Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda merasa Bumi kita ini seperti sedang “sakit”? Cuaca yang makin ekstrem, bencana alam yang makin sering, hingga berita tentang kepunahan spesies. Sepertinya, kekhawatiran ini bukan hanya perasaan belaka. Para ilmuwan peringatkan keruntuhan biosfer kiamat makin dekat, sebuah kondisi yang bisa mengancam keberlangsungan hidup di planet kita. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang peringatan serius ini, apa artinya bagi kita, dan mengapa kita perlu bertindak sekarang juga.
Ilmuwan peringatkan keruntuhan biosfer akibat cuaca ekstrem dan hilangnya habitat, sinyal kiamat Bumi kian nyata.
Bumi adalah satu-satunya rumah yang kita miliki. Memahami ancaman yang diungkapkan para ilmuwan ini sangat penting agar kita bisa bersama-sama menjaga masa depan planet ini untuk kita dan generasi mendatang.
Apa Itu Integritas Biosfer dan Mengapa Penting?
Baru-baru ini, sebuah studi dari Potsdam Institute for Climate Impact Research di Jerman dan BOKU University di Wina mengungkap fakta yang cukup mengkhawatirkan. Penelitian ini berfokus pada konsep ’integritas biosfer fungsional’, yang bisa kita pahami sebagai kemampuan planet kita untuk menjaga seluruh sistem kehidupannya tetap berjalan. Bayangkan saja, ini mirip sistem kekebalan tubuh Bumi, yang memastikan siklus vital seperti karbon, air, dan nitrogen bisa berfungsi dengan baik.
Namun, hasilnya tidak menggembirakan. Studi tersebut menunjukkan bahwa:
- 60% daratan dunia saat ini berisiko, dengan sebagian besar menghadapi zona berisiko tinggi.
- Khususnya, 38% daratan dunia kini dianggap berisiko tinggi, dengan wilayah-wilayah di Eropa, Asia, dan Amerika Utara sangat rentan.
Para peneliti menemukan bahwa sebagian besar daratan Bumi kini telah melewati ambang batas kritis, tidak lagi berada dalam zona aman yang diperlukan untuk menjaga stabilitas planet.
Fabian Stenzel, salah satu penulis utama studi, menjelaskan urgensinya:
“Ada kebutuhan yang sangat besar bagi peradaban untuk memanfaatkan biosfer untuk pangan, bahan baku, dan, di masa depan, juga untuk perlindungan iklim. Oleh karena itu, semakin penting untuk mengukur beban yang telah kita berikan pada biosfer untuk mengidentifikasi kelebihan beban.”
Temuan ini jelas menunjukkan bahwa aktivitas manusia, terutama di sektor pertanian dan industri, telah membebani Bumi hingga mengganggu siklus alami biosfer. Wolfgang Lucht, koordinator studi tersebut, menambahkan bahwa “aliran energi vital dari tumbuhan ini, yang menopang kehidupan di Bumi, semakin teralihkan oleh aktivitas manusia.”
Ancaman Nyata: Bukan Hanya Perubahan Iklim Biasa
Tak hanya satu studi, puluhan ribu ilmuwan dari berbagai belahan dunia juga menyuarakan hal serupa. Sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal BioScience dan ditandatangani oleh lebih dari 15.000 ilmuwan di 161 negara memperingatkan bahwa iklim di Bumi berubah dengan cepat dan dapat mengakibatkan bencana global yang sangat besar pada akhir abad ini. Mereka secara terang-terangan menyebut bahwa kehidupan di Bumi sedang terancam dan bergerak makin cepat menuju ’kiamat’.
Christopher Wolf, salah satu penulis utama studi tersebut, mengungkapkan kekhawatiran mendalam:
“Kita sedang menuju potensi runtuhnya sistem alam dan sosial-ekonomi dan dunia dengan panas yang tak tertahankan dan kekurangan alam, makanan dan air bersih.”
Pada tahun 2023 saja, banyak rekor iklim dipecahkan dengan margin yang sangat besar, seperti musim kebakaran hutan Kanada yang sangat parah. Ironisnya, di tengah semua peringatan ini, kita hanya menemukan sedikit kemajuan dalam upaya memerangi perubahan iklim.
Salah satu akar masalahnya adalah industri bahan bakar fosil dan pemerintah yang terus mensubsidi mereka. Fakta mengejutkan, antara tahun 2021 dan 2022, subsidi bahan bakar fosil meningkat dua kali lipat, mencapai lebih dari US$1 triliun di AS saja. Ini berarti, kita secara tidak langsung mendukung penyebab utama kerusakan lingkungan.
Dampak dari semua ini bukan hanya ekologis, tetapi juga ekonomi. Sebuah penelitian lain menunjukkan dampak inflasi pangan akibat pemanasan global:
Dampak Prediksi Perubahan Iklim (2035) | Kenaikan Rata-rata Tahunan |
---|---|
Inflasi Pangan Global | 3,23% |
Inflasi Umum Global | 1,18% |
Bahkan, ada peringatan bahwa dunia bisa kehabisan makanan dalam beberapa dekade mendatang, terutama jika populasi terus bertambah dan permintaan pangan meningkat drastis.
‘Kiamat Serangga’: Ancaman yang Sering Terlupakan
Di balik isu perubahan iklim yang sering kita dengar, ada ancaman lain yang tak kalah serius: ’kiamat serangga’. Mungkin terdengar sepele, tetapi penurunan drastis jumlah serangga di seluruh dunia adalah sinyal bahaya bagi biosfer kita. Sejak Rachel Carson menulis “Silent Spring” yang memperingatkan bahaya pestisida, perjuangan untuk melindungi serangga terus berlanjut.
Angka-angka menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan:
- 80% spesies kupu-kupu di Inggris telah menurun kelimpahan atau ketersebarannya sejak 1970-an.
- Sebuah studi pada 2017 menunjukkan penurunan 76% biomassa serangga di kawasan lindung Jerman hanya dalam 27 tahun.
- Bahkan di hutan hujan Puerto Rico, populasi serangga anjlok hingga 98% sejak 1970-an.
Mengapa ini penting? Serangga adalah penyerbuk utama bagi 80% tumbuhan, pendaur ulang nutrisi, pencipta tanah subur, pemurni air, dan sumber makanan bagi banyak hewan lain. Jika serangga punah, biosfer akan runtuh, dan manusia tidak akan bisa bertahan lama. Para ilmuwan menyebut fenomena ini sebagai defaunasi, yakni kombinasi antara kepunahan langsung dan penurunan populasi secara radikal. Tanpa serangga, sebagian besar ikan, amfibi, burung, dan mamalia juga akan punah, dan Bumi akan kembali ke kondisi primitif yang didominasi bakteri dan alga.
Jam Kiamat dan Masa Depan yang Lebih Jauh
Simbol lain yang sering muncul dalam diskusi tentang kiamat adalah Jam Kiamat (Doomsday Clock). Ini adalah ukuran simbolis kedekatan manusia dengan kehancuran Bumi, yang diciptakan oleh Bulletin of Atomic Scientist pada 1947. Pada awal 2025, Jam Kiamat menunjukkan 89 detik menuju tengah malam, yang berarti kita semakin dekat dengan bencana global akibat senjata nuklir, perubahan iklim, dan potensi penyalahgunaan teknologi.
Meskipun Jam Kiamat adalah perkiraan simbolis, dan dalam perspektif agama, waktu kiamat yang sesungguhnya hanya diketahui oleh Tuhan, peringatan ini tetap menjadi pengingat kuat akan urgensi situasi.
Ada pula penelitian dari NASA dan Universitas Tōhō yang memprediksi kiamat Bumi yang lebih lambat, yaitu sekitar satu miliar tahun lagi. Skenario ini terjadi karena Matahari akan makin panas, menyebabkan karbon dioksida di atmosfer terurai, tumbuhan mati, oksigen habis, dan lapisan ozon hilang. Meski sangat jauh di masa depan, penelitian ini menambah perspektif tentang betapa rentannya kehidupan di Bumi terhadap perubahan kosmik.
Waktunya Bertindak, Bukan Hanya Berbicara
Peringatan para ilmuwan tentang keruntuhan biosfer dan kiamat yang makin dekat bukanlah isapan jempol atau cerita fiksi. Ini adalah data nyata, hasil penelitian mendalam yang harus kita tanggapi serius. Dari integritas biosfer yang terancam, perubahan iklim yang parah, hingga kiamat serangga yang mengintai, semua menunjukkan bahwa Bumi sedang dalam bahaya.
Johan Rockström, direktur di Potsdam Institute for Climate Impact Research, mendesak pemerintah-pemerintah dunia untuk mengadopsi pendekatan terpadu. Ia menegaskan:
“Pemerintah harus memperlakukannya sebagai satu isu menyeluruh: perlindungan biosfer yang komprehensif bersama dengan aksi iklim yang kuat.”
Ini adalah panggilan untuk kita semua agar bertindak. Mengurangi konsumsi berlebihan, mendukung energi terbarukan, menjaga keanekaragaman hayati, dan menuntut kebijakan yang lebih baik dari para pemimpin adalah langkah-langkah konkret yang bisa kita lakukan. Masa depan Bumi ada di tangan kita, dan setiap tindakan kecil akan berarti besar.