Baru-baru ini, jagat pemberitaan di Aceh ramai dengan kabar Polda Aceh memanggil Pokja Pemilihan Setda Aceh terkait dugaan tindak pidana korupsi. Pemanggilan ini bukan sekadar rutinitas, melainkan bagian dari penyelidikan serius yang dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh. Kasus ini melibatkan proyek pembangunan jalan yang nilainya tak main-main, mencapai ratusan juta rupiah, dan dibiayai dari dana otonomi khusus yang seharusnya digunakan untuk kemajuan daerah.
Ilustrasi untuk artikel tentang Polda Panggil Pokja Pemilihan Setda Aceh: Mengusut Dugaan Korupsi Proyek Jalan Rp 728 Juta dan Reaksi Panas DPRA
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa pemanggilan ini terjadi, apa saja dugaan di baliknya, serta bagaimana reaksi berbagai pihak, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang langsung angkat bicara. Yuk, kita selami lebih dalam.
Mengapa Pokja Setda Aceh Dipanggil Polda? Proyek Jalan Rp 728 Juta Jadi Sorotan
Panggilan dari pihak berwajib ini bukan tanpa sebab. Ditreskrimsus Polda Aceh melalui surat resminya pada 8 Juli 2025, memanggil anggota Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan pada Biro Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Setda Aceh, Ali Kausar. Pemanggilan ini bertujuan untuk klarifikasi dan keterangan lebih lanjut dalam penyelidikan dugaan korupsi.
Proyek Jalan Rp 728 Juta di Aceh Utara Jadi Sorotan
Fokus penyelidikan adalah dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang dalam proyek pembangunan lanjutan lingkungan di tiga gampong (desa) di Kecamatan Baktiya, Aceh Utara. Proyek ini mencakup Gampong Geulumpang Samlakoe, Gampong Matang Cut, dan Gampong Pucok Alue.
Proyek senilai Rp 728 juta ini dibiayai melalui Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh Tahun Anggaran 2023 dan dikelola oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Aceh. Penyidik menduga adanya unsur penyalahgunaan wewenang serta indikasi korupsi, yang dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Pemanggilan Ali Kausar pada 10 Juli 2025 ini menjadi langkah awal dalam upaya Polda Aceh mengusut tuntas dugaan penyelewengan dana publik, terutama yang bersumber dari Dana Otsus, yang sejatinya dialokasikan untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Aceh.
Reaksi DPRA: Antara Pengawasan dan Kecurigaan
Tak lama setelah kabar pemanggilan Pokja Pemilihan Setda Aceh terkait dugaan korupsi ini mencuat, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) langsung menunjukkan reaksi. Ketua DPRA, Zulfadhli, menyatakan akan menyurati pimpinan Ditreskrimsus Polda Aceh dan Biro PBJ terkait pemanggilan ini.
Klarifikasi dan Dugaan “Barter Proyek”
Langkah DPRA ini disebut sebagai bentuk pengawasan dan upaya klarifikasi untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Zulfadhli bahkan berencana melayangkan surat resmi ke Polda Aceh pada 14 Juli 2025 untuk meminta klarifikasi.
“Jadi, nanti kita lihat, apakah upaya tersebut sebagai bagian dari penegakan hukum, atau hanya modus untuk ‘barter proyek’ semata. Nanti kita surati semua pihak-pihak terkait. Kita ingin mengklarifikasi persoalan ini agar terang benderang,” ujar Zulfadhli.
Zulfadhli juga menyayangkan pemanggilan tersebut, menilai bahwa upaya semacam ini bisa menjadi hambatan bagi pembangunan Aceh ke depan. Ia bahkan menyebut adanya keluhan dari masyarakat mengenai oknum-oknum di Polda Aceh yang kerap mengganggu jalannya pembangunan dengan cara memanggil Pokja, namun ujung-ujungnya meminta “jatah proyek”.
Ia menyoroti bahwa banyak proyek besar di Aceh, seperti Proyek Multi Years (MYC) yang bernilai triliunan rupiah dan juga bermasalah, namun tidak mendapatkan keseriusan penanganan dari Polda Aceh. Ketua DPRA ini ingin masalah ini terbuka terang benderang, bahkan siap menindaklanjuti hingga ke Mabes Polri jika diperlukan. Zulfadhli juga mengingatkan aparat penegak hukum untuk saling menghormati kerja masing-masing instansi dan tidak menghambat pembangunan dengan pola pendekatan hukum yang terkesan tendensius, yang menurutnya tidak mencerminkan semangat Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
Suara Aktivis: Dukungan untuk Penegakan Hukum
Di sisi lain, reaksi terhadap sikap DPRA juga muncul. Aktivis perempuan, Yulindawati, menyayangkan sikap Ketua DPRA Zulfadhli terkait pemanggilan Pokja ini. Ia menilai Ketua DPRA “alergi” terhadap upaya hukum yang dilakukan Polda Aceh dalam menindak setiap indikasi pelanggaran anggaran daerah.
Yulindawati berpendapat bahwa seharusnya Ketua DPRA mendukung sikap Polda Aceh, karena fungsi dewan adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Ia juga merasa heran mengapa saat aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan hukum, justru mendapat intervensi dan tekanan.
“Ada apa dengan ketua DPRA? di saat banyak persoalan di Aceh malah diam-diam saja, lantas kenapa giliran satu orang dipanggil karena diduga ada permainan proyek seperti kebakaran jenggot, ada apa? Apa ada ikut dapat bagian?” tanya Yulindawati.
Ia menyarankan agar Polda Aceh tidak mudah diintervensi dan melanjutkan tugasnya mengusut tuntas kasus ini, mengabaikan segala bentuk tekanan dari pihak manapun.
Penutup
Kasus Polda panggil Pokja Pemilihan Setda Aceh terkait dugaan korupsi proyek jalan ini memang menjadi sorotan publik. Di satu sisi, ada upaya penegakan hukum untuk memastikan dana publik digunakan secara akuntabel. Di sisi lain, muncul kekhawatiran dari lembaga legislatif mengenai potensi hambatan pembangunan dan dugaan motif tersembunyi di balik pemanggilan tersebut.
Situasi ini menunjukkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daerah. Semoga proses penyelidikan ini dapat berjalan lancar, menghasilkan kebenaran, dan memastikan bahwa setiap rupiah dari Dana Otsus benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh tanpa ada penyelewengan. Publik tentu menantikan perkembangan selanjutnya dari kasus ini.