Yogyakarta, zekriansyah.com – Siapa yang tidak kenal Simon Tahamata? Legenda sepak bola keturunan Maluku yang malang melintang di kancah Eropa, khususnya bersama Ajax Amsterdam. Kini, sebagai Kepala Pemandu Bakat PSSI, suaranya tentu punya bobot tersendiri. Belakangan ini, Oom Simon melontarkan kritik tajam kepada PSSI terkait kebijakan penentuan stadion kandang bagi Timnas Indonesia. Ia bahkan terang-terangan membandingkan dengan Belanda, negara yang memberinya banyak pengalaman di dunia sepak bola.
Simon Tahamata, legenda sepak bola keturunan Maluku, selaku Kepala Pemandu Bakat PSSI, mengkritik PSSI soal pemilihan kandang Timnas dan membandingkan dengan sistem di Belanda.
Bagi Anda penggemar sepak bola nasional, perdebatan soal lokasi pertandingan Timnas memang bukan hal baru. Namun, apa yang membuat seorang Simon Tahamata merasa perlu angkat bicara? Mari kita selami lebih dalam pandangannya dan mengapa isu ini begitu penting bagi masa depan sepak bola Indonesia.
Suara Simon Tahamata: GBK Adalah “Rumah Kita”
Kritik Simon Tahamata ini muncul setelah ia menyaksikan langsung minimnya penonton pada laga Timnas Indonesia U-23 di Kualifikasi Piala Asia U-23 2026 yang digelar di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Jawa Timur. Pemandangan tribun yang sepi, jauh dari hiruk pikuk yang biasa terlihat, membuat Simon merasa prihatin.
Menurutnya, laga sepenting itu seharusnya digelar di Jakarta, tepatnya di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK). “Di sini adalah rumah kita. Kita harus bermain di GBK. Itu stadion yang bagus,” tegas Simon. Ia yakin, GBK selalu mampu menghadirkan lautan suporter yang memberikan dukungan luar biasa, sebuah “kekuatan utama” bagi Timnas. “Saya menonton di televisi tidak banyak penonton yang hadir (di Sidoarjo). Tidak terjual habis. Di sini (GBK) selalu habis. Dan, bagaimana masyarakat Indonesia bereaksi terhadap pemain, itu sangat mengagumkan,” tambahnya, bahkan sampai merinding mengingat atmosfer GBK.
Belajar dari Belanda: Konsistensi Lokasi Kandang Tim Nasional
Untuk memperkuat argumennya, Simon Tahamata kemudian membandingkan dengan Belanda. Ia menjelaskan bagaimana tim nasional Belanda sangat konsisten dalam memilih stadion kandang. “Di Belanda juga Timnas bermain hanya di dua stadion, entah itu di Amsterdam atau Rotterdam. Tidak pernah bermain di Eindhoven,” ungkapnya.
Padahal, Eindhoven punya klub besar sekelas PSV. Namun, bagi federasi sepak bola Belanda, konsistensi bermain di Johan Cruyff Arena (Amsterdam) atau De Kuip (Rotterdam) adalah kunci untuk menjaga atmosfer, identitas, dan standar kelayakan stadion untuk pertandingan internasional. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada klub besar di kota lain, pilihan untuk laga Timnas tetap terpusat di kota-kota utama yang memiliki fasilitas terbaik dan basis penggemar yang solid.
Alasan PSSI Memilih Luar Jakarta dan Dilema yang Dihadapi
Dalam beberapa waktu terakhir, PSSI memang kerap mengambil keputusan untuk menggelar pertandingan Timnas Indonesia di luar Jakarta. Contohnya, FIFA Match Day September 2025 dijadwalkan di Surabaya, Piala Kemerdekaan di Sumatera Utara, dan kualifikasi Piala Asia U-23 di Sidoarjo.
Alasan di balik keputusan ini umumnya adalah untuk pemerataan sepak bola nasional. Tujuannya agar suporter di berbagai daerah juga bisa merasakan langsung atmosfer pertandingan Timnas dan menumbuhkan kecintaan terhadap sepak bola. Namun, pandangan Simon Tahamata justru menyoroti dampak negatif dari strategi ini, yaitu berkurangnya dukungan suporter yang vital bagi performa tim. “Mainkan laga besar di sini (GBK) dan laga persahabatan di luar seperti Medan, Bali,” sarannya, menggarisbawahi pentingnya pemilahan jenis pertandingan.
Dampak Pemilihan Kandang Terhadap Dukungan Suporter dan Mental Pemain
Dukungan suporter adalah “pemain ke-12” yang tak ternilai harganya. Ketika Timnas bermain di GBK, gemuruh penonton yang memadati stadion seringkali membakar semangat para pemain dan bisa menjadi tekanan bagi tim lawan. Atmosfer ini, seperti yang digambarkan Simon Tahamata, sangat mengagumkan dan bisa membuat bulu kuduk merinding.
Sebaliknya, bermain di stadion dengan tribun yang kosong atau minim penonton bisa mengurangi motivasi dan energi para pemain. Ini adalah pertimbangan krusial yang harus dipikirkan secara matang. Apakah pemerataan sepak bola harus mengorbankan kekuatan utama Timnas, yaitu dukungan masif dari para suporter? Inilah pertanyaan besar yang muncul dari kritik Simon Tahamata ini.
Menuju Solusi Terbaik untuk Sepak Bola Indonesia
Kritik Simon Tahamata ini tentu menjadi masukan berharga bagi PSSI. Sebagai seorang yang berpengalaman di sepak bola Eropa dan kini menjadi bagian dari PSSI, pandangannya patut dipertimbangkan. Memang, ada keinginan untuk menyebarkan “demam” Timnas ke seluruh penjuru negeri, namun keseimbangan antara tujuan tersebut dan kebutuhan tim untuk mendapatkan dukungan maksimal harus menjadi prioritas.
Mungkin, seperti saran Simon, strategi yang lebih terstruktur bisa diterapkan: laga-laga krusial dan besar tetap di GBK, sementara pertandingan persahabatan atau turnamen dengan skala lebih kecil bisa digilir ke kota-kota lain. Dengan begitu, semangat sepak bola bisa tetap merata tanpa mengurangi kekuatan inti Timnas Indonesia di kandang. Perdebatan ini bukan hanya soal lokasi, tetapi tentang bagaimana kita bisa memaksimalkan potensi dukungan suporter untuk kemajuan sepak bola nasional kita.