Yogyakarta, zekriansyah.com – Kabar kurang menyenangkan datang dari dunia industri Tanah Air. Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal kini membayangi empat sektor industri penting di Indonesia. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bahkan sudah mewanti-wanti potensi ini. Kira-kira, apa ya penyebabnya dan sektor mana saja yang paling rawan? Yuk, kita bedah tuntas agar Anda tahu kondisi terkini dan langkah apa yang sedang disiapkan pemerintah untuk menjaga ketahanan ekonomi kita.
Ilustrasi: Ancaman PHK massal menghantui empat sektor industri, dipicu serbuan produk impor yang membanjiri pasar domestik.
Kebijakan Impor Jadi Pemicu Utama
Menurut Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, pangkal masalahnya adalah kebijakan relaksasi impor produk jadi yang sempat diberlakukan. Kebijakan ini membuat pasar domestik kebanjiran produk dari luar negeri. Akibatnya, permintaan terhadap produk dalam negeri jadi menurun drastis, dan pabrik-pabrik lokal pun terpaksa mengurangi kegiatan produksinya atau yang biasa disebut utilisasi industri.
“Relaksasi ini memicu lonjakan impor produk jadi dan menekan utilisasi industri dalam negeri,” jelas Febri. “Hal itu memicu penutupan industri serta meningkatkan ancaman terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).”
Sederhananya, bayangkan toko kelontong di dekat rumah Anda tiba-tiba dipenuhi barang dari luar negeri dengan harga lebih murah. Tentu pembeli akan beralih ke sana, dan barang dagangan toko lokal jadi tidak laku, kan? Nah, kondisi inilah yang dialami industri kita.
Empat Sektor Industri Paling Rentan Badai PHK
Kemenperin secara spesifik menyebut ada empat kelompok industri yang paling rawan terkena dampak penutupan dan ancaman PHK massal ini. Sektor-sektor ini sebagian besar merupakan industri padat karya, artinya banyak menyerap tenaga kerja.
Berikut adalah empat sektor industri yang dimaksud:
- Alas Kaki: Industri sepatu dan sandal. Sektor ini bahkan sudah mengalami penurunan ekspor yang signifikan, mencapai 21,54% dari Maret ke April 2025, terutama ke pasar Amerika Serikat. Ini menunjukkan tekanan ganda, baik dari pasar domestik maupun global.
- Elektronik: Termasuk industri komputer, barang elektronik, dan optik. Produk-produk impor yang membanjiri pasar membuat industri lokal sulit bersaing.
- Kosmetik: Sektor ini juga merasakan dampak persaingan produk impor yang agresif di pasar domestik.
- Pakaian Jadi dan Tekstil: Permintaan domestik untuk produk tekstil dan pakaian jadi sempat mengalami kontraksi pada Juni 2025. Sektor ini juga menjadi salah satu yang paling sering disebut dalam berita PHK massal beberapa waktu terakhir.
Indeks Kepercayaan Industri Menurun, Sinyal Bahaya!
Kondisi melemahnya industri dalam negeri ini juga terlihat dari Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Indonesia. Pada Juni 2025, IKI berada di angka 51,84. Angka ini memang masih dalam fase ekspansi (di atas 50), yang berarti industri kita masih tumbuh. Namun, angka tersebut lebih rendah dibanding Mei 2025 (52,11) dan Juni tahun lalu (52,50). Penurunan ini menjadi sinyal penting bahwa ada perlambatan.
Selain empat sektor di atas, Kemenperin juga mencatat lima subsektor lain yang mengalami kontraksi atau penurunan kinerja pada Juni 2025, yaitu:
- Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki (KBLI 15)
- Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik (KBLI 26)
- Industri Peralatan Listrik (KBLI 27)
- Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL (KBLI 28)
- Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan (KBLI 33)
Langkah Pemerintah: Pembatasan Impor Diperketat
Melihat kondisi ini, pemerintah tidak tinggal diam. Menteri Perdagangan, Budi Santoso, telah mengambil langkah cepat dengan mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 dan menggantinya dengan Permendag Nomor 16 Tahun 2025.
Dalam aturan baru ini, pemerintah kembali memperketat pengendalian dan pembatasan impor (lartas) untuk beberapa komoditas, terutama di subsektor tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, serta aksesoris pakaian jadi. Ini artinya, barang-barang impor tidak bisa lagi masuk sembarangan.
“Revisi Permendag ini mempertimbangkan data supply-demand sektor tekstil dan pakaian jadi. Dengan pembatasan impor secara selektif, maka pesanan produk dalam negeri akan meningkat,” ujar Febri Hendri Antoni Arief.
Kemenperin berharap, kebijakan ini akan memulihkan permintaan domestik dan meningkatkan kembali utilisasi atau kapasitas produksi pabrik-pabrik dalam negeri. Tujuannya jelas, agar industri kita bisa kembali bergairah dan ancaman PHK massal bisa diminimalisir.
Antisipasi dan Harapan di Tengah Tantangan
Ancaman PHK massal memang bukan hal baru. Sebelumnya, beberapa perusahaan besar seperti Sritex, Yamaha, hingga pabrik pemasok Nike juga sudah melakukan efisiensi karyawan akibat berbagai tekanan, termasuk serbuan impor dan penurunan permintaan global.
Para pengamat dan anggota DPR juga terus menyuarakan pentingnya perlindungan terhadap industri padat karya. Mereka mendesak pemerintah untuk tidak hanya fokus pada deregulasi kemudahan berusaha, tetapi juga memastikan kebijakan impor tidak justru ‘membunuh’ industri lokal yang menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja.
Diharapkan, dengan kebijakan baru yang lebih berpihak pada industri dalam negeri, pesanan produk lokal akan kembali meningkat, pabrik-pabrik bisa beroperasi penuh, dan yang terpenting, jutaan lapangan kerja di sektor-sektor strategis ini bisa diselamatkan.
Kesimpulan
Jadi, ancaman PHK massal di sektor alas kaki, elektronik, kosmetik, dan pakaian jadi adalah isu serius yang dipicu oleh relaksasi impor produk jadi. Namun, pemerintah telah merespons dengan merevisi aturan impor untuk memperketat masuknya barang-barang dari luar negeri.
Ini adalah langkah penting untuk menjaga daya saing industri lokal dan melindungi lapangan kerja. Sebagai konsumen, kita juga punya peran. Dengan lebih memilih produk dalam negeri, kita ikut berkontribusi dalam menjaga denyut nadi perekonomian dan mencegah badai PHK meluas. Mari bersama-sama mendukung industri nasional!