Konflik di Timur Tengah selalu menjadi sorotan dunia, sebuah panggung kompleks tempat geopolitik, ambisi pribadi, dan klaim kedaulatan saling berjalin. Baru-baru ini, perhatian global terpaku pada apa yang oleh Presiden AS Donald Trump disebut sebagai “Perang 12 Hari” antara Israel dan Iran. Sebuah eskalasi militer yang mendebarkan, melibatkan serangan udara, rudal, dan drone, berakhir dengan gencatan senjata yang rapuh. Namun, pertanyaan mendasar yang mencuat adalah: di balik klaim kemenangan dari ketiga pemimpin utama – Donald Trump, Benjamin Netanyahu, dan Ayatollah Ali Khamenei – siapa sebenarnya yang berhasil meraih keuntungan signifikan dari perang singkat ini, dan apa implikasinya bagi masa depan kawasan?
Artikel ini akan menyelami kompleksitas di balik narasi kemenangan yang diklaim, menganalisis posisi dan motif masing-masing pihak, serta melihat gambaran lebih besar tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya di kancah geopolitik Timur Tengah.
Membedah “Perang 12 Hari”: Sebuah Konflik Kilat yang Mengguncang Kawasan
Perang 12 Hari yang baru saja berakhir adalah puncak dari ketegangan yang telah lama membara antara Israel dan Iran. Israel telah lama memandang program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial utama, meskipun Teheran bersikukuh bahwa programnya semata-mata untuk tujuan damai dan energi. Pada tanggal 13 Juni, Israel melangkahi “garis merah” yang selama ini dijaga, melancarkan serangan udara terhadap instalasi permukaan pabrik pengayaan bahan bakar Natanz dan kompleks teknologi nuklir Isfahan di Iran. Langkah provokatif ini, yang belum pernah terjadi sebelumnya, segera memicu balasan dari Iran berupa peluncuran pesawat nirawak dan rudal ke wilayah Israel.
Eskalasi semakin memanas ketika Amerika Serikat, atas perintah Israel, secara langsung terlibat. Pada Sabtu malam, 21 Juni, AS menyerang fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan. Trump mengklaim serangan ini “benar-benar menghancurkan” fasilitas tersebut, meskipun laporan rahasia kemudian menunjukkan bahwa kerusakan pada bagian inti situs-situs nuklir tersebut tidak signifikan. Iran tidak tinggal diam; pada Senin, 23 Juni, mereka membalas dengan menembakkan rudal ke pangkalan udara AS terbesar di Timur Tengah, Al Udeid di Qatar. Meskipun serangan ini dilaporkan terukur dan mudah dicegat, dan Iran mengklaim telah memberi peringatan dini kepada Qatar untuk meminimalisir korban, insiden ini menandai keterlibatan langsung AS dalam konflik.
Ketegangan mencapai puncaknya, dan Timur Tengah tampak di ambang perang yang lebih luas. Namun, dalam hitungan jam, Trump mengumumkan gencatan senjata penuh dan total antara Israel dan Iran melalui platform media sosialnya, Truth Social. Ini adalah momen yang mengejutkan, mengingat beberapa jam setelah gencatan senjata seharusnya berlaku, Israel melancarkan serangan balasan atas dua rudal balistik yang diklaimnya diluncurkan dari Iran, menghancurkan stasiun radar di dekat Teheran. Trump, yang “sangat marah” dengan pelanggaran ini, mendesak Netanyahu untuk mematuhi gencatan senjata. Akhirnya, gencatan senjata kembali berlaku, mengakhiri 12 hari yang penuh gejolak.
Klaim Kemenangan Donald Trump: Dalang di Balik Layar atau Sekadar Oportunis?
Presiden Donald Trump memainkan peran sentral dalam narasi Perang 12 Hari ini, bahkan mengklaim dirinya sebagai “sutradara” di balik gencatan senjata. Ia mengumumkan gencatan senjata secara unilateral, bahkan sebelum kedua belah pihak secara resmi mengonfirmasi. Klaimnya bahwa fasilitas nuklir Iran “benar-benar hancur” adalah bagian dari upaya untuk menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang tegas dan efektif.
Namun, narasi di balik layar jauh lebih kompleks:
- Peran Ganda: Trump dituduh oleh beberapa pengamat, seperti koresponden perang Elijah J. Magnier, sebagai pihak yang awalnya “memberikan lampu hijau” kepada Netanyahu untuk memulai perang, bahkan mengirim pesawat AS untuk mengebom Iran. Setelah itu, ia berusaha terlihat sebagai “orang baik” yang menghentikan konflik yang ia bantu picu.
- Ancaman dan Insentif: Trump dikenal dengan pendekatannya yang tidak terduga. Ia melontarkan ancaman keras terhadap Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bahkan menyebutnya “target yang mudah” dan menyerukan “penyerahan tanpa syarat” dari Iran. Namun, di sisi lain, ia juga mengisyaratkan akan menawarkan insentif, seperti pelonggaran sanksi agar China dapat kembali membeli minyak Iran, sebagai jalan menuju perundingan. Ini mencerminkan “teori orang gila” dalam hubungan internasional yang sering dikaitkan dengannya, di mana ketidakpastian disengaja untuk memaksa kepatuhan.
- Janji Kampanye vs. Realita: Keterlibatan langsung AS dalam konflik ini, terutama serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, secara terang-terangan melanggar janji kampanye Trump untuk tidak menyeret militer AS ke konflik luar negeri. Hal ini menuai kritik dari para pendukung setia “America First” seperti Marjorie Taylor Greene dan Tucker Carlson, yang mempertanyakan mengapa AS mengambil risiko terseret ke dalam perang demi kepentingan Israel.
- Klaim Mediasi: Terlepas dari kontradiksi ini, Trump berhasil menampilkan dirinya sebagai mediator yang mengakhiri konflik yang berpotensi menghancurkan Timur Tengah. Ia bahkan mengucapkan selamat kepada Israel dan Iran atas “stamina, keberanian, dan kecerdasan” mereka dalam mencapai gencatan senjata.
Apa yang diperoleh Trump? Mungkin yang paling nyata adalah citra sebagai pembuat kesepakatan dan penyelamat kawasan, terutama di mata basis pendukungnya yang mungkin tidak terlalu mengikuti detail rumit geopolitik. Ia berhasil menghindari perang yang lebih besar di bawah pengawasannya, sesuatu yang menjadi perhatian utamanya menurut analis Will Todman dari CSAS. Namun, efektivitas jangka panjang dari klaim kehancuran fasilitas nuklir Iran masih dipertanyakan.
Benjamin Netanyahu: Ambisi Keamanan dan Kelangsungan Kekuasaan
Bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, konflik ini adalah tentang “ancaman eksistensial” yang ditimbulkan oleh Iran. Israel telah lama mengklaim bahwa Iran adalah musuh nomor satu mereka, dan tujuan utama Netanyahu adalah mencegah Teheran memiliki senjata nuklir.
- Tujuan Taktis: Netanyahu mengklaim bahwa Israel telah mencapai semua tujuan perangnya dalam operasi 12 hari ini, termasuk menghilangkan ancaman program rudal balistik dan nuklir Iran. Ia bahkan menyatakan bahwa Israel telah “menyingkirkan dua ancaman eksistensial langsung” dan berhasil merusak kepemimpinan militer Iran serta memperoleh kendali atas wilayah udara Teheran. Al Jazeera menganalisis bahwa Israel memang berhasil merusak target-target di permukaan wilayah Iran secara signifikan.
- Tekanan Domestik dan Politik Internal: Netanyahu berada di bawah tekanan berat di dalam negeri. Rakyat Israel sudah muak dengan strategi perangnya di Gaza, dan ia menghadapi kasus korupsi yang bisa membawanya ke penjara. Koalisi pemerintahannya sangat bergantung pada partai-partai ekstrem kanan yang menginginkan supremasi Israel dan pendudukan total Palestina, di mana Iran dianggap sebagai hambatan utama. Oleh karena itu, membuka front perang baru dengan Iran bisa jadi merupakan langkah untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestik dan memperkuat posisinya di mata koalisi ekstrem kanan.
- Ketergantungan pada AS: Meskipun Netanyahu adalah pemicu awal serangan, ia tidak dapat mengakhiri perang tanpa dukungan AS. Mantan kepala dinas intelijen Inggris MI6, Sir John Sawers, mengungkapkan bahwa Israel tidak memiliki kapasitas militer untuk menghancurkan target nuklir yang terkubur jauh di bawah tanah seperti Fordow, hanya AS yang memilikinya. Ini menunjukkan bahwa tujuan Israel mungkin adalah “membawa Amerika ke dalam konflik” untuk menggunakan kekuatan AS. Peringatan Trump kepada Netanyahu setelah pelanggaran gencatan senjata juga menunjukkan bahwa ada batas dalam dukungan AS.
- Ambisi Ekstrem: Pernyataan Netanyahu bahwa perang bisa berakhir jika Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, terbunuh, adalah indikasi ambisi ekstremnya. Pernyataan ini jelas-jelas ditolak oleh Trump, yang menganggapnya bukan “ide yang bagus.”
Apa yang diperoleh Netanyahu? Ia berhasil menunjukkan ketegasannya terhadap Iran dan melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir, meskipun dampaknya masih diperdebatkan. Secara politik domestik, ia mungkin mendapatkan masa jeda dan memperkuat posisinya di mata sekutu garis kerasnya, setidaknya untuk sementara. Namun, ia juga menghadapi kenyataan bahwa dukungan AS memiliki batasan, dan perang berkepanjangan akan merugikan Israel.
Ayatollah Ali Khamenei: Ketahanan Iran di Tengah Badai
Di tengah gempuran dan klaim kemenangan lawan, Iran dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei juga menyatakan diri sebagai pemenang. Hizbullah, kelompok bersenjata Lebanon yang didukung Iran, bahkan menyebutnya sebagai “kemenangan ilahi yang mulia.”
- Klaim Kemenangan dan Respons Terukur: Iran mengklaim kemenangan dari serangan yang “tepat dan menyakitkan” yang dilancarkannya ke Israel dan respons cepat terhadap agresi AS. Meskipun Iran mengakui menderita kerusakan dan korban jiwa (627 tewas dan 4.870 terluka menurut Kementerian Kesehatan Iran), mereka berhasil menunjukkan kemampuan untuk membalas secara langsung. Ini menandai pergeseran dari ketergantungan pada proksi ke potensi konfrontasi langsung antarnegara, yang mengubah kalkulasi strategis di kawasan.
- Ketahanan Sistem: Meskipun penasihat militer dan keamanan utama Khamenei tewas, dan ada laporan pelanggaran keamanan siber, sistem negara Iran dirancang untuk bisa beregenerasi dengan cepat. Antropolog Narges Bajoghli menjelaskan bahwa menghabisi Ayatollah atau pejabat tidak akan menghancurkan Iran. Ideologi Revolusi Islam 1979 telah tertanam kuat.
- Narasi Kedaulatan: Iran menempatkan diri sebagai pihak yang hanya membalas serangan Israel secara proporsional, dan menekankan bahwa mereka tidak akan tunduk jika kedaulatan mereka dilanggar. Khamenei sendiri menegaskan, “Kami tidak melanggar siapa pun, dan kami juga tidak akan menerima dilanggar oleh siapa pun.”
- Dampak Serangan terhadap Fasilitas Nuklir: Iran mengklaim bahwa isi ketiga fasilitas nuklir yang diserang AS telah dievakuasi sebelum serangan, sehingga tidak ada korban jiwa. Meskipun AS mengklaim kerusakan signifikan, IAEA menyatakan bahwa ada indikasi dampak langsung pada ruang pengayaan bawah tanah di Natanz, namun tidak ada perubahan signifikan di Fordow dan Isfahan, menunjukkan klaim kehancuran total mungkin berlebihan.
- Persatuan Internal (Sementara): Serangan dari luar, paradoxically, bisa memicu perasaan ekstrem dan menyatukan rakyat Iran yang awalnya mengkritik pemerintah mereka. Media terafiliasi pemerintah Iran, Tasneem, melaporkan bahwa rakyat Iran bersatu melawan musuh Israel.
- Desakan Diplomasi: Iran juga mencoba melibatkan Eropa secara diplomatis, mengusulkan peningkatan pemantauan dan komitmen dalam program nuklirnya, berharap Eropa bisa menjadi penyeimbang kekuatan AS-Israel.
Apa yang diperoleh Khamenei dan Iran? Mereka berhasil menunjukkan kemampuan retaliasi langsung, mengubah dinamika konfrontasi di kawasan, dan mempertahankan narasi ketahanan serta kedaulatan. Meskipun menderita kerugian, Iran menegaskan bahwa mereka tidak akan menyerah hanya karena diserang, dan sistem mereka mampu bertahan.
Peran Diplomatik dan Prospek Gencatan Senjata
Gencatan senjata yang dicapai bukanlah jaminan perdamaian jangka panjang, melainkan lebih seperti “jeda” atau “babak baru konflik.” Berbagai pihak internasional segera bergerak untuk meredakan ketegangan. Uni Eropa, Prancis, Inggris, dan Jerman bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran untuk mencari jalan keluar diplomatik.
- Kondisi Iran: Iran menyatakan akan berhenti menyerang apabila Israel berhenti menyerang terlebih dahulu, menempatkan diri sebagai pihak yang hanya membalas serangan yang tidak berdasar. Mereka juga menuntut Dewan Keamanan PBB mengecam serangan AS-Israel yang melanggar hukum internasional.
- Dua Jalan ke Depan: Para pakar menilai ada dua kemungkinan jalur ke depan terkait program nuklir Iran:
- Inspeksi PBB: Kembalinya ke model Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) 2015, yang melibatkan inspeksi ketat terhadap fasilitas nuklir Iran. Ini bisa meredakan tekanan global, dan Eropa diharapkan bisa berperan sebagai mediator.
- Serangan Lanjutan: Kemungkinan AS dan Israel kembali mengebom fasilitas nuklir Iran jika perundingan gagal.
- Tanggapan Global: Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan kekecewaannya dan mengimbau semua pihak untuk de-eskalasi. Negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Meksiko juga menyerukan kembali ke jalur diplomasi. Sementara itu, Venezuela dan Kuba mengecam AS, dan 20 negara Arab menandatangani resolusi yang meminta Iran dan Israel berhenti saling serang. Menariknya, Lebanon dan Suriah, yang sering terlibat konflik regional, kali ini tidak terlibat langsung, membuat rakyatnya bersukacita.
Masa depan program nuklir Iran menjadi isu sentral. Trump, meskipun menarik diri dari JCPOA, kini menghadapi dilema antara janji “America First” dan tekanan untuk menyelesaikan isu nuklir Iran.
Implikasi Global dan Masa Depan Kawasan
Perang 12 Hari ini, meskipun singkat, telah meninggalkan jejak mendalam dan implikasi yang luas:
- Pergeseran Dinamika Konflik: Iran telah menunjukkan kemampuannya untuk membalas secara langsung, menandai pergeseran dari “perang bayangan” melalui proksi ke potensi konfrontasi langsung antarnegara. Ini akan mengubah kalkulasi strategis bagi semua pemain di kawasan.
- Keterlibatan AS yang Kontradiktif: Keterlibatan langsung AS, meskipun ditarik kembali ke gencatan senjata, menyoroti ketidakpastian kebijakan luar negeri Trump. Ini menguras anggaran dan manusia AS, yang bertentangan dengan janji kampanye isolasionisnya.
- Kerapuhan Gencatan Senjata: Gencatan senjata ini bersifat rapuh. Akar permasalahan, seperti program nuklir Iran dan ambisi regional, belum terselesaikan. Konflik bisa kembali meletus kapan saja jika diplomasi gagal.
- Tekanan Domestik dan Regional: Semua pemimpin menghadapi tekanan domestik dan regional. Netanyahu harus menyeimbangkan ambisi politiknya dengan tuntutan rakyat dan koalisinya. Khamenei harus menjaga persatuan internal di tengah penderitaan dan serangan. Trump harus menyeimbangkan janji politiknya dengan realitas geopolitik.
Pada akhirnya, sulit untuk menyatakan satu pihak sebagai pemenang mutlak dari “Perang 12 Hari” ini. Masing-masing pemimpin dapat mengklaim kemenangan untuk audiens mereka sendiri, tetapi kenyataannya adalah bahwa konflik ini hanyalah babak lain dalam perseteruan panjang yang belum menemukan titik akhir. Program nuklir Iran tetap menjadi isu sentral, dan prospek perdamaian sejati bergantung pada kemauan semua pihak untuk berkomitmen pada jalur diplomasi yang tidak dilandasi oleh paksaan militer. Dunia menantikan, apakah jalan diplomasi dapat benar-benar menyelesaikan konflik ini, ataukah akan selalu berakhir dengan “Thank You, Next” seperti lirik lagu populer.