bukan sekadar gertakan. Pada Senin, 23 Juni 2025, Iran melancarkan serangan rudal ke Pangkalan Udara Al Udeid milik AS di Qatar, yang merupakan pangkalan militer terbesar Amerika Serikat di Timur Tengah. Mayor Jenderal Shayeq Al Hajri, petinggi militer Qatar, melaporkan bahwa 19 rudal ditembakkan Iran. Meskipun Trump kemudian meremehkan serangan itu, mengklaim bahwa 13 dari 14 rudal berhasil dijatuhkan dan tidak menimbulkan korban jiwa, insiden ini menunjukkan keseriusan Iran dalam menanggapi keterlibatan AS.
Keterlibatan AS juga memicu kekhawatiran dari negara-negara lain. Mantan Presiden Rusia dan Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev, bahkan memperingatkan bahwa keputusan Trump membombardir situs nuklir Iran adalah “kesalahan yang mendorong AS menuju jurang peperangan lainnya,” bahkan mengisyaratkan bahwa “sejumlah negara siap untuk memasok Iran secara langsung dengan hulu ledak nuklir mereka sendiri.” Kekhawatiran global atas eskalasi konflik yang berpotensi menyulut perang kawasan semakin meningkat, mendorong China, Rusia, dan Pakistan untuk mengajukan rancangan resolusi ke Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera dan tanpa syarat.
Narasi Kemenangan yang Kontradiktif
Meski gencatan senjata telah diumumkan dan konflik 12 hari diklaim berakhir, masing-masing pihak yang terlibat—Israel, Iran, dan Amerika Serikat—memiliki narasi kemenangan mereka sendiri yang saling bertentangan, mencerminkan kompleksitas dan ketidakpercayaan yang mendalam.
Klaim Kemenangan Israel
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan lantang menyatakan bahwa Israel telah mengamankan “kemenangan bersejarah” yang akan bergema selama beberapa generasi. Dalam pesannya, Netanyahu menekankan bahwa Israel berhasil menghilangkan “dua ancaman eksistensial”: bahaya dari program senjata nuklir Iran dan ancaman 20.000 rudal balistik yang dikembangkan Teheran. Ia bahkan mengklaim, “Kami telah menghancurkan program nuklir Iran,” dan bersumpah akan menanggapi dengan tekad dan kekuatan yang sama jika Iran mencoba membangun kembali kemampuan nuklirnya. Netanyahu tak lupa menyampaikan rasa terima kasih mendalam kepada Presiden Donald Trump atas dukungan “yang belum pernah terjadi sebelumnya” dalam membela Israel dan menetralisir ancaman nuklir Iran, meskipun Trump sempat murka atas serangan Israel sebelum dan sesaat setelah gencatan senjata berlaku.
Namun, klaim Israel ini dipertanyakan oleh laporan awal intelijen Amerika Serikat. Badan intelijen pertahanan AS menyebut bahwa serangan yang dilakukan AS, termasuk bom penembus bunker, hanya berhasil menutup akses ke sejumlah fasilitas nuklir tanpa menghancurkan gedung-gedung bawah tanah tempat persediaan uranium diperkirakan disimpan. Presiden Trump sendiri dengan keras menepis laporan ini, menegaskan bahwa “LOKASI NUKLIR DI IRAN SUDAH HANCUR TOTAL!” dan menuding kebocoran dokumen sebagai upaya merusak kredibilitasnya.
Klaim Kemenangan Iran
Di sisi lain, Presiden Iran Masoud Pezeshkian secara resmi mengumumkan “berakhirnya perang 12 hari” yang dipaksakan oleh Israel, dalam pidato yang disiarkan oleh kantor berita resmi IRNA. Pezeshkian menggambarkan ini sebagai “kemenangan bersejarah” yang merupakan hasil langsung dari “perlawanan heroik bangsa kita yang hebat.” Meskipun sebelumnya Iran menolak gencatan senjata dan mengajak perang Israel dan AS, Pezeshkian kemudian menyatakan kesiapan Iran untuk kembali berunding dengan Amerika Serikat mengenai nuklir, namun tetap menegaskan hak Iran untuk penggunaan tenaga atom secara damai.
Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran juga memuji serangan rudal Iran, termasuk serangan mematikan di Beersheba, sebagai “kemenangan strategis bagi perlawanan” dan “pukulan menyakitkan bagi musuh.” Mereka menegaskan bahwa tanggapan militer Iran ini menunjukkan “keberanian angkatan bersenjata Republik Islam dan kemampuan mereka mencegah dan menanggapi dengan tegas.” Meskipun ada pengumuman gencatan senjata, Iran juga menuding Israel melanggar gencatan senjata terlebih dahulu, dan menyatakan akan mematuhi kesepakatan selama Israel juga menahan diri.
Klaim Kemenangan Amerika Serikat
Presiden Donald Trump memposisikan dirinya sebagai penengah perdamaian yang berhasil. Ia memuji gencatan senjata sebagai “pencapaian besar” yang mencegah perang berkepanjangan dan mengklaim penghargaan karena menjadi penengah perdamaian, sebuah “situasi yang saling menguntungkan.” Trump juga menekankan bahwa AS tidak kehilangan satu pun personel dalam konflik ini, menunjukkan kekuatannya secara luas. Ia menepis dugaan bahwa AS ingin menggulingkan rezim Iran, menyatakan, “Saya tidak menginginkan perubahan rezim. Saya hanya ingin semuanya segera tenang. Perubahan rezim berarti kekacauan, dan kami tidak mencari kekacauan lebih lanjut.”
Dampak Luas Konflik: Dari Ekonomi hingga Kemanusiaan
Konflik 12 hari ini tidak hanya menyisakan klaim kemenangan, tetapi juga dampak yang mendalam dan luas di berbagai sektor:
- Korban Jiwa dan Kemanusiaan: Konflik ini merenggut banyak nyawa. Menurut Kementerian Kesehatan Iran, serangan udara Israel menewaskan sedikitnya 610 warga sipil dan melukai lebih dari 4.700 orang. Di pihak Israel, serangan balasan Iran menewaskan 28 orang. Salah satu korban tewas adalah ilmuwan nuklir senior Iran, Mohammad Reza Seddighi Saber, yang disebut media Iran sebagai korban serangan malam terakhir sebelum gencatan senjata.
- Keinginan Warga untuk Damai: Di tengah kehancuran, harapan akan perdamaian abadi sangat terasa di kalangan masyarakat. Warga Teheran menyambut baik gencatan senjata dan berharap kehidupan bisa kembali normal. Di Tel Aviv, sebagian warga juga menyambut gencatan senjata dengan rasa lega, menyatakan, “Semua orang sudah lelah. Kami hanya ingin hidup tenang. Untuk kami, untuk rakyat Iran, untuk Palestina, untuk semua orang di kawasan ini.”
- Serangan Siber dan Perang Ekonomi: Gubernur Bank Sentral Iran (CBI), Mohammad Reza Farzin, mengungkapkan adanya serangan siber masif pada sistem perbankan Iran selama konflik, yang ia duga bertujuan memicu kepanikan dan gejolak ekonomi. Ia menegaskan bahwa sistem perbankan tetap stabil, namun hal ini menunjukkan dimensi perang baru yang melibatkan sanksi internasional dan perang psikologis.
- Penangkapan Mata-mata: Pemerintah Iran mengumumkan penangkapan lebih dari 700 orang atas tuduhan menjadi mata-mata Israel selama konflik, dengan tiga di antaranya dijatuhi hukuman mati. Ini menunjukkan intensitas perang intelijen yang menyertai konflik militer.
- Evakuasi Warga AS: Departemen Luar Negeri AS mengonfirmasi telah membantu sekitar 400 warga AS dan keluarga mereka meninggalkan Israel. Ratusan warga AS juga dilaporkan telah meninggalkan Iran melalui Azerbaijan, menunjukkan tingkat kekhawatiran dan risiko bagi warga asing di wilayah konflik.
- Dampak Ekonomi Global: Pasar keuangan merespons positif pengumuman gencatan senjata. Saham-saham di Wall Street melonjak dan harga minyak dunia menurun, menunjukkan kelegaan pasar atas de-eskalasi konflik, meskipun rapuh.
Akankah Gencatan Senjata Bertahan? Sebuah Analisis
Meskipun gencatan senjata telah diumumkan dan secara umum diakui, keberlangsungannya masih diselimuti keraguan. Sebagaimana dijelaskan oleh PBB, definisi “gencatan senjata” itu sendiri bisa bervariasi, dari “penghentian permusuhan” yang informal hingga “perjanjian yang formal” yang merinci tujuan, proses politik, waktu berlaku, dan wilayah cakupan. Gencatan senjata bisa bersifat sementara untuk mengurangi kekerasan atau menciptakan kondisi negosiasi, atau bisa juga berujung pada perdamaian permanen.
Dalam kasus Iran-Israel ini, gencatan senjata tampaknya masih sangat rapuh. Trump sendiri sempat mengkritik kedua belah pihak karena saling menyerang tak lama setelah gencatan senjata diumumkan. Israel menuduh Iran melanggar gencatan senjata dengan meluncurkan rudal, sementara Iran membantah dan balik menuduh Israel. Ketidakpercayaan mendalam antara kedua belah pihak, serta klaim kemenangan yang saling bertentangan, menjadi indikasi kuat bahwa fondasi perdamaian masih sangat goyah.
Warga seperti Amir di Teheran, yang mengungsi ke pesisir Laut Kaspia, mengaku ragu akan perdamaian. “Aku tidak tahu… apakah gencatan senjata ini akan bertahan. Tapi terus terang, aku tak yakin semuanya akan kembali normal,” ujarnya. Kekhawatiran dari komunitas internasional juga masih ada, dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron memperingatkan bahwa risiko Iran memperkaya uranium secara diam-diam justru meningkat setelah fasilitasnya dihantam.
Iran tolak gencatan senjata dan ajak perang Israel dan AS pada awalnya dapat dipandang sebagai strategi untuk menunjukkan kekuatan dan tekad mereka, memastikan bahwa mereka tidak akan menerima kesepakatan damai yang dianggap “tipuan” atau tidak menguntungkan. Sikap ini mungkin juga bertujuan untuk memaksimalkan tekanan militer sebelum akhirnya menerima gencatan senjata—yang kemudian diklaim sebagai kemenangan. Dengan demikian, pengumuman berakhirnya perang oleh Presiden Pezeshkian bisa diinterpretasikan sebagai penerimaan pragmatis terhadap gencatan senjata, namun dengan narasi yang tetap menegaskan perlawanan dan pencapaian tujuan mereka sendiri.
Kesimpulan
Update perang Iran vs Israel dengan segala dinamikanya, termasuk sikap awal Iran tolak gencatan senjata dan ajak perang Israel dan AS, menjadi cerminan kompleksitas konflik geopolitik di Timur Tengah. Gencatan senjata yang diumumkan Presiden Trump, meski disambut dengan kelegaan global, masih diselimuti ketidakpastian. Narasi kemenangan yang saling bertentangan dari Iran, Israel, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa konflik ini jauh dari kata selesai dan bahwa perdamaian sejati masih merupakan tujuan yang sulit dicapai.
Meskipun serangan militer mungkin telah dihentikan sementara, perang ekonomi, perang siber, dan perang intelijen kemungkinan akan terus berlanjut. Stabilitas jangka panjang di kawasan ini akan sangat bergantung pada keterampilan diplomasi tingkat tinggi, kesediaan semua pihak untuk membangun kepercayaan, dan komitmen untuk mengatasi akar masalah konflik. Bagi kita semua, tetap waspada dan terinformasi adalah kunci untuk memahami perkembangan yang mungkin terjadi di masa depan.