Yogyakarta, zekriansyah.com – Pernahkah Anda membayangkan kota futuristik seperti Wakanda dari film Black Panther hadir di dunia nyata? Mimpi itu sempat digagas oleh bintang R&B global, Akon, dengan proyek ambisiusnya bernama Akon City di Senegal. Namun, setelah bertahun-tahun diwarnai janji dan penantian, kini kabar tak sedap datang: proyek kota impian senilai $6 miliar atau sekitar Rp90 triliun itu resmi dibatalkan.
Ilustrasi: Puing-puing harapan Akon untuk membangun kota futuristik di Senegal, impian senilai Rp90 triliun, kini menyisakan cerita pilu pasca pembatalan.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Akon City yang digadang-gadang menjadi mercusuar inovasi Afrika ini kandas di tengah jalan. Anda akan memahami apa saja tantangan yang dihadapi proyek raksasa ini, bagaimana dampaknya bagi masyarakat lokal, dan pelajaran berharga apa yang bisa kita petik dari kisah ini. Yuk, ikuti ceritanya sampai selesai!
Awal Mula Mimpi “Wakanda” Akon
Pada tahun 2018, nama Akon, penyanyi yang terkenal dengan lagu-lagu hits seperti “Lonely” dan “Smack That”, menjadi sorotan bukan hanya karena musiknya, tapi juga karena pengumuman proyek visioner. Akon, yang lahir di Amerika Serikat namun sebagian masa kecilnya dihabiskan di Senegal, berniat membangun sebuah kota futuristik di kampung halamannya. Proyek ini diberi nama Akon City.
Akon City dirancang sebagai pusat kemajuan dan inovasi di Afrika Barat. Inspirasinya datang langsung dari kota fiktif Wakanda di film Marvel “Black Panther”, yang dikenal dengan teknologi super canggih dan desain arsitektur yang memukau. Akon punya visi besar: kota ini akan menjadi “rumah kembali ke rumah” bagi diaspora Afrika-Amerika dan seluruh dunia, sekaligus menciptakan ribuan lapangan kerja serta mendorong pariwisata di Senegal.
Rencananya sangat ambisius. Akon City akan dilengkapi dengan fasilitas modern seperti:
- Hotel mewah
- Universitas berteknologi tinggi
- Rumah sakit canggih
- Pusat bisnis dan hiburan, termasuk kasino
- Studio film “Senewood”
- Desa budaya Afrika
- Beroperasi sepenuhnya dengan energi terbarukan (tenaga surya)
- Menggunakan mata uang kripto sendiri, Akoin, sebagai alat pembayaran utama.
Peletakan batu pertama proyek seluas 800 hektar di Mbodiène, sekitar 100 kilometer selatan ibu kota Dakar, dilakukan pada September 2020. Fase pertama pembangunan, yang meliputi rumah sakit, pusat perbelanjaan, sekolah, kantor polisi, pusat pengelolaan limbah, dan pembangkit listrik tenaga surya, ditargetkan selesai pada akhir 2023. Sementara itu, seluruh kota diharapkan rampung pada tahun 2030.
Hanya Ada Bangunan Resepsionis, Sapi, dan Kambing
Meskipun janji-janji besar telah diucapkan dan peletakan batu pertama sudah dilakukan, realitas di lapangan jauh berbeda. Setelah lebih dari lima tahun berlalu sejak pengumuman awal, lokasi proyek Akon City di Mbodiène sebagian besar masih berupa lahan kosong. Tidak ada jalan, tidak ada perumahan, bahkan jaringan listrik pun belum ada.
Satu-satunya struktur yang terlihat adalah kerangka bangunan resepsionis yang belum selesai. Situs seluas 800 hektar yang seharusnya menjadi denyut nadi kota futuristik ini justru lebih sering dikunjungi oleh kawanan sapi dan kambing yang merumput bebas.
“Kami dijanjikan pekerjaan dan pembangunan,” keluh seorang warga lokal kepada BBC. “Namun, tidak ada yang berubah.”
Kekecewaan ini dirasakan betul oleh masyarakat Mbodiène. Mereka berharap besar pada Akon City untuk mengangkat perekonomian dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda. Namun, penantian panjang itu hanya berujung pada kekosongan.
Akoin Loyo, Pendanaan Misterius
Salah satu pilar utama Akon City adalah penggunaan mata uang kripto Akoin sebagai alat transaksi utama. Akon bahkan pernah menyatakan bahwa Akoin akan “merangsang pertukaran mikro dan stabilitas keuangan di Afrika dan sekitarnya.” Namun, nasib Akoin ternyata tak secerah visi kotanya.
Harga Akoin anjlok drastis sejak diluncurkan. Dari nilai awal $0.15, kini harganya hanya sekitar $0.00035. Lebih dari itu, legalitas Akoin sebagai alat pembayaran utama di Senegal menjadi pertanyaan besar. Senegal menggunakan mata uang CFA franc yang diatur oleh Bank Sentral Negara-negara Afrika Barat (BCEAO), dan seperti banyak bank sentral lainnya, BCEAO telah menyatakan penolakan terhadap mata uang kripto. Akon sendiri mengakui bahwa Akoin “tidak dikelola dengan benar” dan ia “mengambil tanggung jawab penuh untuk itu.”
Masalah pendanaan proyek Akon City juga selalu diselimuti misteri. Meskipun Akon mengklaim telah mengamankan sebagian besar dana yang dibutuhkan, rincian investor tidak pernah diungkapkan secara transparan. Perusahaan kontraktor utama, KE International, sempat menyatakan telah mengumpulkan $4 miliar dari investor yang dipimpin oleh pengusaha Kenya Julius Mwale. Namun, menurut beberapa mantan kolaborator Akon di Dakar, janji-janji pendanaan tersebut tidak pernah terwujud.
“Akon menghabiskan beberapa juta dolar dari uangnya sendiri untuk proyek ini,” kata seorang mantan kolaborator Akon yang mengundurkan diri pada awal 2023. “Tapi dia belum berhasil mengamankan janji investasi, meskipun dia tidak dalam posisi untuk membiayai semuanya sendiri.”
Situasi ini diperparah dengan adanya gugatan hukum. Pada tahun 2021, Devyne Stephens, mantan rekan bisnis Akon, menggugatnya senilai $4 juta atas tuduhan utang yang belum dibayar terkait proyek tersebut. Pengacara Stephens bahkan menuduh Akon City dan Akoin menunjukkan “banyak karakteristik skema penipuan seperti skema Ponzi dan skema piramida.” Meskipun Akon membantah tuduhan tersebut dan telah menyelesaikan sebagian gugatan dengan membayar $850.000, hal ini jelas menambah keraguan terhadap proyek.
Pemerintah Senegal Beri Ultimatum, Lalu Batalkan Proyek
Lambatnya kemajuan pembangunan Akon City membuat pemerintah Senegal gerah. Badan Pengembangan Pariwisata Senegal (Sapco), yang mengelola proyek atas nama pemerintah, berulang kali melayangkan peringatan kepada Akon.
Pada Juni 2024, Sapco mengeluarkan pemberitahuan resmi yang mengancam akan menarik kembali 90% dari lahan yang diberikan kepada Akon jika pembangunan tidak segera dilanjutkan. Akon dianggap telah melewatkan beberapa pembayaran kepada Sapco.
Akhirnya, pada awal Juli 2025, Serigne Mamadou Mboup, kepala Sapco, secara terbuka mengonfirmasi kepada BBC bahwa “Proyek Akon City tidak ada lagi.” Ini adalah pengakuan resmi dari pemerintah Senegal bahwa proyek ambisius tersebut telah dibatalkan.
Namun, kabar baiknya adalah pemerintah Senegal tidak sepenuhnya lepas tangan. Mboup menambahkan bahwa telah tercapai kesepakatan baru antara Sapco dan Akon.
“Apa yang sedang dia persiapkan bersama kami adalah proyek yang realistis, yang akan didukung penuh oleh Sapco,” jelas Mboup.
Ini berarti Akon masih akan terlibat dalam pembangunan di lokasi yang sama, namun dengan rencana yang lebih masuk akal dan dapat diwujudkan. Lahan di dekat Mbodiène memang memiliki nilai strategis tinggi, terutama dengan mendekatnya Olimpiade Remaja 2026 dan peningkatan aktivitas pariwisata yang diharapkan.
Satu masalah yang masih belum tuntas adalah kompensasi lahan bagi warga lokal. Sebagian warga yang telah menyerahkan tanah mereka sejak 2009 untuk pengembangan pariwisasa (yang kemudian dialokasikan untuk Akon City) masih belum menerima kompensasi yang dijanjikan.
Pelajaran dari Akon City: Antara Mimpi dan Realita
Kisah Akon City adalah cerminan ambisi besar yang terbentur dinding realitas. Mimpi Akon untuk membangun “Wakanda” di Senegal, lengkap dengan teknologi canggih dan mata uang kripto sendiri, ternyata terlalu jauh dari jangkauan. Masalah utama terletak pada pendanaan yang tidak transparan, manajemen proyek yang kurang solid, serta tantangan legalitas penggunaan mata uang kripto di negara tersebut.
Meskipun proyek utamanya batal, Akon memang sempat merealisasikan beberapa fasilitas kecil sebagai bagian dari komitmennya kepada warga Mbodiène, seperti:
- Pembangunan lapangan basket
- Pusat pemuda
- Pagar stadion sepak bola
Ini menunjukkan adanya niat baik, namun tidak cukup untuk mewujudkan kota senilai triliunan rupiah.
Pelajaran penting dari Akon City adalah bahwa proyek pembangunan berskala besar membutuhkan perencanaan yang sangat matang, sumber pendanaan yang jelas dan transparan, serta yang terpenting, keterlibatan dan dukungan nyata dari komunitas lokal. Terlalu banyak janji tanpa disertai aksi nyata hanya akan meninggalkan kekecewaan mendalam bagi mereka yang berharap.
Meskipun “Wakanda” impian Akon tidak akan terwujud dalam bentuk aslinya, masih ada harapan bagi Mbodiène. Dengan adanya kesepakatan baru untuk proyek yang lebih realistis, semoga lahan strategis tersebut bisa benar-benar membawa manfaat dan pembangunan yang nyata bagi masyarakat Senegal.
Kesimpulan
Proyek Akon City di Senegal, yang sempat memicu harapan besar akan “Wakanda” di dunia nyata, kini resmi dibatalkan. Ambisi Akon untuk membangun kota futuristik senilai Rp90 triliun ini terganjal masalah pendanaan, manajemen, dan legalitas mata uang kripto Akoin.
Meskipun demikian, ada secercah harapan. Akon dan pemerintah Senegal kini sepakat untuk mengerjakan proyek pembangunan yang “lebih realistis” di lokasi yang sama. Semoga saja, pelajaran dari kegagalan Akon City ini menjadi bekal untuk mewujudkan pembangunan yang lebih konkret dan berkelanjutan, demi kesejahteraan masyarakat Senegal.