Penundaan Kompensasi Skandal Darah Terkontaminasi: Korban di Inggris Alami Penderitaan Lebih Lanjut

Dipublikasikan 9 Juli 2025 oleh admin
Sosial Politik

Yogyakarta, zekriansyah.com – Ribuan korban dan keluarga yang terdampak skandal darah terkontaminasi di Inggris kini merasa semakin terluka. Bukan hanya karena penyakit mematikan yang mereka derita akibat transfusi darah yang tercemar puluhan tahun lalu, tetapi juga karena penundaan dan ketidakadilan dalam skema kompensasi yang dijanjikan pemerintah. Sebuah laporan terbaru dari Ketua Penyelidikan Darah Terkontaminasi, Sir Brian Langstaff, mengungkapkan betapa lambatnya proses ini telah menambah beban psikologis mereka.

Penundaan Kompensasi Skandal Darah Terkontaminasi: Korban di Inggris Alami Penderitaan Lebih Lanjut

Ilustrasi: Wajah-wajah penuh harap yang kini diliputi kekecewaan, menanti keadilan yang tak kunjung tiba bagi para korban skandal darah terkontaminasi.

Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai temuan laporan tersebut, mengapa skema kompensasi ini tersendat, serta bagaimana hal ini berdampak langsung pada kehidupan para korban. Dengan membaca artikel ini, Anda akan memahami kompleksitas dan urgensi masalah kemanusiaan yang masih belum terselesaikan ini.

Skandal Darah Terkontaminasi: Kisah Pilu yang Belum Usai

Skandal darah terkontaminasi dianggap sebagai bencana medis terburuk dalam sejarah NHS (Layanan Kesehatan Nasional) Inggris. Antara tahun 1970-an hingga awal 1990-an, sekitar 30.000 orang di Inggris terinfeksi HIV dan Hepatitis B atau C melalui transfusi darah atau produk darah yang tercemar. Banyak dari produk darah ini diimpor dari luar negeri, bahkan ada yang berasal dari donor berisiko tinggi.

Akibat skandal ini, lebih dari 3.000 orang telah meninggal dunia, dan ribuan lainnya hidup dengan dampak kesehatan seumur hidup. Selama puluhan tahun, para korban dan keluarga mereka berjuang mencari kebenaran dan keadilan, menuntut pertanggungjawaban dari pihak yang berwenang.

Kompensasi Tersendat, Korban Kian Menderita

Penyelidikan Darah Terkontaminasi (Infected Blood Inquiry) yang berlangsung selama enam tahun telah mengungkap “serangkaian kegagalan” dan menyimpulkan bahwa bencana ini “sebagian besar bisa dihindari”. Laporan utamanya dirilis pada Mei 2024, diikuti dengan janji pemerintah untuk memberikan kompensasi penuh dan komprehensif kepada para korban. Namun, setahun berlalu, implementasi skema kompensasi justru menimbulkan masalah baru.

Sir Brian Langstaff, ketua penyelidikan, baru-baru ini menerbitkan laporan tambahan setebal 200 halaman yang sangat pedas. Ia menyatakan bahwa para korban “semakin terluka” oleh cara mereka diperlakukan selama 12 bulan terakhir.

“Selama beberapa dekade, orang-orang yang menderita karena darah yang terinfeksi tidak didengarkan,” kata Sir Brian Langstaff. “Sekali lagi, keputusan dibuat di balik pintu tertutup yang menyebabkan ketidakadilan nyata.”

Laporan ini menyoroti bahwa skema kompensasi didesain tanpa berkonsultasi dengan para korban, sebuah rekomendasi penting dari laporan sebelumnya yang diabaikan. Hal ini menyebabkan “ketidakadilan yang jelas” yang seharusnya bisa dihindari. Para korban merasakan “lapisan baru dan berbeda dari rasa sakit psikologis” karena penundaan dan kurangnya kejelasan.

Andrew Evans, dari kelompok kampanye Tainted Blood, yang terinfeksi HIV dan Hepatitis C sebagai seorang anak, mengungkapkan perasaan para korban:

“Ini adalah lapisan lain yang harus saya tanggung, adaptasi, dan perjuangkan setiap hari agar tidak mengambil alih hidup saya. Saya telah menghabiskan lebih dari 30 tahun melawan trauma, pengucilan, dan perjuangan terus-menerus untuk menjaga hidup saya tetap utuh. Apa yang terjadi sejak skema kompensasi diumumkan telah mendorong perjuangan itu hingga batasnya, dan sekarang saya benar-benar kelelahan… penderitaan ini tak terlukiskan dengan kata-kata.”

Diperkirakan setidaknya 100 orang telah meninggal dunia saat menunggu kompensasi sejak laporan utama diterbitkan tahun lalu.

Janji Manis Kompensasi yang Belum Terwujud

Pemerintah Inggris telah mengalokasikan dana sebesar £11,8 miliar (sekitar Rp240 triliun) untuk membayar kompensasi kepada para korban, yang akan dikelola oleh Infected Blood Compensation Authority (IBCA). Namun, hingga 1 Juli 2025, angka pembayaran yang telah dilakukan masih jauh dari harapan.

Berikut adalah data kompensasi yang telah dibayarkan per 1 Juli 2025:

Kategori Jumlah
Orang yang diminta mengajukan klaim 2.043
Orang yang menerima kompensasi penuh 460
Total kompensasi yang telah dibayarkan >£326 juta

Sir Brian Langstaff menyebut bahwa jumlah 460 orang yang telah menerima kompensasi “sangat tidak memuaskan”. Ia menekankan bahwa meskipun pemerintah telah mengetahui selama bertahun-tahun bahwa kompensasi bagi ribuan orang tidak dapat dihindari, masih banyak yang belum diizinkan untuk memulai proses klaim.

Jackie Wrixton, 63 tahun, yang didiagnosis Hepatitis C setelah transfusi darah pada tahun 1983, mengungkapkan kekecewaannya:

“Euforia yang kami rasakan setahun lalu telah menghilang, dan sekarang kami harus berdemonstrasi. Rekomendasi-rekomendasi itu sangat kuat, tetapi sepertinya tidak memiliki kekuatan yang kami butuhkan agar pemerintah bertindak. Mereka hanya memberikan janji, tetapi tidak ada tindakan. Mereka mengatakan sedang bekerja cepat, tetapi kami meninggal dengan cepat.”

Rekomendasi Mendesak untuk Keadilan yang Lebih Cepat

Laporan Sir Brian Langstaff memuat serangkaian rekomendasi mendesak untuk mempercepat proses kompensasi dan memastikan keadilan bagi semua korban:

  • Proses Aplikasi Aktif: Korban harus diizinkan untuk mengajukan klaim kompensasi, bukan menunggu untuk diminta melakukannya.
  • Prioritas Klaim: Klaim dari mereka yang sakit parah, lanjut usia, atau yang belum pernah menerima kompensasi harus diprioritaskan.
  • Perluasan Cakupan: Skema kompensasi harus mencakup orang yang terinfeksi HIV sebelum tahun 1982, batas waktu yang dianggap “tidak logis dan sangat tidak adil”.
  • Pengakuan Dampak Hepatitis: Meningkatkan keadilan kompensasi bagi korban Hepatitis, termasuk mengakui dampak pengobatan awal yang bisa menyebabkan efek samping parah.
  • Bukti yang Realistis: Menghapus persyaratan bukti yang tidak realistis untuk kerugian psikologis parah (misalnya, memerlukan enam bulan perawatan psikiatri).
  • Korban Eksperimen Medis: Korban eksperimen medis harus diberi kompensasi di mana pun mereka dirawat.
  • Transparansi dan Keterbukaan: Meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan kompensasi.
  • Keterlibatan Korban: Melibatkan secara signifikan orang yang terinfeksi dan anggota keluarga mereka dalam keputusan operasional skema.
  • Mekanisme Pengaduan: Membangun mekanisme pengaduan yang lebih kuat.

Suara Hati Para Korban: Antara Frustrasi dan Harapan

Penundaan ini tidak hanya berdampak finansial, tetapi juga emosional dan psikologis yang mendalam. Banyak korban merasa “terjebak dalam ketidakpastian” dan “menunggu untuk meninggal”, tanpa bisa membuat kemajuan dalam hidup mereka.

Brendan West, seorang mantan tentara yang terinfeksi Hepatitis C pada tahun 1970-an, mengungkapkan perasaannya:

“Saya beruntung sekarang sedang dalam proses kompensasi. Saya tidak tahu kapan saya akan menerima tawaran, tetapi saat ini saya merasa diperlakukan adil. Ada rasa frustrasi dari banyak komunitas yang harus menunggu, terutama mereka yang terdampak daripada yang terinfeksi.”

Kate Burt, kepala eksekutif The Haemophilia Society, menegaskan bahwa kegagalan pemerintah untuk mendengarkan komunitas yang terdampak skandal darah ini telah “terungkap secara memalukan lagi”. Ia menyebut kegagalan ini “melelahkan, merusak, dan merampas martabat komunitas ini.”

Richard Angell, kepala eksekutif Terrence Higgins Trust, menambahkan perspektif yang memilukan:

“Kami bekerja dengan satu keluarga yang putranya meninggal tiga dekade lalu karena penyakit terkait AIDS yang disebabkan oleh darah yang terinfeksi. Ayahnya sekarang menderita demensia. Seharusnya tidak terlalu sulit baginya untuk menerima kompensasi selagi ia masih bisa mengingat putranya.”

Victoria Chapman, putri dari korban Bob Chapman, yang kini berusia 78 tahun, berbagi kepedihannya:

“Ayah saya saat ini sangat khawatir tentang perbaikan dapurnya. Saya sangat berharap, untuk sisa hidupnya, ia tidak perlu stres tentang uang. Saya sungguh percaya penundaan ini agar lebih banyak orang meninggal sehingga jumlah tagihan berkurang.”

Situasi ini menunjukkan bahwa keadilan yang dijanjikan masih jauh dari jangkauan bagi ribuan orang yang telah menderita selama puluhan tahun.

Kesimpulan

Laporan terbaru dari Sir Brian Langstaff menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa penderitaan korban skandal darah terkontaminasi di Inggris belum berakhir. Penundaan dan cacat dalam skema kompensasi telah menciptakan “ketidakadilan tersendiri”, menambah beban psikologis dan emosional pada mereka yang sudah sangat menderita. Pemerintah Inggris kini memiliki tanggung jawab besar untuk mendengarkan suara para korban, bertindak cepat berdasarkan rekomendasi yang ada, dan memastikan bahwa janji keadilan yang telah lama dinanti akhirnya terpenuhi. Waktu terus berjalan, dan bagi banyak korban, waktu adalah musuh yang nyata.