Saat Israel Dibikin Pusing Warganya Sendiri: Ketika Tekanan Konflik Bergeser ke Dalam Negeri

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Konflik yang berkepanjangan seringkali menyisakan luka yang dalam, tidak hanya di medan perang, tetapi juga di hati dan kehidupan warga sipil. Bagi Israel, usai gencatan senjata yang mengakhiri “perang 12 hari” dengan Iran pada Juni 2025, muncul sebuah tantangan baru yang tak kalah memusingkan: tekanan yang datang justru dari dalam, dari warganya sendiri. Fenomena saat Israel dibikin pusing warganya sendiri ini menyoroti kompleksitas dampak perang yang melampaui garis depan militer, merasuk hingga ke sendi-sendi kehidupan domestik dan stabilitas internal negara.

Saat Israel Dibikin Pusing Warganya Sendiri: Ketika Tekanan Konflik Bergeser ke Dalam Negeri

Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana serangkaian konsekuensi pasca-konflik, mulai dari klaim ganti rugi, ancaman siber, hingga eksodus warga, menjadi beban berat bagi pemerintah Israel, mengubah fokus dari ancaman eksternal menjadi keruwetan internal yang mendalam.

Gelombang Klaim Ganti Rugi: Beban Finansial yang Tak Terduga

Berakhirnya perang 12 hari antara Israel dan Iran, yang diumumkan oleh Presiden Iran Masoud Pezeshkian, seharusnya membawa kelegaan. Namun, bagi pemerintah Israel, gencatan senjata ini justru membuka kotak Pandora masalah baru. Sebagaimana dilaporkan, Israel sontak dibanjiri hampir 39.000 klaim kompensasi dari warganya. Klaim-klaim ini diajukan untuk kerugian material langsung yang disebabkan oleh serangan rudal Iran selama lebih dari sepekan konflik.

Angka 39.000 bukanlah sekadar statistik; ini adalah cerminan langsung dari kerusakan luas yang dialami warga sipil. Dari jumlah tersebut, sekitar 30.809 permintaan ganti rugi berkaitan dengan kerusakan bangunan, 3.713 untuk kendaraan, dan 4.085 lainnya untuk kerusakan pada peralatan serta barang-barang pribadi. Laporan surat kabar Israel Yedioth Ahronoth bahkan mengindikasikan bahwa ribuan bangunan lain kemungkinan mengalami kerusakan namun belum mengajukan klaim. Ini menunjukkan skala masalah yang jauh lebih besar dari yang terlihat di permukaan.

Pemerintah Israel, yang sebelumnya dengan bangga menyatakan telah “mencapai semua tujuan Operasi Rising Lion” dan menghilangkan “ancaman eksistensial ganda” dari program rudal nuklir dan balistik Iran, kini harus menghadapi kenyataan pahit di lini domestik. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan kabinetnya, yang telah menghabiskan sekitar US$5 miliar (sekitar Rp81 triliun) hanya dalam minggu pertama serangan ofensif, kini dihadapkan pada ketidakpastian total mengenai total kerugian finansial yang harus ditanggung negara untuk warganya. Pengeluaran harian perang Israel mencapai US$725 juta, dengan sebagian besar dialokasikan untuk serangan dan sisanya untuk pertahanan serta mobilisasi militer. Namun, bagaimana dengan biaya pemulihan internal? Belum ada perkiraan finansial atau besaran total ganti rugi yang diminta warga Israel, menciptakan ketidakpastian fiskal yang signifikan.

Distribusi klaim juga menunjukkan titik-titik kerusakan terparah: lebih dari 24.932 klaim diajukan di area Tel Aviv, sementara 10.793 klaim lainnya berasal dari kota Ashkelon. Ini mengindikasikan bahwa pusat-pusat populasi padat menjadi target utama, memperparah rasa takut dan kerugian yang dialami warga. Tekanan finansial dan logistik untuk memproses dan memenuhi ribuan klaim ini tentu saja membuat pemerintah Israel dibikin pusing warganya sendiri, mengalihkan sumber daya dan perhatian dari isu-isu geopolitik ke masalah administrasi dan pemulihan internal yang mendesak.

Medan Perang Bergeser ke Ranah Digital: Ancaman Siber dan Psikis Warga

Selain kerusakan fisik, konflik Iran-Israel juga meluas ke dimensi lain yang tak kalah meresahkan: perang siber. Ranah digital telah menjadi medan tempur baru yang secara langsung memengaruhi keamanan dan ketenangan warga sipil, menambah daftar panjang pemicu “kepusingan” pemerintah.

Pemerintah Iran, misalnya, secara publik mengimbau warganya untuk menghapus aplikasi WhatsApp dari ponsel mereka, berdasarkan kekhawatiran bahwa aplikasi milik Meta tersebut mengumpulkan data pengguna untuk diserahkan kepada Israel. Meskipun WhatsApp membantah tuduhan ini dengan menekankan enkripsi end-to-end mereka, insiden ini menyoroti tingkat paranoia dan ketidakpercayaan yang menyelimuti ruang siber di tengah konflik. Imbauan serupa juga diberikan untuk menghindari aplikasi berbasis lokasi, mengisyaratkan kekhawatiran akan pelacakan dan pengawasan.

Para ahli keamanan siber mengonfirmasi bahwa konflik antara kedua negara ini telah memicu lonjakan aktivitas perang siber. Christin Flynn Goodwin, pakar keamanan siber yang pernah bekerja di Microsoft, mengamati keterlibatan peretas terkenal yang terafiliasi dengan militer Israel dan Iran. Unit 8200 Israel dikenal dengan kemampuan sibernya yang kelas dunia, sementara Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC) dan Institut Mabna-nya juga memiliki reputasi signifikan dalam urusan siber.

Firma keamanan siber Ragnar Cybersecurity melaporkan lonjakan serangan siber dari Iran hingga 700 persen yang menargetkan Israel. Serangan ini tidak hanya berwujud gangguan infrastruktur, tetapi juga operasi psikologis yang secara langsung memengaruhi warga. Hacker Iran dilaporkan mengirimkan pesan teks yang mengancam serangan teror kepada ribuan warga Israel, dengan tujuan menimbulkan kepanikan massal. Di sisi lain, kelompok peretas yang diduga berafiliasi dengan Israel, seperti Predatory Sparrow, mengklaim bertanggung jawab atas gangguan operasional bank di Iran, bahkan mengalirkan dana curian ke pasar kripto, yang menyebabkan kesulitan bagi warga Iran dalam mengakses layanan perbankan mereka.

Pernyataan pakar seperti Goodwin yang menyoroti potensi ancaman siber terhadap infrastruktur penting seperti sistem pemanas, jaringan listrik, atau air, menunjukkan betapa krusialnya pertahanan siber bagi kehidupan sehari-hari masyarakat. Pemerintah Israel harus berjuang keras untuk melindungi warganya tidak hanya dari rudal fisik, tetapi juga dari serangan digital yang dapat merusak ekonomi, mengganggu layanan publik, dan menciptakan ketakutan psikologis yang meluas. Tekanan untuk menjaga keamanan siber nasional di tengah eskalasi semacam ini jelas merupakan salah satu alasan utama saat Israel dibikin pusing warganya sendiri, karena ancaman ini langsung menyasar kehidupan dan kesejahteraan individu.

Eksodus Massal dan Kekhawatiran Demografi: Ketika Warga Memilih Pergi

Dampak perang yang paling nyata dan mungkin paling memusingkan bagi pemerintah adalah ketika warganya sendiri mulai meninggalkan negara. Data Biro Pusat Statistik Israel pada tahun 2023 menunjukkan peningkatan tajam jumlah warga Israel yang meninggalkan negara, bertepatan dengan perang di Gaza. Situasi ini memburuk di awal tahun 2024, di mana sebanyak 40.400 warga Israel kembali meninggalkan negaranya.

Fenomena ini bukan sekadar migrasi biasa; ini adalah eksodus massal yang didorong oleh rasa takut dan ketidakpastian akibat konflik yang terus-menerus. Media Zionis menyebutkan bahwa lonjakan angka ini disebabkan oleh perang di Gaza dan kondisi di mana Israel “dikeroyok” oleh beberapa fraksi Palestina seperti Hamas, Hizbullah, Houthi, serta negara-negara seperti Iran dan Irak. Ancaman eksternal yang dirasakan begitu nyata, ditambah dengan serangan rudal dan drone yang terus-menerus, membuat banyak warga merasa tidak aman di tanah air mereka sendiri.

Jurnalis Israel Matan Hodorov telah memperingatkan bahwa kondisi ini akan berdampak serius bagi Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan pajak negara. Kehilangan puluhan ribu warga, terutama mereka yang merupakan bagian dari angkatan kerja produktif, dapat menyebabkan krisis demografi dan ekonomi jangka panjang. Negara membutuhkan tenaga kerja untuk menjaga roda ekonomi tetap berputar, dan kehilangan warga dalam jumlah besar berarti kehilangan potensi pajak, konsumsi, dan inovasi.

Pemerintah Israel tidak hanya pusing dengan klaim kompensasi atau ancaman siber, tetapi juga dengan pertanyaan fundamental tentang masa depan demografi dan ekonomi negaranya. Bagaimana cara meyakinkan warganya untuk tetap tinggal, atau bahkan kembali, di tengah ketegangan yang tak kunjung usai? Pertanyaan ini menjadi dilema besar, sebab perang yang bertujuan melindungi warga justru mendorong mereka untuk mencari perlindungan di tempat lain. Ini adalah salah satu bentuk paling krusial dari saat Israel dibikin pusing warganya sendiri, karena ini menyangkut fondasi keberlanjutan sebuah negara: rakyatnya.

Dinamika Internal di Tengah Gejolak Eksternal: Harga dari Keamanan yang Dirasakan

Konflik yang melibatkan Iran dan proksinya, seperti Hizbullah, dengan Israel telah menunjukkan intensitas yang mengkhawatirkan. Israel terus melakukan serangan udara terhadap target Hizbullah di Lebanon, termasuk pembunuhan komandan senior Fuad Shukr. Sementara itu, Hizbullah membalas dengan menembakkan rudal ke Israel utara, meskipun sistem Iron Dome Israel berhasil mencegat sebagian besar proyektil tersebut. Nicholas Marsh dari Peace Research Institute Oslo (PRIO) bahkan menyebut bahwa Hizbullah diperkirakan memiliki begitu banyak rudal sehingga mampu menggempur pertahanan udara Israel, setidaknya untuk sementara.

Di sisi lain, Iran juga menghadapi konsekuensi internal dari konflik ini. Iran melaporkan 627 orang tewas dan 4.870 terluka selama serangan Israel 12 hari, menunjukkan bahwa kedua belah pihak menanggung kerugian manusia yang signifikan. Lebih lanjut, Iran juga melakukan eksekusi terhadap tiga orang yang dituduh mata-mata Mossad Israel, yang menunjukkan tingkat ketegangan dan paranoia intelijen yang tinggi di kedua belah pihak. Tindakan ini, meskipun di sisi Iran, mencerminkan adanya “perang dalam bayangan” yang juga berkontribusi pada ketidakstabilan dan kekhawatiran internal di wilayah tersebut.

Pemerintah Israel, dalam upayanya menghilangkan “ancaman eksistensial,” seringkali mengambil langkah-langkah yang memicu eskalasi. Filosofi militer mereka adalah “menimbulkan rasa sakit” untuk membuat lawan berpikir dua kali. Namun, pendekatan ini memiliki konsekuensi yang tak terhindarkan bagi warga sipil mereka sendiri. Setiap serangan balasan, setiap eskalasi, meningkatkan risiko bagi warga Israel, baik melalui serangan langsung, ancaman siber, atau ketidakpastian yang mendorong migrasi.

Ini menciptakan lingkaran setan: pemerintah bertindak untuk keamanan, tetapi tindakan itu sendiri menciptakan kondisi yang membuat saat Israel dibikin pusing warganya sendiri. Warga menjadi korban langsung dan tidak langsung dari kebijakan keamanan yang agresif, dan kemudian mereka menuntut pertanggungjawaban, kompensasi, atau bahkan memilih untuk angkat kaki. Dilema ini menempatkan pemerintah di posisi yang sangat sulit, di mana keberhasilan militer di luar negeri dapat berarti kekacauan dan tekanan di dalam negeri.

Kesimpulan: Ketika Rumah Sendiri Menjadi Ujian Terberat

Fenomena saat Israel dibikin pusing warganya sendiri adalah cerminan kompleks dari dampak multidimensional konflik modern. Setelah “perang 12 hari” dengan Iran berakhir, pemerintah Israel dihadapkan pada serangkaian tantangan internal yang menguras energi dan sumber daya. Ribuan klaim ganti rugi menunjukkan skala kerusakan material dan beban finansial yang harus dipikul negara. Perang siber telah membawa ancaman langsung ke ranah digital warga, menciptakan ketakutan dan kerentanan baru. Sementara itu, eksodus massal warga adalah peringatan paling keras tentang erosi kepercayaan dan rasa aman, yang berpotensi merusak fondasi demografi dan ekonomi negara dalam jangka panjang.

Tekanan-tekanan ini membuktikan bahwa kemenangan militer atau pencapaian tujuan strategis di medan perang tidak menjamin stabilitas internal. Sebaliknya, seringkali, harga dari konflik eksternal harus dibayar mahal di dalam negeri, dalam bentuk tuntutan warga, kerentanan siber, dan migrasi massal. Bagi Israel, “kepusingan” yang datang dari warganya sendiri adalah pengingat bahwa keamanan sejati tidak hanya diukur dari kekuatan militer, tetapi juga dari kesejahteraan, rasa aman, dan kepercayaan yang dirasakan oleh setiap individu di dalam negeri. Membangun kembali kepercayaan dan mengatasi masalah domestik pasca-konflik mungkin merupakan pertempuran terberat yang harus dihadapi pemerintah Israel.

Bagaimana menurut Anda, langkah apa yang paling tepat untuk mengatasi “kepusingan” internal semacam ini? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar.