Pernahkah Anda membayangkan seberapa luas tanah yang kita miliki di Indonesia? Dari sekian banyak tanah yang sudah bersertifikat, siapa saja sih sebenarnya yang menguasai sebagian besarnya? Nah, baru-baru ini ada fakta mengejutkan yang diungkap oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Bapak Nusron Wahid. Ternyata, hampir separuh lahan bersertifikat di Indonesia dikuasai oleh segelintir kelompok: hanya sekitar 60 keluarga yang kerap disebut ‘crazy rich’!
Berikut adalah satu kalimat caption yang menarik, relevan, dan informatif, dengan gaya bahasa berita umum, untuk gambar ilustrasi artikel tersebut: **Menteri ATR/BPN mengungkapkan hampir separuh lahan bersertifikat di Indonesia kini dikuasai oleh 60 keluarga kaya raya, sebuah fakta yang mengemuka terkait konsentrasi kepemilikan tanah.**
Fakta ini tentu bikin kita geleng-geleng kepala dan bertanya-tanya, kok bisa ya? Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana fenomena penguasaan lahan ini terjadi, apa dampaknya, dan langkah apa yang sedang ditempuh pemerintah untuk mewujudkan keadilan agraria. Yuk, kita selami lebih dalam!
Skala Penguasaan Lahan oleh Para ‘Crazy Rich’ di Indonesia
Bayangkan ini: dari total 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di seluruh Indonesia, ada sekitar 48 persennya yang berada dalam kendali hanya 60 keluarga. Ini bukan angka main-main, lho! Meskipun secara hukum tanah tersebut masih milik negara, namun hak guna atau hak kelolanya, baik itu Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Guna Bangunan (HGB), ada di tangan mereka.
Menteri Nusron Wahid menjelaskan bahwa penguasaan lahan ini tidak dilakukan secara terang-terangan oleh individu, melainkan melalui berbagai badan hukum atau perusahaan. Jadi, kalau Anda melihat nama perusahaan yang berbeda-beda, sebenarnya di balik itu semua, beneficiary ownership (pemilik manfaat) atau pengendali akhirnya hanya kembali ke 60 keluarga tersebut. Ini menunjukkan betapa terpusatnya kepemilikan dan kontrol atas sumber daya lahan di negeri kita.
Akar Masalah: Kebijakan Masa Lalu yang Kurang Berpihak?
Fenomena ketimpangan penguasaan lahan ini bukan terjadi begitu saja. Menurut Bapak Nusron, ini adalah cerminan dari “kesalahan kebijakan pada masa lalu” atau kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil. Beliau bahkan menyebutnya sebagai salah satu pemicu kemiskinan struktural yang masih kita rasakan hingga kini.
“Inilah problem di Indonesia, kenapa terjadi kemiskinan struktural? Karena ada kebijakan yang tidak berpihak,” ujar Nusron.
Pemerintah saat ini, melalui Kementerian ATR/BPN, bertekad untuk membawa perubahan dengan tiga prinsip utama: keadilan, pemerataan, dan kesinambungan ekonomi. Artinya, pelaku usaha yang sudah ada tidak akan “dimatikan”, namun lahan baru tidak akan lagi diberikan kepada pihak-pihak yang sudah menguasai terlalu banyak. Tujuannya jelas, agar distribusi lahan lebih merata dan tidak lagi didominasi oleh segelintir orang.
Langkah Pemerintah Mengatasi Ketimpangan: Reforma Agraria dan Tanah Telantar
Melihat kondisi ini, pemerintah tidak tinggal diam. Salah satu kebijakan revolusioner yang sedang digalakkan adalah mengambil alih lahan bersertifikat yang tidak dimanfaatkan secara ekonomi selama dua tahun berturut-turut. Ini berlaku untuk semua jenis hak atas tanah, mulai dari HGU, HGB, hingga hak pakai.
Bagaimana prosesnya?
- Peringatan Awal: Jika lahan tidak aktif selama 2 tahun, BPN akan mengirim surat peringatan pertama.
- Tahapan Peringatan: Setelah itu, akan ada surat peringatan kedua dan ketiga jika tidak ada aktivitas.
- Negosiasi dan Penetapan: Setelah serangkaian peringatan, jika total 587 hari (sekitar 1,5 tahun) sejak surat pertama tidak ada perubahan, pemerintah akan memberikan waktu 6 bulan untuk perundingan.
- Status Tanah Telantar: Jika masih tidak ada aktivitas, barulah tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar.
Secara keseluruhan, proses ini bisa memakan waktu hampir empat tahun sebelum tanah resmi dikategorikan sebagai terlantar dan menjadi bagian dari program reforma agraria. Saat ini, dari 55,9 juta hektare lahan bersertifikat, ada sekitar 1,4 juta hektare yang berstatus tanah terlantar dan siap didistribusikan kembali.
Reforma agraria sendiri adalah upaya pemerintah untuk mendistribusikan kembali tanah kepada masyarakat, terutama mereka yang tidak memiliki atau kekurangan lahan. Ini adalah langkah nyata untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan dan memberikan kesempatan yang lebih adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menuju Keadilan Agraria yang Lebih Baik
Fakta bahwa hampir separuh lahan bersertifikat dikuasai keluarga crazy rich memang mengejutkan, namun ini juga menjadi momentum bagi kita semua untuk memahami pentingnya keadilan dalam distribusi lahan. Langkah-langkah pemerintah melalui reforma agraria dan penertiban tanah terlantar adalah upaya serius untuk menciptakan tatanan agraria yang lebih inklusif.
Semoga dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat, kita bisa melihat Indonesia yang lebih adil, di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan dan mengelola tanahnya demi kesejahteraan bersama. Mari kita dukung upaya ini demi masa depan yang lebih baik!