Yogyakarta, zekriansyah.com – Yogyakarta selalu punya cerita istimewa, dan kini ada kabar besar yang patut kita banggakan bersama! Sumbu Filosofi Yogyakarta, sebuah garis imajiner yang membentang dari Panggung Krapyak hingga Tugu Pal Putih, resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada September 2023 lalu.
Ilustrasi: Garis imajiner Sumbu Filosofi Jogja kini diakui dunia sebagai warisan budaya, membuka makna baru bagi warga dan para penjelajah keindahan kota.
Tentu saja, penetapan ini bukan sekadar gelar bergengsi. Ada banyak makna, harapan, dan juga tantangan di baliknya. Artikel ini akan mengajak Anda memahami lebih dalam apa sebenarnya Sumbu Filosofi itu, bagaimana perjuangannya hingga diakui dunia, serta apa dampak dan harapannya bagi kita semua, terutama warga Jogja dan para wisatawan. Mari kita selami bersama!
Apa Itu Sumbu Filosofi Yogyakarta? Garis Lurus Penuh Makna
Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah sebuah konsep tata ruang kota yang sangat mendalam, dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada abad ke-18. Konsep ini bukan hanya sekadar tata letak bangunan, tetapi perwujudan filosofi hidup manusia Jawa.
Secara fisik, Sumbu Filosofi ini adalah garis lurus yang menghubungkan tiga titik utama:
- Panggung Krapyak di bagian selatan.
- Keraton Yogyakarta sebagai titik pusat.
- Tugu Yogyakarta (dulu dikenal Tugu Golong Gilig) di bagian utara.
Setiap titik dan elemen di sepanjang sumbu ini memiliki makna filosofis yang tinggi. Berikut adalah rangkuman singkatnya:
Atribut Utama | Makna Filosofis |
---|---|
Panggung Krapyak | Melambangkan “Sangkaning Dumadi”, yaitu asal mula kehidupan atau rahim. Ini adalah awal dari perjalanan hidup manusia, mulai dari dilahirkan. |
Keraton Yogyakarta | Berfungsi sebagai pusat proses kehidupan manusia. Keraton dianggap sebagai titik pertemuan antara dunia mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta/Tuhan). Di sinilah manusia berproses menjalani hidup. |
Tugu Yogyakarta | Melambangkan “Paraning Dumadi”, yaitu perjalanan hidup manusia kembali menuju Sang Pencipta. Bentuk Tugu Golong Gilig (bulat di atas, silindris di bawah) juga melambangkan “Manunggaling Kawula Gusti” atau bersatunya rakyat dengan raja, dan manusia dengan Tuhannya. |
Selain itu, Sumbu Filosofi juga mengemban nilai-nilai luhur seperti Hamemayu Hayuning Bawana (memperindah keindahan dunia atau pembangunan berkelanjutan), dan menunjukkan pertukaran nilai serta gagasan penting dari berbagai sistem kepercayaan, mulai dari animisme, Hindu, Buddha, Islam Sufi, hingga pengaruh Barat. Ini yang membuat Sumbu Filosofi diakui memiliki arti penting secara universal.
Perjalanan Panjang Menuju Warisan Dunia UNESCO
Penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia dilakukan dalam Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee/WHC) UNESCO di Riyadh, Arab Saudi, pada 18 September 2023. Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan ini ternyata tidak singkat, sudah dimulai sejak tahun 2014.
Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi, Abdul Aziz Ahmad, dan Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X turut hadir dalam momen bersejarah tersebut. Proses sidang penetapan Sumbu Filosofi tergolong cepat dan lancar, nyaris tanpa interupsi, berbeda dengan nominasi dari negara lain.
“Alhamdulillah, saat yang kedua dari Indonesia ini, cepat selesai, saya sempat khawatir terjadi seperti yang dialami India, banyak interupsi, ternyata tidak ada,” ungkap Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, menunjukkan kelegaan beliau.
Sumbu Filosofi Yogyakarta diakui sebagai Warisan Dunia karena memenuhi dua kriteria utama UNESCO:
- Kriteria II: Menunjukkan pertukaran nilai dan gagasan penting antar berbagai sistem kepercayaan.
- Kriteria III: Memberikan kesaksian luar biasa atas peradaban Jawa dan tradisi budaya yang hidup setelah abad ke-18.
Dengan penetapan ini, Sumbu Filosofi menjadi Warisan Budaya Dunia ke-6 asal Indonesia dalam kategori budaya, menyusul Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan (1991), Situs Prasejarah Sangiran (1996), Sistem Subak Bali (2012), dan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (2019). Tujuan utama penetapan ini adalah untuk melestarikan warisan budaya jati diri Yogyakarta yang amat berharga, sekaligus berbagi keistimewaan Yogyakarta kepada dunia.
Tantangan dan Dampak Bagi Warga Lokal Setelah Jadi Warisan Dunia
Status Warisan Dunia memang membanggakan, tetapi juga membawa konsekuensi dan tantangan tersendiri, terutama bagi warga lokal. Pemerintah Daerah DIY sudah mulai melakukan penataan di kawasan Sumbu Filosofi, seperti:
- Pembongkaran dan relokasi Tempat Khusus Parkir Abu Bakar Ali (TKP ABA).
- Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) ke Teras Malioboro.
- Penutupan Plengkung Gading dan Beteng Keraton.
Namun, di balik penataan yang membuat tata ruang lebih rapi, muncul kekhawatiran dari masyarakat. Pakar pariwisata dari Stipram, Kiky Rizki, menyoroti bahwa penataan ini belum menyentuh substansi filosofis secara utuh.
“Nuansa khas Malioboro sebagai ruang interaksi sosial antara pedagang dan wisatawan jadi berkurang,” papar Kiky Rizki. Ia juga menambahkan bahwa kebijakan pelarangan kendaraan malam hari dan relokasi PKL, meski diapresiasi dari sisi ketertiban, belum sepenuhnya mempertimbangkan akses dan kenyamanan masyarakat lokal, sehingga memunculkan masalah parkir liar dan kemacetan.
Salah satu kisah yang cukup memilukan datang dari pedagang gudeg di Kebondalem, dekat Tugu Pal Putih. Sadinah (62), seorang pedagang gudeg, mengaku tidak tahu menahu soal penetapan UNESCO, justru yang menjadi perhatian utamanya adalah rencana penggusuran kios kecilnya.
“Nggak ada ganti rugi atau semacamnya. Ya kami disuruh pindah dan nggak ada pilihan lain,” keluhnya lirih, saat kiosnya akan dibongkar demi penataan kawasan.
Menanggapi hal ini, UNESCO juga memberikan sejumlah rekomendasi yang harus dipenuhi Pemda DIY untuk mempertahankan status Warisan Dunia, di antaranya:
- Menerapkan pendekatan Historic Urban Landscape dalam mengelola pembangunan perkotaan.
- Mempertahankan moratorium pembangunan hotel dan mencegah pembangunan gedung tinggi.
- Melanjutkan relokasi permukiman informal dengan memastikan hak dan kebutuhan masyarakat terlindungi.
- Memulihkan kembali beteng keraton.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri memastikan akan melaksanakan rekomendasi tersebut, termasuk memulihkan beteng Keraton. Pengelolaan Sumbu Filosofi ini akan melibatkan empat unsur: Keraton, Pemda DIY, Pemkot Yogyakarta, dan Pemkab Bantul. Jika pengelolaan tidak sesuai rekomendasi, status Warisan Dunia bisa saja dicabut oleh UNESCO.
Masa Depan Sumbu Filosofi: Pariwisata Berkelanjutan dan Kesejahteraan Bersama
Penetapan Sumbu Filosofi sebagai Warisan Budaya Dunia bukan hanya tentang kebanggaan, tetapi juga harus membawa dampak konkret dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Pemda DIY telah menyiapkan berbagai program, salah satunya paket wisata Sumbu Filosofi.
Paket wisata ini akan mengeksplorasi potensi wisata dari Panggung Krapyak, Keraton, hingga Tugu Yogyakarta dengan konsep ramah lingkungan, seperti berjalan kaki atau bersepeda. Tujuannya agar wisatawan dapat lebih mendalami makna dan merasakan suasana filosofis Yogyakarta.
Budayawan Yogyakarta, Ki Tulus Widodo, berharap penetapan ini menjadi momentum untuk menyejahterakan masyarakat, tidak hanya secara materi, tetapi juga melalui penanaman nilai-nilai moral dan spiritual yang terkandung dalam Sumbu Filosofi, misalnya filosofi “Sangkan Paraning Dumadi” yang dapat diimplementasikan dalam pelajaran di sekolah.
Kini, Yogyakarta tidak hanya dikenal sebagai Kota Gudeg, Kota Pariwisata, atau Kota Pelajar, tetapi juga menyandang gelar baru: “The World Heritage City” atau Kota Warisan Dunia. Gelar ini adalah tanggung jawab besar yang membutuhkan komitmen bersama dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk terus menjaga, melestarikan, dan memanfaatkan nilai-nilai luhur Sumbu Filosofi demi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Kesimpulan
Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah permata budaya yang kini bersinar di kancah dunia berkat pengakuan UNESCO. Lebih dari sekadar garis imajiner, ia adalah perwujudan filosofi hidup yang mendalam, kaya akan nilai-nilai universal.
Perjalanan Jogja sebagai kota Warisan Dunia tentu tidak berhenti di penetapan ini. Ada tantangan besar dalam menyeimbangkan pelestarian budaya adiluhung dengan tuntutan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Mari kita bersama-sama menjaga keistimewaan Sumbu Filosofi ini, memahami nilai-nilainya, dan memastikan bahwa warisan dunia ini benar-benar membawa manfaat nyata bagi seluruh warga dan menjadi inspirasi bagi dunia.