Halo Pembaca setia! Dunia politik Indonesia kembali diwarnai kabar penting dari Mahkamah Konstitusi (MK). Baru-baru ini, MK mengeluarkan putusan yang akan mengubah cara kita menyelenggarakan pemilihan umum di masa depan. Jika sebelumnya kita kenal dengan Pemilu serentak yang membuat kita mencoblos di banyak kotak suara sekaligus, kini ada perubahan besar yang perlu kita pahami bersama.
Artikel ini akan mengupas tuntas apa saja yang akan berubah dalam Pemilu nasional dan Pemilu daerah (Pilkada) setelah putusan MK ini. Dengan memahami informasi ini, Anda akan lebih siap menghadapi pesta demokrasi berikutnya dan tahu apa saja dampaknya bagi kita semua. Yuk, kita bedah satu per satu!
Selamat Tinggal Pemilu 5 Kotak Suara!
Ingat Pemilu 2024 lalu? Kita harus mencoblos lima surat suara sekaligus dalam satu hari. Mulai dari memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, sampai DPRD Kabupaten/Kota. Banyak sekali, ya? Saking banyaknya, sampai ada lima jenis surat suara dengan warna dan ukuran berbeda-beda. Ini seringkali membuat bingung dan prosesnya jadi cukup rumit bagi sebagian pemilih.
Nah, putusan MK terbaru ini secara otomatis akan membuat kita “berpisah” dengan sistem Pemilu lima kotak suara tersebut. Ini adalah salah satu dampak paling terasa dari keputusan MK untuk memisahkan Pemilu nasional dan Pemilu daerah.
“Putusan ini membuat kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada pemilihan umum lima kotak suara.” – Tim detikcom, dalam laporannya.
Artinya, ke depan, kemungkinan besar Anda tidak akan lagi menerima lima surat suara berbeda dalam satu waktu saat mencoblos. Prosesnya diharapkan bisa lebih sederhana dan fokus.
Jadwal Pemilu Nasional dan Pilkada Resmi Dipisah
Ini dia inti dari putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang meminta agar Pemilu tingkat nasional dipisah dengan Pemilu tingkat daerah.
Bagaimana skemanya?
- Pemilu Nasional: Akan memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR RI, dan anggota DPD RI.
- Pemilu Daerah (Pilkada): Akan memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
MK mengusulkan pemungutan suara nasional dan daerah diberi jarak waktu. Jaraknya tidak boleh terlalu dekat, yaitu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR/DPD atau Presiden/Wakil Presiden hasil Pemilu nasional.
Contoh sederhananya begini:
- Jika Pemilu Nasional berikutnya (Presiden, DPR, DPD) dilaksanakan pada tahun 2029.
- Maka, Pilkada atau Pemilu daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, serta anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) kemungkinan besar akan digelar pada tahun 2031, sekitar 2 tahun setelah Pemilu Nasional.
“Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015… bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, ‘Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden’,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan pada Kamis (26/6).
Perubahan ini diharapkan bisa membuat proses Pemilu lebih fokus, mengurangi beban penyelenggara, dan juga memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk memiliki “start kerja” yang sama dengan DPRD-nya, sehingga fungsi kontrol dan pengawasan bisa berjalan lebih efektif.
Jabatan Anggota DPRD Berpotensi Diperpanjang?
Salah satu implikasi menarik dari putusan ini adalah potensi perpanjangan masa jabatan bagi anggota DPRD yang terpilih pada Pemilu 2024 lalu. Mengapa demikian?
Menurut Komisioner KPU Idham Holik, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 102 ayat (4) dan Pasal 155 ayat (4) menyatakan:
- Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang baru mengucapkan sumpah/janji.
- Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Dengan adanya Pemilu Nasional pada 2029 dan Pilkada/Pemilu Lokal baru pada 2031, berarti anggota DPRD yang terpilih di 2024 akan menjabat hingga calon baru hasil Pemilu Lokal 2031 dilantik. Ini berarti ada potensi masa jabatan mereka melebihi 5 tahun, yaitu hingga 2031.
“Jadi dengan adanya pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal sebagaimana Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024, dimana Pemilu Lokal dilaksanakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan pasca pelantikan DPR RI dan DPD RI atau presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu nasional pada 2029, maka masa jabatan anggota DPRD berpotensi diperpanjang, karena pemilu lokal baru akan menghasilkan anggota DPRD terpilih pada 2031,” jelas Idham Holik.
Namun, ini masih berupa potensi dan perlu dibahas lebih lanjut oleh pembuat Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) dalam revisi UU Pemilu.
Wacana Pilkada Lewat DPRD: Kini Sirna?
Sebelum putusan MK ini, sempat muncul wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), bukan lagi dipilih langsung oleh rakyat. Wacana ini sempat didukung oleh beberapa pihak, termasuk Presiden terpilih Prabowo Subianto yang menyinggung soal efisiensi biaya.
Namun, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Agustyati, berpendapat bahwa putusan MK ini secara tidak langsung menghapuskan wacana tersebut.
“Dengan putusan MK kemarin, sebetulnya juga wacana pemilihan kepala daerah lewat DPRD, itu juga seharusnya sudah enggak ada lagi,” kata Khoirunnisa Agustyati.
Ini berarti, prinsip pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat tetap akan dipertahankan, meskipun jadwalnya dipisah dari Pemilu nasional.
DPR dan Pemerintah Harus Segera Revisi Undang-Undang Pemilu
Dengan adanya putusan MK ini, DPR dan Pemerintah punya pekerjaan rumah besar. Mereka harus segera membahas dan merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Revisi ini penting untuk menyesuaikan semua aturan dengan putusan MK, termasuk jadwal baru dan implikasi lainnya.
“Kita tunggu perubahan UU terkait. Saya yakin Pembentuk UU (DPR dan Pemerintah) akan melakukan perubahan UU Pemilu. Kita tunggu UU Pemilu yang baru,” ujar Komisioner KPU Idham Holik.
Proses revisi ini diharapkan tidak hanya soal jadwal, tapi juga bisa menjadi momentum untuk reformasi partai politik agar demokrasi kita semakin berkualitas.
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah ini adalah tonggak sejarah baru dalam sistem demokrasi kita. Kita akan mengucapkan selamat tinggal pada Pemilu 5 kotak suara yang rumit dan menyambut jadwal Pemilu yang lebih terpisah dan fokus. Dampaknya, seperti potensi perpanjangan masa jabatan DPRD, juga menjadi hal yang menarik untuk dicermati.
Perubahan ini tentu membutuhkan kerja keras dari DPR dan Pemerintah untuk segera merevisi undang-undang terkait. Mari kita kawal bersama proses ini agar Pemilu ke depan bisa berjalan lebih baik, lebih efisien, dan semakin memperkuat kedaulatan rakyat Indonesia. Pemilu adalah milik kita bersama, mari kita pahami dan ikut serta dalam setiap perkembangannya!