Perspektif Baru Bahlil: Mengapa Negara Maju Dulu ‘Hutannya Dibabat, Tambangnya Diambil’, Indonesia Kini Disorot?

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menyoroti praktik eksploitasi sumber daya alam (SDA) oleh negara-negara maju di masa lalu, dengan kalimat khas “negara-negara hutannya dibabat, tambangnya diambil,” telah memicu diskusi luas. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah refleksi atas narasi pembangunan global yang sering kali terasa bias, khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Artikel ini akan menyelami lebih dalam inti argumen Bahlil, menelaah relevansinya dalam konteks keberlanjutan dan kedaulatan, serta mengaitkannya dengan polemik pengelolaan tambang nikel di Raja Ampat yang sedang hangat diperbincangkan.

Perspektif Baru Bahlil: Mengapa Negara Maju Dulu 'Hutannya Dibabat, Tambangnya Diambil', Indonesia Kini Disorot?

Dalam lanskap geopolitik dan geoekonomi yang terus berubah, isu pengelolaan kekayaan alam menjadi sangat krusial. Indonesia, dengan kekayaan mineral dan hutan tropisnya yang melimpah, berada di persimpangan jalan antara aspirasi pembangunan ekonomi dan tuntutan konservasi lingkungan. Pernyataan Bahlil ini mengajak kita untuk mempertanyakan standar ganda yang mungkin diterapkan oleh dunia internasional terhadap negara-negara yang baru memulai upaya pemerataan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumber daya alam mereka. Mari kita bedah lebih lanjut kompleksitas di balik narasi “hutan dibabat, tambang diambil” ini.

Bahlil: Menggugat Standar Ganda Pembangunan Global

Dalam pidatonya di Jakarta Geopolitical Forum IX, Menteri Bahlil Lahadalia secara tegas menyatakan keheranannya atas banyaknya protes yang muncul ketika Indonesia berupaya mengeruk kekayaan alamnya untuk pembangunan nasional. Ia membandingkan situasi ini dengan sejarah negara-negara maju. Menurut Bahlil, pada era 1940-an, 1950-an, hingga 1960-an, banyak negara yang kini berstatus maju juga melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap alam mereka.

“Sebagian negara-negara lain pada saat mereka di era 40-an, 50-an, 60-an, mereka kan punya hutan banyak juga, mereka punya tambang juga banyak, semuanya mereka banyak, pada saat itu negara mereka belum maju seperti sekarang,” ungkap Bahlil.

Ia melanjutkan bahwa pada masa itu, negara-negara tersebut “mengambil alam mereka itu, hutannya dibabat, tambangnya diambil, dan mungkin lingkungannya pada saat itu, wallahu a’lam ya, mungkin tidak lebih baik dari apa yang kita lakukan sekarang.” Pertanyaan retoris yang diajukan Bahlil kemudian menjadi inti gugatannya: “Siapa yang memprotes mereka di saat itu?”

Pernyataan ini mencerminkan sebuah frustrasi yang dirasakan oleh banyak negara berkembang. Ketika negara-negara ini, yang kaya akan sumber daya alam, berupaya memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mencapai nilai tambah dan menyejahterakan rakyatnya, mereka justru kerap menghadapi kritik dan tekanan dari komunitas internasional, terutama dari negara-negara yang notabene telah menikmati kemakmuran berkat eksploitasi serupa di masa lampau. Bahlil menyoroti adanya ketidakadilan historis dan standar ganda dalam perlakuan terhadap negara-negara yang sedang berjuang untuk maju.

Kedaulatan Negara dan Hak untuk Berkembang

Lebih jauh, Bahlil menekankan pentingnya kedaulatan setiap negara dalam mengelola sumber daya alamnya tanpa campur tangan atau gangguan dari pihak asing. Baginya, setiap bangsa memiliki hak yang sama untuk menentukan jalur pembangunannya sendiri. Konsep “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah di mata dunia” menjadi landasan filosofis yang ia suarakan, menyerukan kesepahaman global bahwa tidak ada satu negara pun yang berhak merasa lebih superior atau lebih berhak daripada yang lain dalam urusan pengelolaan alam.

Argumen kedaulatan ini sangat relevan dalam konteks geopolitik saat ini, di mana isu lingkungan dan hak asasi manusia seringkali digunakan sebagai alat diplomasi. Bagi Indonesia, kedaulatan atas sumber daya alamnya adalah fondasi penting untuk mencapai kemandirian ekonomi dan keadilan sosial. Ini bukan berarti mengabaikan isu lingkungan, tetapi lebih kepada penentuan arah kebijakan yang seimbang antara pembangunan dan pelestarian, yang sepenuhnya berada di tangan bangsa sendiri, bukan didikte oleh kepentingan eksternal.

Pemerintah Indonesia, melalui berbagai kebijakannya, terus berupaya mencapai keseimbangan ini. Salah satunya adalah dengan mengembangkan industri hilirisasi, seperti nikel, yang diharapkan dapat memberikan nilai tambah ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan hanya mengekspor bahan mentah. Namun, upaya ini pun tidak luput dari sorotan dan kritik, yang seringkali memicu perdebatan sengit antara urgensi pembangunan ekonomi dan dampak lingkungan yang mungkin timbul.

Raja Ampat: Episentrum Perdebatan Eksploitasi SDA

Narasi Bahlil tentang “hutan dibabat, tambang diambil” menemukan resonansi kuat dalam polemik terbaru mengenai aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Wilayah yang dikenal sebagai surga bawah laut dan destinasi pariwisata kelas dunia ini, belakangan menjadi sorotan tajam akibat isu pertambangan.

Klaim Pemerintah dan Bantahan Bahlil

Menteri Bahlil Lahadalia telah berulang kali mengklaim bahwa aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag, berjarak cukup jauh dari kawasan pariwisata utama seperti Pulau Piaynemo. Ia menyebut jaraknya sekitar 30-40 kilometer. Menurutnya, Raja Ampat memang memiliki kawasan konservasi dan pariwisata yang harus dilindungi, namun juga terdapat pulau-pulau yang secara khusus dialokasikan untuk pertambangan.

“Piaynemo itu pulau pariwisatanya Raja Ampat… Pulau Piaynemo dengan Pulau Gag itu kurang lebih sekitar 30 kilometer sampai dengan 40 kilometer, dan di wilayah Raja Ampat itu betul wilayah pariwisata yang kita harus lindungi,” jelas Bahlil.

Ia juga menyebutkan bahwa dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, hanya satu yang saat ini beroperasi, yaitu PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk (BUMN). PT Gag Nikel sendiri telah berproduksi sejak 2017/2018 dan beroperasi berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pada 1997-1998, kemudian diambil alih oleh negara dan diserahkan kepada Antam.

Sebagai respons terhadap kegaduhan publik, Bahlil bahkan berencana untuk turun gunung langsung ke lapangan untuk memverifikasi kondisi di Pulau Gag. Ia menegaskan, operasi PT Gag Nikel akan dihentikan sementara hingga verifikasi lapangan selesai, demi mendapatkan hasil yang objektif dan menghilangkan kesimpangsiuran informasi.

Suara Kritik dan Kekhawatiran Lingkungan

Namun, klaim Bahlil ini mendapat bantahan keras dari berbagai pihak, terutama organisasi lingkungan seperti Greenpeace Indonesia dan pengamat kebijakan publik. Greenpeace menyoroti bahwa:

  • Deforestasi Luas: Analisis Greenpeace menemukan eksploitasi nikel di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran telah membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas. Di Pulau Gag saja, deforestasi mencapai 300 hektar.
  • Dampak Lingkungan Nyata: Dokumentasi menunjukkan terjadinya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir, berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem perairan Raja Ampat yang dikenal sebagai pusat biodiversitas terumbu karang dunia. Para penyelam (scuba diving) dilaporkan telah melihat langsung kerusakan terumbu karang di sekitar Pulau Gag.
  • Pelanggaran Aturan Pulau Kecil: Aktivis juga menegaskan bahwa, terlepas dari jarak, aturan resmi melarang pertambangan di pulau-pulau kecil. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 memperkuat larangan ini.
  • Lebih dari Satu Perusahaan Beroperasi: Bertolak belakang dengan klaim Bahlil, data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan ada empat perusahaan pemilik tambang nikel di Raja Ampat yang mengantongi IUP. Selain PT Gag Nikel, ada juga PT Anugerah Surya Pratama (milik Wanxiang Group dari China), PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Bahkan, PT Kawei Sejahtera Mining disebut terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe, menyebabkan sedimentasi dan dikenai sanksi administratif. Greenpeace bahkan menyebut ada lima izin tambang aktif di Raja Ampat yang diterbitkan Kementerian ESDM.

Jejak Sejarah Perizinan PT Gag Nikel

Kontroversi PT Gag Nikel juga memiliki sejarah panjang terkait perizinan di kawasan lindung:

  • 1998 (Era Soeharto): Kontrak Karya PT Gag Nikel ditandatangani.
  • 1999 (Era Gus Dur): Pulau Gag ditetapkan sebagai hutan lindung, menghentikan operasi tambang.
  • 2004 (Era Megawati): Kepres No. 41/2004 dikeluarkan, memberikan dispensasi penambangan di hutan lindung, termasuk untuk PT Gag Nikel.
  • 2004-2014 (Era SBY): Tidak ada peninjauan ulang atau pembatalan dispensasi, aktivitas penambangan di hutan lindung berlanjut.
  • 2017 (Era Jokowi): Izin operasional PT Gag Nikel diterbitkan kembali, dan produksi dimulai pada 2018. PT Kawei Sejahtera Mining juga mulai beroperasi pada Agustus 2023.

Jejak kebijakan ini menunjukkan tarik ulur panjang antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Indonesia.

Isu “Mafia Tambang” dan Insiden Prabowo-Bahlil

Lebih jauh, polemik ini semakin memanas dengan dugaan “mafia tambang nikel” yang diungkapkan oleh mantan Sekretaris BUMN, Said Didu. Said Didu mengaitkan pencabutan empat IUP di Raja Ampat oleh Presiden Prabowo Subianto (PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining) dengan dugaan “kenakalan” Bahlil. Said Didu mencurigai adanya rekayasa dari Bahlil untuk menutupi masalah empat perusahaan ini, khususnya karena salah satunya (PT Kawei Sejahtera Mining) disebut milik “sembilan naga” (Aguan/Sugianto Kusuma).

Insiden di bandara, di mana Presiden Prabowo terlihat tidak menjabat tangan Bahlil dan hanya menunjuknya, diinterpretasikan oleh Said Didu sebagai sinyal bahwa Prabowo telah “membaca” dan mengetahui “kenakalan” Bahlil terkait isu tambang ini. Said Didu juga menyoroti mengapa pengumuman pencabutan izin dilakukan oleh Setkab dan Setneg, bukan oleh Bahlil sebagai Menteri ESDM. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakberesan atau ketidakpercayaan tertentu dalam penanganan isu tambang.

Menjaga Wibawa Negara dan Tata Kelola Pertambangan

Dalam menghadapi kompleksitas ini, Bahlil menegaskan komitmen pemerintah untuk menertibkan pengelolaan alam. Pembentukan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) di Kementerian ESDM adalah langkah konkret untuk memberantas tambang ilegal dan menyelesaikan konflik tumpang tindih izin. Bahlil meminta Dirjen Gakkum yang baru dilantik, Rilke Jeffri Huwae, dan Direktur Penindakan Pidana, Ma’mun, untuk tidak pandang bulu dalam menumpas pelanggaran.

“Wibawa negara harus dijaga. Jangan sampai alam kita menjadi bancakan oknum-oknum yang bermain tanpa izin, seperti penambangan ilegal, pengeboran ilegal, dan illegal tipping,” tegas Bahlil.

Fokus utama Ditjen Gakkum adalah menertibkan Praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) dan memperbaiki tata kelola perizinan tambang. Penanganan konflik izin tambang juga menjadi Key Performance Indicator (KPI) bagi pejabat baru tersebut. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan bertanggung jawab di sektor pertambangan, sekaligus memastikan bahwa pemanfaatan SDA benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, bukan segelintir oknum.

Antara Pembangunan, Lingkungan, dan Keadilan Global

Pernyataan Bahlil Lahadalia yang mengacu pada “negara-negara hutannya dibabat, tambangnya diambil” adalah sebuah undangan untuk merefleksikan narasi pembangunan global. Ini bukan sekadar pembelaan atas tindakan Indonesia, melainkan sebuah seruan untuk kesetaraan dan pemahaman konteks historis. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alamnya demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara maju di masa lalu.

Namun, di sisi lain, kritik dan sorotan terhadap praktik pertambangan, terutama di wilayah sensitif seperti Raja Ampat, tidak bisa diabaikan. Isu lingkungan global dan tuntutan keberlanjutan telah jauh berkembang dibandingkan era 1940-an atau 1960-an. Kesadaran akan dampak perubahan iklim dan kerusakan ekosistem kini menjadi perhatian bersama. Oleh karena itu, tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan antara:

  • Aspirasi Pembangunan Ekonomi: Mencapai nilai tambah melalui hilirisasi dan pemanfaatan SDA.
  • Komitmen Lingkungan: Melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem vital, terutama di kawasan yang rentan.
  • Tata Kelola yang Baik: Memastikan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran.

Pemerintah perlu menunjukkan bahwa kedaulatan dalam mengelola alam tidak berarti mengabaikan tanggung jawab lingkungan atau toleransi terhadap praktik ilegal. Justru, kedaulatan harus diwujudkan melalui tata kelola yang kuat, yang mampu menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara bertanggung jawab, berkelanjutan, dan demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Kesimpulan: Mencari Keseimbangan di Tengah Dinamika Global

Pernyataan Menteri Bahlil Lahadalia mengenai sejarah eksploitasi alam oleh negara-negara maju dan pertanyaan kritisnya terhadap protes yang kini diterima Indonesia, membuka ruang diskusi penting tentang keadilan global dan kedaulatan pembangunan. Ini adalah cerminan dari aspirasi Indonesia untuk maju, memanfaatkan kekayaan alamnya, namun sekaligus menghadapi tantangan dan sorotan terkait dampak lingkungan.

Kasus Raja Ampat menjadi contoh nyata bagaimana kompleksitas ini terwujud di lapangan, di mana kepentingan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan isu tata kelola tumpang tindih. Adanya dugaan pelanggaran dan isu “mafia tambang” menuntut respons pemerintah yang tegas dan transparan. Pembentukan Ditjen Gakkum di ESDM adalah langkah positif menuju perbaikan tata kelola dan penegakan hukum.

Pada akhirnya, tantangan terbesar bagi Indonesia adalah menemukan keseimbangan yang harmonis antara akselerasi pembangunan ekonomi, komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan, dan penegakan hukum yang adil. Narasi “negara-negara hutannya dibabat, tambangnya diambil” mungkin relevan secara historis, tetapi masa depan menuntut pendekatan yang lebih holistik dan bertanggung jawab. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat benar-benar berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah di mata dunia, tidak hanya dalam hak untuk berkembang, tetapi juga dalam tanggung jawab menjaga bumi.

Bagaimana menurut Anda, apakah Indonesia sudah berada di jalur yang tepat dalam menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian alam? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!

FAQ

Berikut adalah 3 pertanyaan beserta jawaban singkatnya dalam format Markdown untuk FAQ artikel tersebut:

  • Mengapa negara maju dulu melakukan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran?
    Jawaban: Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat dan industrialisasi.

  • Apa yang menjadi sorotan terhadap Indonesia saat ini terkait sumber daya alamnya?
    Jawaban: Indonesia disorot karena potensi eksploitasi sumber daya alamnya yang besar, terutama nikel, di tengah isu keberlanjutan lingkungan.

  • Apa perbedaan utama pendekatan negara maju dan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam?
    Jawaban: Negara maju cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa terlalu mempedulikan dampak lingkungan di awal, sedangkan Indonesia kini dihadapkan pada tuntutan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan.