Presiden Iran: Serangan AS Uji Solidaritas BRICS di Panggung Dunia – Sebuah Titik Balik Geopolitik Global?

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Di tengah riuhnya dinamika geopolitik global yang kian memanas, sebuah pernyataan signifikan dari Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, telah menarik perhatian dunia: serangan Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir Iran merupakan ujian krusial bagi solidaritas BRICS di panggung dunia. Pernyataan ini bukan sekadar retorika diplomatik, melainkan sebuah refleksi mendalam atas pergeseran kekuatan global yang sedang berlangsung, menyoroti bagaimana insiden spesifik dapat menjadi katalisator bagi aliansi-aliansi baru dan tantangan terhadap hegemoni yang telah lama mapan. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa klaim Presiden Pezeshkian begitu relevan, bagaimana insiden ini memengaruhi kohesi BRICS, dan apa implikasinya bagi arsitektur keamanan serta ekonomi global di masa depan.

Presiden Iran: Serangan AS Uji Solidaritas BRICS di Panggung Dunia – Sebuah Titik Balik Geopolitik Global?

Dalam beberapa dekade terakhir, dominasi Barat, khususnya AS, dalam tatanan internasional telah menjadi norma. Namun, kemunculan blok seperti BRICS – yang awalnya beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, kini diperluas dengan masuknya Iran, Arab Saudi, Mesir, Etiopia, dan Uni Emirat Arab – menandai era baru polaritas kekuatan. Pernyataan Presiden Pezeshkian ini menempatkan serangan AS terhadap Iran tidak hanya sebagai agresi unilateral, melainkan sebagai sebuah peristiwa yang secara fundamental menguji sejauh mana BRICS dapat berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang yang kohesif dan berdaulat. Memahami konteks ini akan membuka wawasan kita tentang bagaimana krisis regional dapat memiliki dampak global yang jauh lebih besar dari yang terlihat.

Latar Belakang Geopolitik: Eskalasi di Timur Tengah

Kawasan Timur Tengah, dengan kekayaan sumber daya dan posisi geografis strategisnya, telah lama menjadi episentrum ketegangan global. Konflik yang berlarut-larut, intervensi asing, dan persaingan kekuasaan regional telah membentuk lanskap yang kompleks dan tidak stabil. Dalam konteks ini, program nuklir Iran selalu menjadi isu sentral yang memicu kekhawatiran dan memicu ketegangan, terutama dengan AS dan Israel.

Serangan AS ke Situs Nuklir Iran: Sebuah Provokasi Terencana

Pada tanggal 24 Juni 2025, dunia dikejutkan oleh kabar serangan udara yang dilancarkan AS terhadap fasilitas nuklir Iran di Isfahan, Natanz, dan Fordow. Tindakan militer ini, yang disebut oleh Iran sebagai pelanggaran hukum internasional, dengan cepat memicu gelombang kecaman dari berbagai negara. Penting untuk dicatat bahwa serangan ini bukanlah tindakan impulsif; laporan menunjukkan bahwa AS telah menyusun rencana serangan ini secara diam-diam selama berbulan-bulan, di bawah payung “Operasi Midnight Hammer,” setelah perundingan nuklir dengan Iran tidak mencapai titik terang. Presiden AS Donald Trump disinyalir telah merencanakan langkah ini jauh sebelum memberikan lampu hijau.

Serangan terhadap situs-situs vital nuklir Iran, yang merupakan tulang punggung program energi damai negara tersebut, secara eksplisit ditujukan untuk menekan Teheran. Namun, alih-alih melemahkan, aksi ini justru memicu respons balik yang keras dan menyatukan berbagai faksi di Iran di balik pemerintahannya. Insiden ini juga secara langsung menantang kedaulatan Iran dan mengancam stabilitas regional yang sudah rapuh, membuka potensi eskalasi yang lebih luas.

Respons Tegas Teheran: “Garis Merah Besar” yang Dilanggar

Menanggapi serangan AS, respons Iran sangatlah tegas dan tidak ambigu. Presiden Masoud Pezeshkian dengan lugas menyatakan bahwa serangan tersebut adalah titik balik yang membuka mata dunia tentang siapa yang benar-benar menjunjung tinggi kedaulatan dan siapa yang melanggarnya. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah pertemuan strategis di Teheran yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara BRICS, menandakan bahwa Iran melihat respons kolektif sebagai kunci.

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyuarakan kecaman yang lebih tajam, menyebut serangan AS sebagai “penghancuran diplomasi.” Ketika Barat mendesak Iran untuk kembali ke meja perundingan, Araghchi dengan retoris mempertanyakan, “Bagaimana kami kembali ke sesuatu yang tidak pernah kami tinggalkan?” Ia menegaskan bahwa AS dan Israel telah melewati “garis merah besar” dengan menyerang situs-situs nuklir Iran, yang secara terang-terangan melanggar hukum internasional. Ketegasan ini juga tercermin dari pernyataan bahwa operasi militer terhadap Israel akan terus berlanjut, menunjukkan tekad Iran untuk tidak gentar di hadapan tekanan. Iran bahkan secara eksplisit meminta lebih banyak bantuan dari Rusia, mengirimkan Menteri Luar Negeri ke Moskow untuk menyampaikan surat dari Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei kepada Presiden Vladimir Putin, mengindikasikan bahwa Teheran mengharapkan dukungan yang lebih substansial dari sekutunya.

BRICS di Tengah Badai: Ujian Solidaritas dan Pergeseran Kekuatan

Klaim Presiden Pezeshkian bahwa serangan AS menguji solidaritas BRICS bukanlah sekadar pernyataan kosong. Ini mencerminkan realitas geopolitik di mana BRICS semakin memposisikan diri sebagai alternatif terhadap tatanan dunia yang didominasi Barat. Namun, seberapa kuat solidaritas ini dalam menghadapi krisis berskala besar?

Posisi Historis BRICS Terhadap Isu Nuklir Iran

Sejak awal pembentukannya, negara-negara BRICS telah menyuarakan keprihatinan atas ancaman aksi militer dan sanksi sepihak terhadap Republik Islam Iran. Dalam Deklarasi Durban, misalnya, para pemimpin BRICS secara eksplisit menyatakan:

  • “Kami percaya tidak ada alternatif untuk merundingkan isu nuklir Iran.”
  • “Kami mengakui hak Iran untuk menggunakan energi nuklir secara damai konsisten dengan kewajiban internasional.”
  • Mereka mendukung resolusi isu-isu melalui cara-cara politik, diplomatik, dan dialog, termasuk antara IAEA dan Iran, serta sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB dan Perjanjian Non-Penyebaran Senjata Nuklir (NPT).
  • BRICS telah menyatakan keprihatinan mendalam atas ancaman aksi militer dan sanksi sepihak, serta berharap semua isu terkait program nuklir Iran dapat diselesaikan melalui diskusi dan sarana diplomatik.

Posisi ini secara fundamental berbeda dari pendekatan AS dan Israel yang cenderung menggunakan tekanan militer dan sanksi. Bagi BRICS, stabilitas regional dan penyelesaian konflik melalui jalur diplomatik adalah prioritas, sejalan dengan prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara.

Suara Presiden Pezeshkian: Serangan AS sebagai Katalis Persatuan BRICS

Pernyataan Presiden Pezeshkian, yang dikutip dari Watcher Guru, menegaskan bahwa serangan AS justru menyatukan anggota BRICS dalam solidaritas baru melawan dominasi Barat. Ia melihat insiden ini sebagai momen di mana BRICS menunjukkan persatuan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam menghadapi tekanan Barat. Kecaman keras dari Rusia dan Tiongkok terhadap serangan tersebut, yang secara eksplisit disebutkan oleh Menteri Luar Negeri Araghchi, menjadi bukti nyata dari kohesi BRICS saat ini.

Solidaritas ini bukan hanya tentang dukungan verbal. Ini juga tentang bagaimana negara-negara BRICS memandang tatanan global dan posisi mereka di dalamnya. Bagi Iran, respons BRICS adalah validasi bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi kekuatan unilateral. Ini memperkuat narasi bahwa ada blok kekuatan yang siap menantang status quo dan memperjuangkan multipolaritas.

Peran Rusia dan Tiongkok dalam Kohesi BRICS

Rusia, sebagai salah satu anggota inti BRICS, memainkan peran sentral dalam solidaritas yang ditunjukkan terhadap Iran. Kecaman tegas Rusia terhadap serangan AS memperlihatkan sejauh mana Moskow bersedia berdiri bersama Teheran. Meskipun Presiden Vladimir Putin awalnya menyerukan ketenangan dan menawarkan mediasi atas perundingan nuklir Iran, ia dengan tegas mengutuk serangan Israel terhadap Iran, dan kemudian mengoordinasikan posisi dengan Iran terkait eskalasi terbaru di Timur Tengah.

Dukungan Rusia, baik secara diplomatik maupun potensial dalam bentuk bantuan, sangat krusial bagi Iran. Ini menunjukkan bahwa BRICS bukan hanya forum diskusi, melainkan sebuah platform di mana anggotanya dapat mencari dan memberikan dukungan konkret dalam menghadapi ancaman eksternal. Tiongkok, sebagai raksasa ekonomi dan politik di BRICS, juga memiliki kepentingan strategis dalam stabilitas Timur Tengah dan menentang unilateralisme AS, sehingga dukungannya menambah bobot pada posisi kolektif BRICS.

Implikasi Lebih Luas: Menuju Tata Dunia Multipolar?

Serangan AS terhadap Iran dan respons BRICS yang mengikutinya adalah cerminan dari pergeseran besar dalam lanskap geopolitik global. Ini bukan hanya tentang satu konflik, tetapi tentang bagaimana kekuatan-kekuatan baru menantang hegemoni yang telah lama ada.

Tantangan Terhadap Dominasi Barat

Pernyataan Presiden Pezeshkian secara langsung menantang narasi dominasi Barat. Bagi Iran, dan mungkin bagi sebagian besar anggota BRICS, serangan AS adalah contoh nyata dari upaya untuk memaksakan kehendak melalui kekuatan militer, mengabaikan hukum internasional dan kedaulatan negara lain. Solidaritas BRICS, dalam konteks ini, menjadi manifestasi dari keinginan untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih seimbang, di mana tidak ada satu kekuatan pun yang dapat mendikte negara-negara lain.

Fenomena ini mendorong diskusi tentang kemungkinan “Perang Dunia III” yang sempat disinggung. Meskipun retorika ini mungkin hiperbolis, ia menyoroti tingkat ketegangan dan risiko eskalasi yang ada. BRICS, dengan filosofi non-intervensi dan multilateralisme, berpotensi menjadi penangkal terhadap konflik besar, asalkan solidaritasnya dapat diterjemahkan menjadi tindakan diplomatik dan ekonomi yang efektif.

Dinamika Regional dan Perspektif Lain

Krisis ini juga menyoroti kompleksitas dinamika regional di Timur Tengah. Sementara Iran mengklaim solidaritas dari BRICS, ada juga kritik terhadap negara-negara Arab tertentu yang dianggap “bersembunyi di balik jubah mewah” dan “bersimpuh kepada bosnya di New York” alih-alih menunjukkan solidaritas terhadap Palestina atau Iran. Perspektif ini, yang muncul dalam beberapa analisis, menuduh beberapa negara Arab menukar kehormatan umat dengan jaminan keamanan dari Washington dan Tel Aviv, bahkan hingga menghalangi perjuangan sesama Muslim. Contohnya adalah partisipasi Yordania dalam menembak jatuh rudal Iran yang melintasi wilayahnya menuju Israel.

Narasi ini, meskipun kontroversial, menyoroti adanya perpecahan dalam dunia Islam itu sendiri dan bagaimana BRICS dapat menawarkan alternatif bagi negara-negara yang merasa tidak terwakili oleh aliansi tradisional. Ini juga memperkuat citra Iran sebagai negara yang berani melawan ketidakadilan, meskipun sering dicap sebagai “teroris” oleh Barat.

Batasan dan Potensi Solidaritas BRICS

Meskipun solidaritas BRICS terlihat kuat dalam kecaman dan dukungan diplomatik, penting untuk memahami batasan dari dukungan ini. Sumber seperti Netralnews mengindikasikan bahwa dukungan BRICS terhadap Iran cenderung bersifat diplomasi, bukan komitmen perang. Artinya, BRICS akan mendukung penyelesaian damai dan penolakan terhadap sanksi sepihak, tetapi belum tentu akan melibatkan diri dalam konflik militer langsung.

Namun, potensi BRICS sebagai kekuatan penyeimbang tetap besar. Solidaritas ekonomi, koordinasi politik, dan dukungan diplomatik dapat memberikan Iran ruang gerak yang lebih besar di panggung internasional. Ini juga dapat mendorong negara-negara lain untuk meninjau kembali aliansi mereka dan mempertimbangkan kembali peran BRICS dalam pembentukan kebijakan luar negeri mereka. Kemampuan BRICS untuk menawarkan jalur alternatif bagi pembangunan dan keamanan, terlepas dari institusi yang didominasi Barat, adalah aset utamanya.

Masa Depan Solidaritas BRICS dan Stabilitas Global

Pernyataan Presiden Iran Masoud Pezeshkian bahwa serangan AS menguji solidaritas BRICS di panggung dunia adalah lebih dari sekadar respons situasional. Ini adalah indikator kuat dari perubahan fundamental dalam lanskap geopolitik global. Insiden ini berfungsi sebagai katalis, mempercepat pergeseran menuju tatanan dunia multipolar di mana blok-blok kekuatan seperti BRICS memainkan peran yang semakin krusial dalam menantang dominasi unilateral.

Solidaritas yang ditunjukkan oleh anggota BRICS, terutama melalui kecaman keras dari Rusia dan Tiongkok, menegaskan bahwa kelompok ini bukan hanya forum diskusi ekonomi, tetapi juga entitas politik yang memiliki bobot dalam isu-isu keamanan global. Meskipun dukungan mereka mungkin lebih condong ke arah diplomatik daripada intervensi militer langsung, konsensus BRICS untuk menentang unilateralisme dan mendukung penyelesaian konflik melalui dialog adalah fondasi penting bagi stabilitas yang lebih besar.

Ke depan, peran BRICS akan semakin diuji dalam menghadapi tantangan serupa. Kemampuannya untuk mempertahankan kohesi internal, menerjemahkan solidaritas verbal menjadi tindakan nyata, dan menawarkan alternatif yang kredibel terhadap tatanan yang ada akan menentukan sejauh mana ia dapat membentuk masa depan hubungan internasional. Bagi Iran, dukungan BRICS adalah validasi kedaulatannya di tengah tekanan, sementara bagi dunia, ini adalah sinyal bahwa era dominasi tunggal mungkin akan segera berakhir, digantikan oleh panggung dunia yang lebih beragam dan seimbang.

Bagaimana menurut Anda, apakah solidaritas BRICS akan cukup kuat untuk menahan tekanan geopolitik yang terus meningkat? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah ini, atau diskusikan artikel ini di media sosial Anda untuk memicu percakapan yang lebih luas tentang masa depan tatanan global.