Perang Gaza Menuju Akhir? Mengungkap Peran Donald Trump dalam Upaya Damai Israel-Hamas

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Konflik di Jalur Gaza, sebuah jalur sempit yang padat penduduknya di sepanjang Laut Mediterania, telah menjadi titik fokus ketegangan geopolitik dan krisis kemanusiaan yang mendalam selama berpuluh-puluh tahun. Sejak 7 Oktober 2023, intensitas konflik antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina, Hamas, meningkat drastis, menyebabkan penderitaan tak terhingga dan menewaskan lebih dari 50 ribu masyarakat sipil di Gaza per Juni 2025. Di tengah kekacauan yang tak berkesudahan ini, sebuah narasi baru mulai mengemuka: apakah perang Gaza otw berakhir, Trump mulai damaikan Israel-Hamas?

Perang Gaza Menuju Akhir? Mengungkap Peran Donald Trump dalam Upaya Damai Israel-Hamas

Optimisme mengenai potensi berakhirnya konflik di Gaza semakin menguat menyusul pernyataan dari berbagai pihak. Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, mengumumkan bahwa pembicaraan gencatan senjata telah menunjukkan intensitas yang signifikan dalam beberapa jam terakhir. Senada dengan itu, mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengklaim kemajuan besar sedang dibuat untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza. Klaim Trump ini, yang bahkan menyebut bahwa serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran mungkin berkontribusi positif terhadap dinamika di Timur Tengah, semakin memicu spekulasi tentang terwujudnya perdamaian. Artikel ini akan menyelami lebih dalam dinamika terkini, peran kunci Donald Trump, serta tantangan dan harapan yang menyertai upaya kompleks untuk mencapai gencatan senjata dan perdamaian abadi di Gaza.

Kilas Balik Konflik Gaza: Akar Permasalahan yang Pelik

Untuk memahami signifikansi perkembangan terkini, penting untuk meninjau kembali akar konflik di Gaza. Wilayah ini, yang secara historis merupakan bagian dari Palestina, telah berada di bawah blokade darat, laut, dan udara yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir sejak tahun 2007. Blokade ini diterapkan menyusul pengambilalihan kekuasaan oleh Hamas, sebuah kelompok Islam yang oleh Israel, AS, dan Uni Eropa dikategorikan sebagai organisasi teroris.

Blokade yang berlangsung selama lebih dari satu dekade ini telah menciptakan kondisi hidup yang sangat sulit bagi lebih dari dua juta penduduk Gaza, membatasi akses terhadap barang-barang pokok, obat-obatan, dan bahan bakar. Situasi ini diperparah oleh serangkaian konflik bersenjata yang berulang kali pecah antara Israel dan Hamas. Eskalasi terbaru, yang dimulai dengan serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, telah memicu respons militer Israel yang masif dan berkepanjangan, menyebabkan kehancuran infrastruktur yang luas dan krisis kemanusiaan parah. Data Kementerian Kesehatan Gaza per Juni 2025 mencatat sedikitnya 56.077 korban jiwa, sebagian besar adalah warga sipil, di tengah klaim Israel yang bertujuan memulangkan sandera dan membubarkan rezim Hamas.

Kondisi di Gaza telah mencapai titik kritis, dengan banyak warga berada di ambang kelaparan setelah Israel memblokade semua pasokan sejak awal Maret 2025, meskipun ada sedikit pelonggaran pada akhir Mei. Organisasi kemanusiaan dan PBB terus menyuarakan kekhawatiran mendalam, memperingatkan tentang potensi kematian massal akibat kekurangan gizi dan kurangnya akses terhadap perawatan medis. Situasi ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga tantangan kompleks bagi diplomasi internasional.

Sinyal Harapan: Pembicaraan Gencatan Senjata dan Klaim “Kemajuan Besar”

Di tengah penderitaan yang tak kunjung usai, harapan akan gencatan senjata kembali merekah. Kelompok Hamas secara eksplisit menyatakan bahwa pembahasan gencatan senjata dengan para mediator semakin intensif dalam beberapa jam terakhir. Taher Al-Nunu, seorang pejabat senior Hamas, menegaskan bahwa komunikasi dengan mediator seperti Mesir dan Qatar tidak pernah berhenti dan kini meningkat intensitasnya. Meskipun demikian, Al-Nunu juga menambahkan bahwa Hamas “belum menerima proposal baru” untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung selama 21 bulan ini. Pernyataan ini menunjukkan bahwa proses negosiasi masih berada dalam tahap yang sangat dinamis dan sensitif.

Secara terpisah, Donald Trump, yang kembali menyorot perhatian publik internasional, menyatakan keyakinannya bahwa “kemajuan besar” sedang dibuat untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza. Klaim ini disampaikan menjelang KTT NATO di Belanda dan didasarkan pada informasi dari utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff. Witkoff, yang telah berbicara langsung dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan penasihat utamanya Ron Dermer, serta dengan pimpinan Hamas melalui jalur rahasia yang difasilitasi oleh pengusaha Palestina-Amerika Bishara Bahbah, disebut Trump mengindikasikan bahwa kesepakatan gencatan senjata di Gaza sangat dekat. Optimisme Trump ini juga sejalan dengan niat Qatar, salah satu mediator kunci, untuk menekan Hamas agar mempercepat kesepakatan gencatan senjata. Ini menandakan adanya konsensus dari berbagai aktor kunci untuk mendorong penyelesaian konflik.

Dampak Dinamika Regional: Efek Domino Konflik Iran-Israel

Klaim Trump mengenai kemajuan di Gaza tidak bisa dilepaskan dari konteks ketegangan regional yang lebih luas, khususnya konflik antara Israel dan Iran. Iran dikenal sebagai penyokong utama Hamas, dan ketegangan antara Tel Aviv dan Teheran sering kali memiliki dampak langsung pada dinamika di Gaza.

Beberapa waktu sebelumnya, tepatnya sejak 13 Juni 2025, Israel dan Iran terlibat dalam perang udara yang sangat sengit. Konflik ini, yang berlangsung selama 12 hari, akhirnya berakhir dengan gencatan senjata yang berlaku sejak Selasa, 24 Juni 2025. Yang menarik, Trump mengaitkan kemajuan di Gaza dengan serangan yang dilakukan AS terhadap fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6) dini hari. Menurutnya, serangan ini dapat memiliki dampak positif di kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Meskipun klaim ini kontroversial, ia menyoroti bagaimana berbagai konflik di Timur Tengah saling terkait dan dapat memengaruhi satu sama lain.

Setelah gencatan senjata dengan Iran disepakati, militer Israel mengalihkan kembali fokusnya ke Jalur Gaza. Kepala Staf Militer Israel Eyal Zamir menegaskan tekad untuk memulangkan semua sandera yang tersisa dan membubarkan rezim Hamas. Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun ada harapan gencatan senjata di Gaza, tujuan strategis Israel dalam konflik ini tetap tidak berubah, yaitu memastikan keamanan dan membebaskan sandera. Dinamika ini menambah lapisan kompleksitas pada perundingan damai, karena tuntutan masing-masing pihak harus dipertemukan dalam situasi yang sangat rapuh.

Donald Trump: Dari Janji Perdamaian ke Tekanan Diplomatik

Peran Donald Trump dalam upaya perdamaian Timur Tengah selalu menjadi sorotan. Selama masa kepresidenannya, Trump dikenal dengan inisiatif “Perjanjian Abraham” yang berhasil menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab. Ia bahkan pernah dengan bangga menyatakan akan membawa AS sebagai pihak pembawa perdamaian dan pemersatu, berjanji untuk mengakhiri kekacauan di Timur Tengah dan mencegah perang dunia ketiga.

Namun, keterlibatan AS dalam serangan terhadap Iran pada 22 Juni 2025, yang diklaim sebagai fasilitas nuklir, menandai perubahan besar dari janji Trump sebelumnya untuk menjauhkan AS dari perang. Meskipun demikian, Trump juga menunjukkan frustrasi yang meningkat terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas genosida yang sedang berlangsung di Gaza. Ia mendesak Netanyahu untuk “menyelesaikannya” dan menginginkan gencatan senjata serta pengiriman bantuan yang cepat ke Gaza.

Tekanan Trump terhadap Israel juga terlihat dalam isu bantuan kemanusiaan. Ia sangat kesal melihat penderitaan anak-anak Palestina di Gaza yang berada di ambang kelaparan dan mendesak Israel untuk membuka kembali gerbang bantuan. Meskipun kabinet Israel kemudian menyetujui dimulainya kembali pengiriman bantuan, pejabat Gedung Putih menekankan bahwa lebih banyak yang perlu dilakukan. Pernyataan keras Trump ini, termasuk ancaman untuk membatalkan gencatan senjata jika sandera tidak dibebaskan, menunjukkan pendekatan diplomatiknya yang tidak konvensional namun seringkali efektif dalam menciptakan tekanan.

Pertemuan antara Trump dan Netanyahu pada Februari 2025 juga membahas isu-isu krusial di Timur Tengah, termasuk gencatan senjata tahap kedua di Gaza, normalisasi hubungan Israel-Arab Saudi, dan kekhawatiran program nuklir Iran. Meskipun Trump menyatakan tidak ada jaminan bahwa gencatan senjata akan bertahan, ia tetap mendapatkan pujian karena menekan Hamas dan Israel untuk mencapai perjanjian. Pendekatan Trump yang pragmatis dan terkadang blak-blakan ini membentuk dinamika baru dalam upaya mediasi konflik.

Tantangan di Medan Perundingan dan Krisis Kemanusiaan

Meskipun ada sinyal harapan dan klaim kemajuan, jalan menuju perdamaian di Gaza masih terjal. Perundingan gencatan senjata sebelumnya diwarnai kebuntuan karena Hamas dan Israel bersikeras pada tuntutan masing-masing. Hamas menuntut kesepakatan yang menghormati perjanjian gencatan senjata dan pembebasan sandera sebagai satu paket, sementara Israel bertekad membebaskan semua sandera dan membubarkan Hamas sepenuhnya.

Krisis kemanusiaan di Gaza tetap menjadi tantangan terbesar. Laporan PBB dan berbagai lembaga independen, termasuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang merilis surat perintah penangkapan untuk PM Netanyahu atas dugaan kejahatan perang, menunjukkan skala penderitaan yang luar biasa. Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICC). Lebih dari 14.000 bayi di Gaza diperingatkan bisa meninggal jika tidak menerima nutrisi dan perawatan mendesak. Blokade Israel telah menyebabkan hampir 330 kematian karena kelaparan dan lebih dari 300 keguguran. Gaza membutuhkan setidaknya 44.000 truk bantuan setiap hari, namun aliran bantuan masih sangat terbatas dan terhambat oleh kompleksitas logistik serta keamanan.

Selain itu, usulan Trump untuk merelokasi warga Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania telah ditolak keras oleh negara-negara Arab dan bertentangan dengan komitmen Biden yang menentang pemindahan massal warga Palestina. Penolakan ini menunjukkan bahwa solusi jangka panjang harus mempertimbangkan martabat dan hak asasi penduduk Gaza, bukan hanya penyelesaian konflik militer. Kompleksitas ini menuntut solusi kreatif yang melibatkan banyak pihak dan mengatasi tidak hanya aspek militer tetapi juga kemanusiaan dan politik.

Kesimpulan: Sebuah Harapan di Tengah Ketidakpastian

Pertanyaan apakah perang Gaza otw berakhir, Trump mulai damaikan Israel-Hamas adalah sebuah pertanyaan kompleks yang tidak memiliki jawaban sederhana. Sinyal positif dari Hamas dan klaim optimis dari Donald Trump memang membawa secercah harapan di tengah kegelapan konflik yang berkepanjangan. Keterlibatan Trump, dengan gaya diplomasi yang unik dan terkadang kontroversial, tampaknya telah menciptakan dinamika baru, apalagi setelah meredanya ketegangan antara Israel dan Iran.

Namun, realitas di lapangan masih penuh dengan tantangan. Krisis kemanusiaan yang parah, tuntutan yang belum terpenuhi dari kedua belah pihak, serta sejarah panjang kebuntuan perundingan, menggarisbawahi betapa rapuhnya setiap kemajuan. Upaya perdamaian tidak hanya memerlukan kesepakatan gencatan senjata, tetapi juga solusi komprehensif untuk krisis kemanusiaan, jaminan keamanan bagi semua pihak, dan visi jangka panjang untuk masa depan Gaza dan Palestina.

Pada akhirnya, keberhasilan upaya damai ini akan sangat bergantung pada kemauan politik dari semua pihak yang terlibat, kemampuan mediator untuk menjembatani perbedaan yang dalam, dan perhatian berkelanjutan dari komunitas internasional. Peran Donald Trump mungkin menjadi katalisator penting, tetapi jalan menuju perdamaian sejati di Gaza adalah maraton, bukan sprint, yang membutuhkan komitmen dan ketekunan yang luar biasa dari semua aktor di panggung global. Mari kita terus mengikuti perkembangan ini dengan harapan bahwa penderitaan di Gaza akan segera berakhir dan digantikan oleh era perdamaian yang berkelanjutan.