Dalam dinamika administrasi kewilayahan Indonesia, isu mengenai batas-batas daerah seringkali memicu perdebatan yang panjang dan kompleks. Salah satu yang paling menyita perhatian publik belakangan ini adalah sengketa status empat pulau di perairan barat Indonesia: Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Berita terkini mengenai keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang menerbitkan penetapan awal atas empat pulau ini sebagai bagian dari Sumatera Utara, kemudian diikuti dengan respons keras dan intervensi langsung dari Presiden, telah menjadi sorotan utama. Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan polemik empat pulau tersebut, dari akar sejarah hingga keputusan final yang diharapkan membawa kepastian dan persatuan. Mari kita selami lebih dalam mengapa isu ini begitu penting dan bagaimana penyelesaiannya menjadi cerminan komitmen negara terhadap keadilan administratif dan keutuhan bangsa.
Akar Polemik: Sejarah Panjang Sengketa Batas Wilayah
Sengketa atas empat pulau ini bukanlah fenomena baru. Persoalan batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara telah mencuat sejak lama, bahkan disebut-sebut sudah ada sejak tahun 1928. Secara geografis, keempat pulau ini memang terletak di perairan yang berdekatan dengan pantai Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, namun secara historis dan administratif, klaim kepemilikan terhadap Aceh Singkil, Aceh, telah menjadi bagian dari narasi yang kuat.
Titik awal polemik modern yang paling sering dirujuk adalah proses verifikasi yang dilakukan oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNR). Pada tahun 2008, tim yang melibatkan berbagai instansi seperti Kemendagri, Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI AL, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ini melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap ribuan pulau di Indonesia. Hasil verifikasi awal pada 2008-2009 menunjukkan bahwa empat pulau sengketa tersebut teridentifikasi dan dikonfirmasi berada di wilayah Sumatera Utara oleh Gubernur Sumut kala itu, sementara dalam verifikasi Aceh, keempat pulau ini tidak tercatat. Meskipun Gubernur Aceh pada tahun 2009 mengonfirmasi hasil verifikasi wilayahnya, terdapat usulan perubahan nama dan koordinat beberapa pulau yang kemudian menjadi salah satu pangkal masalah.
Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah pusat terus berupaya menyelesaikan ketidakjelasan ini. Surat Mendagri tahun 2018 bahkan menyatakan bahwa pada sidang PBB di New York tahun 2012, empat pulau tersebut sudah dimasukkan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Hal ini kemudian diperkuat dengan Peraturan Daerah (Perda) Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2019 yang memasukkan keempat pulau ke dalam zonasinya, serta Keputusan Mendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 yang kembali menegaskan status administratifnya di bawah Sumatera Utara.
Puncak dari rangkaian keputusan ini adalah terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2–2138 Tahun 2025 pada 25 April 2025. Keputusan ini, yang sejatinya merupakan bagian dari pemutakhiran data kode wilayah administratif seluruh Indonesia, secara spesifik menegaskan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek adalah bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Meskipun Kemendagri mengklarifikasi bahwa Kepmendagri 2025 bersifat umum untuk pemutakhiran data seluruh Indonesia, penetapan ini sontak memicu gelombang reaksi dan ketidakpuasan yang luas.
Gelombang Reaksi dan Kontroversi: Mengapa Keputusan Awal Mendagri Mencuatkan Ketidakpuasan?
Begitu berita mengenai penetapan keempat pulau ke wilayah Sumatera Utara tersebar, berbagai pihak, khususnya dari Provinsi Aceh, menyatakan keberatan dan protes keras. Reaksi ini datang dari beragam elemen masyarakat dan pemerintahan, mencerminkan dalamnya akar historis dan sentimen kewilayahan yang melekat.
- Pemerintah Provinsi Aceh dan Lembaga Legislatif: Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) dengan tegas menyatakan tekadnya untuk mempertahankan keempat pulau tersebut sebagai hak milik Aceh. Pernyataan ini didukung penuh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI asal Aceh, yang bahkan menggelar rapat koordinasi untuk membahas penyelesaian sengketa. Mereka menolak keputusan Mendagri dan menegaskan bahwa secara aspek hukum, administrasi, pemetaan, dan pengelolaan, pulau-pulau tersebut seharusnya masuk wilayah Aceh.
- Masyarakat dan Mahasiswa Aceh: Gelombang demonstrasi oleh mahasiswa Aceh yang tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Aceh (PMA) meminta Presiden mencopot Mendagri Tito Karnavian dan Dirjen Bina Adwil Safrizal Zakaria Ali. Mereka menilai keputusan tersebut sebagai “biang kerok” polemik dan mendesak pencabutan SK Kemendagri 2025. Masyarakat Aceh, seperti bekas nelayan Yardi (57), juga memberikan kesaksian historis mengenai keberadaan tapal batas dan gapura di Pulau Panjang dan Mangkir Gadang yang dibangun oleh Dinas Perikanan Aceh satu dekade lalu. Adanya bangunan pemerintah Aceh dan pemakaman lama di Pulau Panjang juga menjadi bukti klaim mereka.
- Klaim Ahli Waris: Teuku Rusli Hasan, ahli waris dari Teuku Raja Udah, mengklaim bahwa keempat pulau tersebut adalah milik keluarganya berdasarkan dokumen resmi Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tertanggal 17 Juni 1965 Nomor 125/IA/1965. Ia menyayangkan tidak adanya komunikasi dengan pihak ahli waris sebelum penetapan Kemendagri.
- Perspektif Tokoh Nasional: Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), turut angkat bicara. JK menyinggung pentingnya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005. Pasal 1.1.4 MoU Helsinki menyatakan bahwa “Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956,” yang dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Provinsi Aceh. Menurut JK, jika batas wilayah ditetapkan oleh undang-undang, maka tidak mungkin dibatalkan atau dipindahkan hanya dengan Keputusan Menteri karena undang-undang memiliki hierarki hukum yang lebih tinggi. Ia bahkan menyebut keputusan awal Mendagri “cacat formil.”
Di sisi lain, Kemendagri melalui Dirjen Bina Adwil Safrizal Zakaria Ali menjelaskan bahwa dasar keputusan itu adalah hasil rapat Tim Pembakuan Nama Rupabumi pada 2017, yang mempertimbangkan data verifikasi 2008-2009 di mana empat pulau tidak masuk cakupan wilayah Aceh. Safrizal juga menyebut bahwa koordinat yang diajukan Aceh untuk pulau-pulau tersebut justru merujuk ke gugusan Pulau Banyak, bukan empat pulau sengketa. Meskipun ada somasi dan keberatan dari Aceh pada tahun 2022, proses panjang dan rapat berkali-kali tidak menemukan kesepakatan, sehingga keputusan diserahkan kepada pemerintah pusat.
Polemik ini tidak hanya berputar pada aspek administratif semata, melainkan juga menyentuh sentimen sejarah, identitas, dan perdamaian. Suadi Sulaiman, Wakil Ketua Partai Aceh, bahkan menyatakan bahwa penyerahan empat pulau ke Sumatera Utara dapat menodai perjanjian damai Aceh dan Indonesia, serta berpotensi “mengadudombakan” Aceh dengan Sumatera Utara.
Titik Balik: Intervensi Presiden dan Penemuan Dokumen Kunci
Melihat eskalasi ketegangan dan kegaduhan publik yang melibatkan dua provinsi penting di Indonesia, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk mengambil alih langsung penyelesaian polemik batas wilayah ini. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat untuk menyelesaikan persoalan dengan adil, transparan, dan berdasarkan data yang valid, demi menjaga stabilitas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada Selasa, 17 Juni 2025, Presiden Prabowo memimpin rapat terbatas (ratas) secara daring dari Singapura, di sela-sela kunjungan kenegaraannya. Rapat penting ini diikuti oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, serta dua pihak yang bersengketa, yaitu Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution.
Mendagri Tito Karnavian menjelaskan bahwa sebelum ratas tersebut, tim Kemendagri melakukan pencarian intensif terhadap dokumen-dokumen lama. Pencarian ini membuahkan hasil signifikan pada Senin, 16 Juni 2025, ketika dokumen asli Kepmendagri Nomor 111 Tahun 1992 tentang Penegasan Batas Wilayah Antara Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan Provinsi Daerah Istimewa Aceh tanggal 24 November 1992 berhasil ditemukan di Gedung Arsip Kemendagri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Penemuan dokumen ini menjadi titik balik krusial. Dokumen tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa keempat pulau sengketa—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—masuk menjadi cakupan wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Tito menjelaskan bahwa sebelumnya, tim pembakuan rupabumi hanya menemukan draft atau salinan surat kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut tahun 1992, bukan dokumen aslinya yang memiliki kekuatan hukum. Kekhawatiran akan masalah hukum jika hanya berdasarkan draft tersebut membuat Kemendagri pada April 2025 tetap berpegang pada keputusan sebelumnya yang menempatkan pulau-pulau itu di Sumatera Utara. Namun, dengan ditemukannya dokumen asli Kepmendagri 1992, dasar hukum yang kuat untuk mengembalikan status pulau-pulau tersebut ke Aceh menjadi jelas.
Keputusan Final dan Implikasinya: Menuju Persatuan dan Kepastian Hukum
Setelah meninjau laporan menyeluruh dari Kemendagri dan mempertimbangkan data-data valid, termasuk dokumen historis yang baru ditemukan, Presiden Prabowo Subianto secara resmi menetapkan bahwa keempat pulau sengketa tersebut kini menjadi bagian dari wilayah administratif Provinsi Aceh.
Mensesneg Prasetyo Hadi dalam konferensi pers menyatakan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan dokumen dan data pendukung yang kuat. “Pemerintah telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang dan Pulau Mangkir Ketek, secara administratif berdasarkan dokumen yang dimiliki pemerintah adalah masuk ke wilayah administratif wilayah Aceh,” tegasnya.
Implikasi dari keputusan ini sangat besar:
- Pencabutan Keputusan Sebelumnya: Keputusan Presiden ini secara otomatis mencabut peraturan-peraturan sebelumnya yang menyatakan keempat pulau itu masuk ke wilayah Sumatera Utara, termasuk Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang baru diterbitkan pada April lalu. Mendagri Tito Karnavian menegaskan akan merevisi Kepmendagri 2025 dan menyampaikan perubahan ini kepada United Nations Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN).
- Kepastian Hukum dan Administrasi: Penetapan ini diharapkan membawa kepastian hukum yang telah lama dinanti terkait batas wilayah. Kejelasan batas wilayah sangat penting untuk menghindari persoalan administrasi di masa depan, seperti penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU), tata ruang, perencanaan pembangunan, dan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika pembangunan dilakukan di wilayah sengketa.
- Meredam Ketegangan dan Kegaduhan: Keputusan cepat Presiden Prabowo diapresiasi karena berhasil meredam “perang isu dan kontroversi” yang melibatkan anak bangsa sendiri. Mensesneg Prasetyo Hadi berharap keputusan ini menjadi solusi terbaik dan meminta semua pihak untuk bersikap dewasa, tidak euforia berlebihan, dan tidak menyimpan kekecewaan. Ia menekankan bahwa “kita semua saudara” dan keputusan ini harus ditempatkan dalam kerangka Indonesia yang satu, rukun, dan saling menghormati.
- Respons Pemerintah Daerah: Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyatakan keterbukaannya untuk membahas masalah empat pulau bersama-sama dan bahkan mengajak Aceh untuk mengelola bersama jika statusnya tetap milik Sumut. Setelah keputusan final, Bobby meminta masyarakat untuk tidak terhasut dan menerima keputusan ini dengan lapang dada. Sementara itu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf berharap permasalahan ini telah selesai dan tidak ada pihak yang dirugikan, mengingat pulau-pulau tersebut tetap berada dalam wilayah NKRI. Salaman hangat antara kedua gubernur pasca-keputusan menunjukkan sinyal positif berakhirnya sengketa.
Keputusan Presiden Prabowo yang mengembalikan empat pulau ke Aceh bukan berarti ada pihak yang kalah. Sebaliknya, ini adalah momentum untuk menyegarkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Ini menunjukkan bahwa sengketa wilayah, sekecil apapun, dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum yang kuat, analisis data yang cermat, dan kepemimpinan yang tegas serta berkeadilan.
Kesimpulan: Cerminan Komitmen Negara pada Keadilan dan Persatuan
Perjalanan panjang sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, yang dimulai dari ketidakjelasan data historis hingga memuncak pada keputusan administratif yang kontroversial, akhirnya menemukan titik terang. Intervensi langsung Presiden Prabowo Subianto, didukung oleh penemuan dokumen hukum yang krusial dari tahun 1992, telah mengakhiri polemik yang berkepanjangan dan mengembalikan status keempat pulau tersebut secara resmi ke wilayah administrasi Provinsi Aceh.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang kompleksitas administrasi kewilayahan di Indonesia dan urgensi kepastian hukum. Ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran pemerintah pusat sebagai penengah dan pemutus kebijakan dalam memastikan keadilan serta menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. Dengan keputusan ini, diharapkan tidak ada lagi ketidakjelasan yang dapat memicu gesekan di masa depan, dan kedua provinsi dapat fokus pada pembangunan serta kesejahteraan masyarakatnya.
Sebagai sebuah bangsa, kita diingatkan bahwa setiap inci wilayah administratif adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI. Penyelesaian sengketa ini, yang didasarkan pada data faktual dan komitmen terhadap keadilan, adalah langkah maju menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan cerminan semangat “Bersatu demi Indonesia Satu.” Mari kita bersama-sama mengawal implementasi keputusan ini agar membawa manfaat maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apakah Anda memiliki pandangan atau pertanyaan lebih lanjut mengenai keputusan penting ini? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar di bawah!