Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza semakin memilukan, dan kali ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tak bisa lagi menahan amarahnya. Bayangkan, hampir 800 warga Gaza dibunuh saat mereka hanya mencoba bertahan hidup, mengantre untuk mendapatkan sepotong roti atau setetes obat. Situasi ini bukan hanya menyayat hati, tapi juga menunjukkan betapa parahnya kondisi di lapangan. Artikel ini akan membahas mengapa PBB murka dan bagaimana tragedi ini terjadi, agar kita semua bisa memahami skala kepiluan yang sedang berlangsung.
PBB mengecam keras insiden memilukan di Gaza, di mana hampir 800 warga sipil dilaporkan tewas saat berupaya mendapatkan bantuan kemanusiaan.
Tragedi di Balik Antrean Bantuan: Angka Kematian yang Mengejutkan
Data terbaru dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) benar-benar mengkhawatirkan. Sejak akhir Mei hingga awal Juli 2025, sedikitnya 798 warga Palestina tewas saat berusaha mendapatkan bantuan makanan Gaza dan kebutuhan pokok lainnya. Angka ini mencakup sepuluh orang yang tewas ditembak pada 11 Juli lalu saat menunggu di titik distribusi bantuan dekat Rafah.
Dari total korban jiwa tersebut, mayoritas, yaitu 615 orang, meninggal “di sekitar lokasi Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF)”, sebuah organisasi baru yang didukung oleh AS dan Israel. Sisanya, 183 orang, tewas di sepanjang rute konvoi bantuan lainnya. Ravina Shamdasani, juru bicara kantor hak asasi manusia PBB, mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam.
“Ketika orang-orang mengantre untuk mendapatkan pasokan penting seperti makanan dan obat-obatan, dan ketika… mereka memiliki pilihan antara ditembak atau diberi makan, ini tidak dapat diterima,” tegasnya.
Peran Kontroversial Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF)
Sejak akhir Mei, Israel mulai melonggarkan blokade total bantuan yang sebelumnya berlangsung lebih dari dua bulan. Namun, di saat yang sama, GHF secara efektif mengambil alih jaringan pengiriman bantuan yang sebelumnya dipimpin oleh PBB. Ini menjadi masalah besar. PBB, termasuk Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), menolak untuk bekerja sama dengan GHF.
Alasannya jelas: PBB khawatir bahwa GHF dirancang untuk melayani tujuan militer Israel, bukan murni kemanusiaan. Banyak kelompok bantuan internasional lainnya juga menolak bekerja sama dengan GHF karena hubungannya dengan otoritas Israel, mengutip laporan penembakan warga Palestina di dekat lokasi GHF. Sebanyak 169 organisasi kemanusiaan bahkan menyerukan penghentian sistem distribusi bantuan yang dipimpin AS dan Israel ini, mendesak agar kembali ke mekanisme yang dipimpin PBB.
Suara Kemanusiaan yang Marah: Seruan dari Pejabat PBB
Kemarahan PBB tidak hanya datang dari satu arah. Berbagai pejabat tinggi PBB menyuarakan keprihatinan mereka dengan sangat keras. Philippe Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA, menggambarkan situasi di Gaza dengan gamblang.
Ia menyebut Gaza telah menjadi “kuburan anak-anak dan orang-orang yang kelaparan.” Lazzarini menambahkan, “Tidak ada jalan keluar. Pilihan mereka adalah antara 2 kematian: kelaparan atau ditembak. Skema paling kejam dan Machiavellian untuk membunuh, dengan impunitas total.” Baginya, “Tidak bertindak dan diam adalah keterlibatan.” Ia juga menyoroti penurunan drastis titik distribusi bantuan, dari 400 titik saat PBB bertugas, kini hanya ada empat titik yang sangat jauh.
Catherine Russell, Direktur Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), juga mengutuk serangan terhadap pencari bantuan. Ia menekankan bahwa “pembunuhan keluarga yang mencoba mengakses bantuan tidak bisa diterima” dan meminta Israel untuk mematuhi hukum humaniter internasional serta melakukan penyelidikan atas insiden tersebut. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pun menyatakan bahwa kurangnya akuntabilitas atas pembunuhan pekerja bantuan di Gaza “sama sekali tidak dapat diterima.”
Tanggapan Israel dan Bantahan GHF
Menanggapi laporan-laporan ini, militer Israel menyatakan sedang menyelidiki insiden terbaru dan telah mengeluarkan instruksi baru kepada pasukannya untuk meminimalkan gesekan antara tentara dan pencari bantuan. Mereka mengklaim berupaya melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap insiden yang melaporkan kerugian pada warga sipil di fasilitas distribusi.
Namun, Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) sendiri menolak laporan PBB tersebut. Mereka menyebutnya “salah dan menyesatkan,” bahkan mengklaim bahwa sebagian besar serangan mematikan terhadap lokasi bantuan justru dikaitkan dengan konvoi PBB. Hal ini menambah kerumitan dan ketidakjelasan di tengah konflik Israel-Palestina yang tak berkesudahan.
Krisis yang Tak Kunjung Usai: Dampak pada Warga Sipil
Terlepas dari saling bantah, kenyataan di lapangan tetap pahit. Warga sipil di Jalur Gaza terus menghadapi blokade dan kelangkaan bantuan yang parah. Mereka terpaksa mempertaruhkan nyawa hanya untuk mendapatkan kebutuhan dasar. Kurangnya bantuan berarti anak-anak menghadapi kelaparan, dan risiko kelaparan terus meningkat.
Kelompok militan Palestina, Hamas, mengutuk serangan-serangan ini sebagai bagian dari “kampanye genosida” Israel yang sedang berlangsung di Jalur Gaza. Sementara itu, perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Qatar masih terus berlanjut, dengan harapan kesepakatan dapat tercapai untuk menghentikan pertumpahan darah ini.
Situasi ini adalah pengingat keras bahwa di balik berita-berita politik, ada nyawa manusia yang menjadi korban. PBB murka hampir 800 warga Gaza dibunuh bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari kegagalan kolektif untuk melindungi mereka yang paling rentan.
Semoga artikel ini memberikan gambaran jelas tentang betapa gentingnya krisis kemanusiaan Gaza saat ini. Mari terus pantau dan berharap akan ada perubahan positif demi kemanusiaan.