Terkuak: Dirut Sritex Bantah Dana Kredit Rp 692 Miliar Disalahgunakan, Sebuah Klarifikasi di Tengah Badai Tuduhan

Dipublikasikan 23 Juni 2025 oleh admin
Tak Berkategori

Dalam pusaran kasus dugaan korupsi yang mengguncang salah satu raksasa tekstil Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), sorotan tajam kini tertuju pada bantahan Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto. Ia secara tegas membantah tuduhan bahwa dana kredit senilai Rp 692 miliar dari bank-bank negara yang menjadi pokok perkara telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau membeli aset non-produktif oleh mantan Komisaris Utama, Iwan Setiawan Lukminto. Pernyataan yang disampaikan di tengah pemeriksaan intensif Kejaksaan Agung (Kejagung) ini membuka lembaran baru dalam saga hukum yang tak hanya mengancam reputasi perusahaan, tetapi juga berdampak langsung pada ribuan karyawannya. Artikel ini akan mengupas tuntas duduk perkara, menelisik bantahan Iwan Kurniawan, serta menganalisis implikasi lebih lanjut dari kasus yang mencuat ini.

Bantahan Tegas dari Iwan Kurniawan Lukminto: Sebuah Klarifikasi di Tengah Badai Tuduhan

Pekan-pekan terakhir menjadi periode yang intens bagi Direktur Utama PT Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto. Adik kandung dari Iwan Setiawan Lukminto, yang telah ditetapkan sebagai tersangka utama dalam kasus dugaan korupsi, ini berulang kali dipanggil oleh penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung. Dalam pemeriksaan keempatnya pada Senin, 23 Juni 2025, setelah sebelumnya diperiksa pada 2 Juni, 10 Juni, dan 18 Juni, Iwan Kurniawan kembali menegaskan posisinya.

Selama kurang lebih 11 jam pemeriksaan yang mencecar 25 pertanyaan, Iwan Kurniawan bersikukuh bahwa dana kredit sebesar Rp 692 miliar yang dicairkan dari Bank DKI dan Bank BJB tidak digunakan untuk kepentingan pribadi kakaknya, Iwan Setiawan, maupun untuk membeli aset-aset non-produktif. “Setahu saya sebagai adik, tidak (digunakan untuk keperluan pribadi Iwan Setiawan),” tegasnya kepada awak media usai pemeriksaan. Ia menambahkan, “Setahu saya tidak ada (digunakan untuk beli aset pribadi). Kami sudah sampaikan juga di dalam.”

Penekanan Iwan Kurniawan pada penggunaan dana tersebut sangat jelas: dana kredit dialokasikan sepenuhnya untuk operasional perusahaan. “Untuk operasional semuanya. Untuk operasional Sritex-lah,” imbuhnya. Pernyataan ini diperkuat oleh kuasa hukumnya, Calvin Wijaya, yang menjelaskan bahwa kliennya hanya mengetahui bahwa kredit tersebut diperuntukkan bagi pengembangan usaha dan pembayaran gaji pekerja. “Yang diketahui oleh klien saya ini, kredit itu hanya untuk mengembangkan usaha dan untuk pembayaran kepada pekerja. Itu sesuai semuanya, sesuai peruntukannya itu sesuai,” ujar Calvin pada kesempatan pemeriksaan sebelumnya.

Iwan Kurniawan juga menunjukkan komitmennya untuk kooperatif dengan proses hukum yang berjalan. Ia telah menyerahkan berbagai dokumen yang diminta penyidik, termasuk data kepegawaian PT Sritex. Meskipun demikian, ia berharap agar Kejagung dapat segera menyimpulkan permasalahan ini dan memberikan kejelasan kepada masyarakat, mengingat statusnya yang masih menjadi saksi dalam kasus ini, meskipun ada sinyal potensi penetapan tersangka baru.

Anatomi Kasus Korupsi Sritex: Akar Permasalahan dan Tuduhan Kejaksaan Agung

Kasus dugaan korupsi yang menjerat PT Sritex berpusat pada pemberian fasilitas kredit senilai Rp 692 miliar dari dua bank milik negara, yaitu Bank DKI dan Bank BJB. Kejaksaan Agung menduga adanya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran prosedur dalam proses pemberian kredit tersebut, serta penyelewengan dana setelah dicairkan.

Tiga Tersangka Utama:
Kejagung telah menetapkan tiga individu sebagai tersangka dalam kasus ini:

  1. Iwan Setiawan Lukminto (ISL): Mantan Direktur Utama PT Sritex Tbk (periode 2005-2022) dan Komisaris Utama saat kasus ini mencuat. Ia dituduh sebagai otak di balik dugaan penyalahgunaan dana.
  2. Zainuddin Mappa (ZM): Direktur Utama Bank DKI tahun 2020.
  3. Dicky Syahbandinata (DS): Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB tahun 2020.

Modus Operandi yang Diduga:
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa dana kredit sebesar Rp 692.987.592.188,00 yang seharusnya dialokasikan sebagai modal kerja bagi Sritex, justru diduga digunakan tidak sesuai peruntukannya. Dana tersebut disalahgunakan untuk:

  • Membayar utang: Ini mengindikasikan bahwa kredit modal kerja justru dipakai untuk melunasi kewajiban finansial lain yang mungkin tidak terkait langsung dengan operasional harian.
  • Membeli aset non-produktif: Pembelian aset yang tidak menghasilkan pendapatan atau tidak menunjang kegiatan operasional inti perusahaan merupakan penyimpangan serius dari tujuan kredit modal kerja.

Selain penyalahgunaan dana, Kejagung juga menyoroti kejanggalan dalam proses pemberian kredit itu sendiri. Bank DKI dan Bank BJB diduga tidak melakukan analisis yang memadai dan tidak mematuhi prosedur serta persyaratan yang telah ditetapkan. Salah satu indikasi pelanggaran adalah tidak terpenuhinya syarat kredit modal kerja, mengingat penilaian dari lembaga pemeringkat Fitch dan Moodys menunjukkan bahwa PT Sritex Tbk hanya memperoleh predikat BB- pada saat itu, yang mengindikasikan risiko gagal bayar yang lebih tinggi. Ini menunjukkan adanya kelalaian atau bahkan kesengajaan dalam proses persetujuan kredit yang berpotensi merugikan keuangan negara.

Dinamika Investigasi Kejagung: Proses Hukum dan Harapan Transparansi

Proses hukum dalam kasus Sritex ini terus bergulir di bawah pengawasan ketat Kejaksaan Agung. Pemeriksaan terhadap Iwan Kurniawan Lukminto sebagai saksi menunjukkan upaya penyidik untuk mengungkap secara menyeluruh aliran dana dan peran masing-masing pihak yang terlibat.

Iwan Kurniawan telah menjalani pemeriksaan berulang kali, yang menunjukkan kompleksitas kasus ini dan kebutuhan penyidik akan informasi yang komprehensif. Dalam setiap pemeriksaan, ia konsisten memberikan keterangan terkait operasional perusahaan dan bagaimana ia me- manage Sritex setelah menjabat sebagai Dirut. Ia juga telah menyerahkan dokumen-dokumen yang diminta, termasuk data kepegawaian, yang diharapkan dapat membantu penyidik merangkai kepingan puzzle kasus ini.

Meskipun Iwan Kurniawan saat ini berstatus saksi, Kejagung beberapa kali memberi sinyal adanya potensi penetapan tersangka baru. Hal ini menambah ketegangan dalam dinamika kasus, terutama bagi pihak-pihak yang terlibat. Iwan Kurniawan sendiri, melalui kuasa hukumnya, telah menyatakan komitmennya untuk bekerja sama penuh dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dan transparan. Harapannya adalah agar Kejaksaan Agung dapat segera menyimpulkan permasalahan ini dan memberikan kejelasan kepada publik, sekaligus memulihkan citra Sritex.

Kasus ini menjadi contoh bagaimana penegakan hukum berupaya membongkar dugaan korupsi di sektor korporasi dan perbankan, menyoroti pentingnya kepatuhan prosedur dan akuntabilitas dalam penggunaan dana publik, terutama dari bank-bank negara.

Dampak dan Konsekuensi: Kisah Pailit dan Ribuan Karyawan Terdampak

Skandal dugaan korupsi kredit bank ini tak hanya menjadi sorotan di ranah hukum, tetapi juga membawa dampak yang sangat nyata dan pahit bagi PT Sritex dan ribuan karyawannya. Sritex, yang dikenal sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, telah menghadapi tekanan finansial serius dalam beberapa tahun terakhir.

Puncaknya, pada Februari 2025, PT Sritex dinyatakan pailit karena ketidakmampuannya membayar utang-piutang. Kebangkrutan ini bukan sekadar catatan finansial, melainkan sebuah tragedi sosial yang menyebabkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Sebanyak 11 ribu karyawan terpaksa kehilangan pekerjaan mereka. Angka ini menggambarkan skala kehancuran yang ditimbulkan oleh krisis finansial perusahaan, yang diduga kuat berkaitan erat dengan penyimpangan dalam pemberian fasilitas kredit oleh bank-bank pemerintah yang kini tengah disidik Kejagung.

Kredit senilai Rp 692 miliar yang seharusnya menjadi modal kerja untuk menjaga roda operasional dan keberlangsungan usaha, jika benar disalahgunakan, telah menjadi salah satu pemicu utama keruntuhan ini. Dana yang semestinya menjaga stabilitas dan menciptakan lapangan kerja, malah diduga dialihkan untuk kepentingan yang tidak produktif, mempercepat jurang kebangkrutan perusahaan.

Dampak ini melampaui kerugian finansial negara dan bank. Ia menyentuh langsung kehidupan ribuan keluarga yang menggantungkan hidupnya pada Sritex. Kisah kebangkrutan Sritex dan nasib para karyawannya menjadi pengingat yang menyakitkan akan konsekuensi serius dari praktik korupsi dan ketidakpatuhan terhadap prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

Perspektif Masa Depan Sritex: Antara Pemulihan dan Bayang-bayang Hukum

Di tengah bayang-bayang kasus hukum dan dampak kebangkrutan yang memilukan, masa depan PT Sritex tampak suram namun tidak sepenuhnya tanpa harapan. Sebagai perusahaan dengan sejarah panjang dan kapasitas produksi yang besar, potensi pemulihan tentu ada, meskipun jalannya akan sangat terjal dan panjang.

Tantangan Utama:

  • Proses Hukum yang Berkelanjutan: Kasus korupsi ini masih dalam tahap penyidikan. Hasil akhir dari proses hukum akan sangat menentukan nasib aset perusahaan, kewajiban utang, dan potensi restrukturisasi. Kejelasan hukum adalah prasyarat fundamental bagi setiap langkah pemulihan.
  • Kepercayaan Investor dan Mitra Bisnis: Skandal korupsi dan status pailit telah meruntuhkan kepercayaan pasar. Mengembalikan keyakinan investor, bank, dan mitra bisnis akan menjadi tugas yang mahaberat. Transparansi penuh dan komitmen kuat terhadap tata kelola perusahaan yang bersih adalah kunci.
  • Pemulihan Operasional: Dengan gelombang PHK dan potensi penyitaan aset, membangun kembali operasional perusahaan dari nol akan membutuhkan investasi besar, tidak hanya finansial tetapi juga sumber daya manusia dan manajerial.

Harapan dan Pelajaran:
Kasus Sritex menjadi pelajaran berharga bagi seluruh ekosistem bisnis di Indonesia, terutama bagi korporasi besar yang mengandalkan fasilitas kredit dari bank-bank negara. Pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap regulasi tidak bisa ditawar lagi. Penggunaan dana publik atau dana yang berasal dari perbankan harus sesuai dengan peruntukan dan diawasi secara ketat.

Bagi Sritex, masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan manajemen baru (jika ada) untuk menavigasi kompleksitas hukum dan finansial, serta komitmen mereka untuk melakukan reformasi internal secara menyeluruh. Proses hukum yang sedang berjalan, meski menyakitkan, diharapkan dapat menjadi katalisator untuk pembersihan dan pemulihan, baik bagi Sritex maupun bagi praktik bisnis di Indonesia secara lebih luas.

Kesimpulan: Menanti Titik Terang dalam Pusaran Kasus Sritex

Kasus dugaan korupsi dana kredit Rp 692 miliar di PT Sritex adalah narasi kompleks yang melibatkan tuduhan serius, bantahan tegas, dan dampak sosial ekonomi yang mendalam. Di satu sisi, Kejaksaan Agung bersikukuh bahwa dana kredit yang seharusnya menjadi modal kerja telah disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, serta menyoroti pelanggaran prosedur oleh pihak bank. Di sisi lain, Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, dengan tegas membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa dana sepenuhnya digunakan untuk operasional perusahaan dan pembayaran gaji pekerja, sekaligus menekankan ketidaktahuannya mengenai dugaan penyelewengan oleh saudaranya.

Ketegangan antara tuduhan dan bantahan ini menjadi inti dari drama hukum yang sedang berlangsung. Dengan tiga tersangka yang telah ditetapkan dan status Iwan Kurniawan sebagai saksi kunci yang kooperatif, publik menanti kejelasan dan keadilan dari proses penyelidikan Kejagung. Kasus ini bukan hanya tentang kerugian negara yang mencapai ratusan miliar rupiah, tetapi juga tentang nasib ribuan karyawan yang terdampak langsung oleh kebangkrutan Sritex.

Penyelesaian kasus ini akan menjadi tonggak penting dalam upaya penegakan hukum terhadap korupsi di sektor korporasi. Transparansi dan akuntabilitas menjadi krusial untuk mengembalikan kepercayaan publik dan pasar. Kita berharap, proses hukum dapat segera mencapai titik terang, mengungkap kebenaran seutuhnya, dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terdampak, sembari menegaskan pentingnya tata kelola perusahaan yang bersih dan etis demi keberlanjutan ekonomi nasional.