Pernahkah Anda membayangkan, bagaimana rasanya menjadi miliarder dalam semalam? Mungkin Anda akan langsung memikirkan rumah mewah, mobil sport, atau liburan keliling dunia. Namun, seorang petani sederhana dari Trenggalek, Jawa Timur, punya pilihan yang sangat berbeda. Kisah inspiratifnya tentang bagaimana ia menang judi miliaran dan langsung bangun jembatan untuk desanya ini patut kita simak.
Ilustrasi untuk artikel tentang Kisah Nyata: **Petani Jawa Menang Judi Miliaran**, **Langsung Bangun Jembatan** untuk Warga!
Artikel ini akan membawa Anda menyelami cerita nyata Suradji, petani yang tak hanya beruntung, tetapi juga berhati mulia, di tengah kontroversi program undian pemerintah di era Orde Baru. Mari kita telusuri bagaimana satu lembar kupon bisa mengubah nasib banyak orang.
Keberuntungan Tak Terduga di Era Orde Baru
Pada November 1991, nasib Suradji, seorang petani dan penjual bambu dari Dusun Telasih, Desa Parakan, Trenggalek, Jawa Timur, berubah drastis 180 derajat. Ia memenangkan hadiah utama dari kupon undian Sumbangan Sosial Dermawan Berhadiah (SDSB). Jumlahnya bukan main-main, mencapai Rp 1 miliar.
Bayangkan saja, pada tahun 1991, uang Rp 1 miliar itu sangatlah besar. Sebagai gambaran, harga satu unit rumah di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta, kala itu hanya sekitar Rp 80 juta. Artinya, dengan uang sebanyak itu, Suradji bisa membeli 12 unit rumah di Pondok Indah! Lebih fantastis lagi, harga emas pada 1991 hanya Rp 20 ribu per gram. Dengan Rp 1 miliar, Suradji bisa memborong 50 Kg emas. Jika dikonversikan dengan harga emas saat ini (sekitar Rp 1 juta per gram), uang Rp 1 miliar yang didapat Suradji pada 1991 setara dengan Rp 50 miliar di masa sekarang.
Kemenangan ini tentu mengejutkan Suradji, mengingat peluang untuk memenangkan undian SDSB sangatlah kecil. SDSB sendiri merupakan kebijakan pemerintah sejak 1989 yang bertujuan menarik dana dari masyarakat melalui penjualan kupon undian, dengan iming-iming hadiah uang tunai yang sangat besar bagi pembeli kupon yang beruntung.
Dari Petani Biasa Menjadi Pahlawan Desa
Meskipun mendadak menjadi kaya raya, Suradji tak lantas larut dalam euforia pribadi. Hatinya justru tergerak untuk memikirkan kondisi warga di sekitar rumahnya. Pasalnya, akses transportasi di Dusun Telasih sangat memprihatinkan. Untuk menyeberangi sungai, warga harus bertaruh nyawa menggunakan jembatan bambu yang ringkih dan sewaktu-waktu bisa hanyut.
Melihat kesulitan itu, Suradji membuat keputusan besar: ia akan menggunakan sebagian uang kemenangannya untuk membangun jembatan beton yang kokoh. Harian Suara Pembaruan pada 9 November 1991 melaporkan bahwa Suradji secara sukarela membangun jembatan seharga Rp 117 juta. Yang luar biasa, nominal sebesar itu murni keluar dari kantong pribadinya, tanpa bantuan pemerintah atau swadaya masyarakat.
“Jembatan yang dibangun dengan biaya Rp 117 juta itu bukanlah proyek Inpres atau swadaya masyarakat. Namun, dibiayai sepenuhnya oleh seorang warga desa bernama Suradji. […] Buruh tani dan penjual bambu itu, menamakan jembatan sumbangannya sebagai jembatan SDSB,” tulis pewarta Suara Pembaruan.
Keputusan Suradji ini dengan cepat menjadi buah bibir. Bahkan di era sebelum media sosial, kisahnya menyebar luas dan diliput berbagai surat kabar nasional. Saat berita itu viral, jembatan beton yang dinamai “Jembatan SDSB” itu sudah berdiri tegak, menjadi saksi bisu kebaikan hati seorang petani yang memenangkan undian besar dan menggunakannya untuk kemaslahatan bersama.
SDSB: Antara Sumbangan dan Kontroversi Judi Legal
Kisah Suradji tak bisa dilepaskan dari konteks keberadaan SDSB itu sendiri. Di era Orde Baru, praktik semacam ini, yang oleh banyak pihak disebut sebagai judi legal, menjadi hal yang lazim. SDSB hanyalah salah satu dari serangkaian kebijakan undian sumbangan masyarakat yang pernah eksis di Indonesia sepanjang dekade 1980-an, seperti Lotere Dana Harapan (1978), Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (1979), hingga Kupon Berhadiah Porkas Sepakbola (1985).
Mekanismenya serupa: pemerintah melalui Kementerian Sosial mencetak kupon undian untuk dibeli masyarakat. Dana yang terkumpul kemudian digunakan sebagai modal pembangunan, dan pembeli kupon yang nomornya cocok akan mendapatkan hadiah uang tunai. Namun, dari jutaan peserta, hanya segelintir orang saja yang beruntung, seperti Suradji.
Praktik ini tak pelak menuai banyak kritik. Para pengkritik Orde Baru, termasuk aktivis Sri Bintang Pamungkas, tegas menyebut SDSB sebagai judi yang dilegalkan pemerintah. Ribuan mahasiswa di berbagai kota, termasuk Yogyakarta, turun ke jalan mendemo kebijakan ini. Mereka berargumen bahwa SDSB hanya menguntungkan pemerintah, sementara di akar rumput, masyarakat yang tergiur kaya mendadak justru banyak yang jatuh miskin, berutang, bahkan hingga bunuh diri karena terus-menerus membeli kupon namun tak pernah menang.
Pemerintah kala itu membantah tuduhan legalisasi judi. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Sudomo, berdalih bahwa SDSB adalah “mengadu untung” dengan membeli kupon bernomor, bukan judi karena “pakai kertas, tak pakai kartu”. Namun, bantahan tersebut tak mampu membendung pandangan masyarakat yang telanjur menganggapnya sebagai perjudian. Bahkan, SDSB sempat dipelesetkan menjadi “Soeharto Dalang Segala Bencana”. Akhirnya, kebijakan SDSB resmi dihentikan pada tahun 1993.
Penutup
Kisah Suradji, petani di Jawa yang menang judi miliaran dan langsung bangun jembatan untuk desanya, adalah sebuah anomali yang indah. Di tengah kontroversi kebijakan pemerintah yang dianggap melegalkan perjudian, ia memilih jalan yang berbeda. Kemenangannya tidak hanya mengubah hidupnya sendiri, tetapi juga membawa manfaat nyata bagi banyak orang.
Meskipun praktik perjudian kini masif diberantas, cerita Suradji tetap menjadi pengingat bahwa di balik segala risiko dan kontroversi, ada kisah-kisah kemanusiaan yang luar biasa. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya kepedulian sosial dan bagaimana kebaikan hati bisa muncul dari mana saja, bahkan dari hasil keberuntungan yang tak terduga sekalipun.