Yogyakarta, zekriansyah.com – Para akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dikenal sering menyuarakan pandangan kritis dan objektif terhadap berbagai isu penting yang sedang hangat, baik di kancah internasional maupun dalam negeri. Salah satu pesan yang konsisten mereka sampaikan adalah pentingnya sikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan atau menentukan posisi.
Ilustrasi: Diskusi mendalam tentang kehati-hatian dalam menyikapi isu kompleks global dan nasional.
Mengapa demikian? Pandangan para ahli UGM ini penting untuk kita pahami agar kita semua bisa melihat kompleksitas isu-isu yang sedang terjadi dengan lebih jernih. Mari kita bedah lebih lanjut.
Menyikapi Konflik Global: Pentingnya Kehati-hatian dan Perlindungan WNI
Ketika dunia dihadapkan pada ketegangan geopolitik, seperti konflik bersenjata, Indonesia sering kali diminta untuk mengambil sikap. Namun, menurut para pakar UGM, langkah tergesa-gesa justru bisa berisiko.
Prof. Dr. Siti Mutiah Setiawati, Guru Besar Geopolitik Timur Tengah UGM, misalnya, menekankan bahwa pemerintah Indonesia tidak perlu gegabah dalam menyikapi konflik Iran dan Israel.
“Posisi Indonesia dalam menghadapi konflik ini tidak boleh gegabah. Pemerintah mesti bersikap hati-hati dan menunggu perkembangan yang terjadi untuk melihat apakah bisa masuk sebagai penengah,” ujar Siti.
Menurutnya, situasi di kawasan Timur Tengah masih sangat dinamis dan sarat dengan kepentingan global, termasuk keterlibatan Amerika Serikat. Prioritas utama Indonesia saat ini adalah memastikan keselamatan warga negara Indonesia (WNI) yang berada di wilayah konflik.
“Sementara ini, yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia adalah untuk mengevakuasi WNI yang berada di Iran dan Israel sebagai langkah perlindungan awal,” tambahnya.
Sikap hati-hati serupa juga pernah disampaikan Siti Mutiah terkait situasi di Afghanistan. Ia menilai pemerintah Indonesia sudah tepat tidak tergesa-gesa mengakui Taliban sebagai pemerintahan baru, namun tetap mempertahankan Kedutaan Besar RI di Kabul. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki posisi sebagai mediator yang diterima kedua belah pihak.
Mengamati Dinamika Demokrasi dan Hukum di Dalam Negeri
Tidak hanya isu global, dinamika di dalam negeri, terutama terkait demokrasi dan hukum, juga mendapat sorotan tajam dari akademisi UGM. Mereka mengamati adanya kemunduran yang serius pasca-reformasi.
Lebih dari 1.000 akademisi UGM, yang terdiri dari dosen dan tenaga kependidikan, bahkan menyampaikan pernyataan sikap atas kondisi yang mereka sebut sebagai “darurat demokrasi”. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat dan Alumni UGM, Arie Sujito, mengungkapkan keprihatinan tersebut.
“Kami prihatin dengan kondisi demokrasi dan hukum kita yang mengalami kemunduran pasca reformasi dengan ditandai ketegangan hukum, manipulasi politik yang dapat berisiko mengancam konstitusi tatanan bernegara dan bermasyarakat,” kata Arie.
Para akademisi UGM mengecam segala bentuk intervensi yang bertujuan memanipulasi prosedur demokrasi demi melanggengkan kekuasaan. Mereka juga menolak praktik legitimasi kekuasaan yang mendistorsi prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Beberapa poin penting yang mereka soroti antara lain:
- Penyelenggaraan Pilkada: Akademisi UGM mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjaga martabat dan prinsip sebagai penyelenggara Pilkada yang berkeadilan, serta mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
- Revisi Undang-Undang: Sivitas Akademika Fakultas Hukum UGM secara khusus menyoroti revisi UU Pilkada yang dilakukan secara tertutup, tergesa-gesa, dan mengabaikan aspirasi publik. Mereka menyebut praktik ini sebagai “autocratic legalism” atau corak legislasi otoriter yang dibuat untuk kepentingan dinasti politik atau elite tertentu.
- Mereka juga mendesak penghentian pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) lain yang dinilai mengancam demokrasi dan negara hukum, seperti:
- RUU TNI
- RUU Polri (dikhawatirkan mengembalikan Dwi Fungsi ABRI)
- RUU Penyiaran (membatasi kontrol media)
- RUU Mahkamah Konstitusi (mengocok ulang komposisi hakim MK agar bisa dikontrol pemerintah)
- RUU Dewan Pertimbangan Agung (menghidupkan lembaga yang sudah dihapuskan)
- Mereka juga mendesak penghentian pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) lain yang dinilai mengancam demokrasi dan negara hukum, seperti:
- Konsesi Tambang untuk Kampus: Dewan Mahasiswa Justicia (DEMA Justicia) FH UGM juga menyoroti RUU Minerba yang terkesan tergesa-gesa dan tidak transparan, berpotensi menggeser fokus pendidikan tinggi dari misi mencerdaskan bangsa ke sektor bisnis.
Dalam menghadapi semua ini, akademisi UGM mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berkonsolidasi dan berpartisipasi aktif menyelamatkan demokrasi Indonesia, agar tidak stagnan dan kembali ke era Orde Baru. Bahkan, Pakar Hukum Administrasi UGM, Zainal Arifin Mochtar, menyerukan adanya “pengadilan rakyat” jika lembaga negara tidak serius mengadili pelanggaran.
Mengapa Tidak Perlu Tergesa? Ini Alasannya
Pesan untuk tidak tergesa-gesa ini bukan tanpa alasan kuat. Berikut beberapa di antaranya:
- Kompleksitas Isu: Baik isu global maupun domestik memiliki banyak lapisan kepentingan dan dinamika yang berubah cepat. Keputusan yang tergesa-gesa berisiko salah langkah dan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.
- Prioritas Perlindungan Warga: Dalam isu global, fokus utama pemerintah adalah pada keselamatan dan keamanan WNI, bukan langsung berpihak atau mengambil tindakan diplomatik yang belum matang.
- Menjaga Marwah Demokrasi: Dalam isu domestik, proses yang tergesa-gesa, tertutup, dan tidak transparan bisa merusak fondasi demokrasi dan kedaulatan rakyat yang sudah diperjuangkan.
- Kualitas Keputusan: Keputusan yang matang memerlukan kajian mendalam, partisipasi publik yang luas, serta kepatuhan pada konstitusi dan etika bernegara.
- Mencegah Oligarki dan Dinasti Politik: Sikap tergesa-gesa dalam legislasi atau pengambilan kebijakan seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok elite tertentu, bukan untuk kepentingan rakyat banyak.
Kesimpulan
Pesan dari para akademisi UGM ini jelas: dalam menghadapi berbagai tantangan, baik dari konflik di luar negeri maupun gejolak di dalam negeri, Indonesia perlu bersikap bijak, hati-hati, dan tidak terburu-buru. Prioritaskan keselamatan warga, jaga integritas hukum dan demokrasi, serta berikan ruang bagi kajian mendalam dan partisipasi publik. Dengan begitu, setiap langkah yang diambil akan lebih tepat, berkeadilan, dan membawa manfaat nyata bagi seluruh rakyat Indonesia.
FAQ
Tanya: Mengapa akademisi UGM menyarankan untuk tidak tergesa-gesa mengambil sikap dalam dinamika global dan nasional?
Jawab: Para akademisi UGM menyarankan kehati-hatian untuk menghindari risiko dari langkah tergesa-gesa dan agar dapat melihat kompleksitas isu dengan lebih jernih. Sikap hati-hati memungkinkan Indonesia untuk bertindak sebagai penengah yang efektif jika situasi memungkinkan.
Tanya: Apa prioritas utama Indonesia dalam menyikapi konflik global seperti di Timur Tengah menurut pakar UGM?
Jawab: Prioritas utama Indonesia adalah memastikan keselamatan warga negara Indonesia (WNI) yang berada di wilayah konflik. Selain itu, pemerintah perlu bersikap hati-hati dan menunggu perkembangan untuk melihat peluang menjadi penengah.
Tanya: Siapa akademisi UGM yang memberikan pandangan mengenai konflik Iran dan Israel?
Jawab: Prof. Dr. Siti Mutiah Setiawati, Guru Besar Geopolitik Timur Tengah UGM, memberikan pandangan mengenai pentingnya kehati-hatian Indonesia dalam menyikapi konflik Iran dan Israel. Beliau menekankan agar pemerintah tidak gegabah dan mempertimbangkan peran sebagai penengah.