Mengungkap Polemik Tambang: Mengapa Nama Ulil Abshar Abdalla Terus Jadi Sorotan?

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Dalam lanskap diskursus publik Indonesia, nama Ulil Abshar Abdalla seringkali menjadi pusat perhatian, terutama ketika menyangkut isu-isu sensitif yang membelah opini. Belakangan ini, perdebatan seputar sektor pertambangan, yang kini melibatkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, kembali menyeret nama Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini. Pernyataan-pernyataan kontroversialnya mengenai tambang telah memicu gelombang kritik dan memicu diskusi mendalam tentang etika lingkungan, kebijakan publik, hingga integritas intelektual. Artikel ini akan membedah mengapa Ulil Abshar Abdalla tambang menjadi frasa kunci yang terus bergema, menilik berbagai perspektif, dan menganalisis implikasi dari pandangan-pandangannya.

Mengungkap Polemik Tambang: Mengapa Nama Ulil Abshar Abdalla Terus Jadi Sorotan?

Profil Singkat Ulil Abshar Abdalla: Tokoh Intelektual dengan Jejak Kontroversial

Sebelum menyelami lebih jauh polemik tambang, penting untuk memahami latar belakang Ulil Abshar Abdalla. Lahir pada 11 Januari 1967 di Pati, Jawa Tengah, Ulil dikenal sebagai seorang intelektual yang memiliki jejak pendidikan mentereng, termasuk dari Universitas Boston dan Universitas Harvard. Ia berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama yang kental, dengan ayah dan mertuanya (KH. Mustofa Bisri) merupakan tokoh pesantren terkemuka.

Ulil Abshar Abdalla juga dikenal luas sebagai pendiri dan mantan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), sebuah gerakan pemikiran yang sejak awal kemunculannya menuai simpati sekaligus kritik pedas. Sepanjang kariernya, ia tak jarang terlibat dalam kontroversi, mulai dari fatwa mati yang pernah dikeluarkan terhadapnya pada 2003 karena tulisan “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” hingga serangan bom paket pada 2011. Latar belakang ini membentuk citra Ulil sebagai figur yang berani menyampaikan pandangan-pandangan non-konvensional, tak terkecuali dalam isu-isu lingkungan dan ekonomi seperti pertambangan.

“Wahabi Lingkungan” dan Kekeliruan Logis: Debat Panas Raja Ampat

Pemicu utama sorotan terhadap pandangan Ulil mengenai tambang adalah pernyataannya dalam sebuah diskusi di Kompas TV yang membahas pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat. Dalam kesempatan itu, Ulil Abshar Abdalla melontarkan perbandingan yang dinilai keliru oleh banyak pihak, terutama para aktivis lingkungan. Ia menyetarakan degradasi ekologis akibat urban sprawl (perkembangan pemukiman) dengan kerusakan lingkungan masif yang disebabkan oleh aktivitas ekstraktif industri pertambangan.

Ulil menceritakan pengalaman pribadinya tentang hilangnya ekosistem di kampung halamannya akibat pertambahan penduduk, seolah-olah menyiratkan bahwa pertumbuhan populasi juga memiliki dampak lingkungan yang setara dengan industri berat. Argumen ini segera disanggah tajam oleh Iqbal Damanik, aktivis lingkungan dari Greenpeace. Iqbal menegaskan perbedaan skala dampak: “Gus, tidak head to head dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk karena ekskavator dengan manusia emisi yang dikeluarkan beda, Gus. Kita satu orang Gus, hanya bisa menebang satu pohon misalnya dalam satu hari tapi ekskavator bisa menebang ribuan hektar dalam satu hari.”

Alih-alih menanggapi substansi sanggahan tersebut dengan data atau argumen rasional, Ulil justru menyematkan istilah “Wahabisme” kepada Iqbal. Sebuah istilah yang sama sekali tidak relevan dalam konteks diskusi lingkungan hidup. Tindakan ini, yang oleh pengamat disebut sebagai intellectual deflection atau red herring fallacy, mengalihkan fokus dari inti persoalan ke arah yang ideologis dan tidak berkaitan. Para kritikus menyoroti bahwa ini adalah false equivalence atau penyetaraan keliru yang mendasar. Kerusakan sistemik dan destruktif akibat industri ekstraktif yang didukung teknologi berat jauh berbeda dengan tekanan lingkungan akibat ekspansi pemukiman yang bersifat gradual dan masih bisa diatur melalui tata ruang.

Belakangan, Ulil mencoba mengklarifikasi pernyataannya, mengatakan bahwa istilah “wahabi lingkungan” bukan ditujukan spesifik pada polemik Raja Ampat, melainkan sebagai kritik terhadap pandangan ekstrem dalam aktivitas lingkungan. Menurutnya, pandangan yang menganggap pertambangan harus dihentikan secara mutlak adalah pandangan absolut yang berkembang dari Barat dan tidak cocok diterapkan di negara kaya sumber daya seperti Indonesia. Namun, klarifikasi ini tetap tidak mengurangi esensi kritik bahwa ia menyederhanakan masalah dan menggunakan label yang tidak tepat.

PBNU dan Konsesi Tambang: “Bid’ah Maslahat” dan Prinsip “Halal”

Polemik Ulil Abshar Abdalla tambang semakin meruncing ketika PBNU, organisasi tempat Ulil menjabat Ketua Lakpesdam, menerima tawaran pemerintah untuk mengelola konsesi tambang. Kebijakan ini, yang memungkinkan ormas keagamaan mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), menjadi sorotan luas.

Ulil Abshar Abdalla muncul sebagai salah satu suara terdepan PBNU dalam menjustifikasi langkah ini. Ia menyebut kebijakan pemberian lahan tambang untuk ormas keagamaan sebagai bid’ah maslahat atau “bid’ah yang baik.” Istilah bid’ah dalam konteks Islam merujuk pada sesuatu yang diadakan tanpa contoh sebelumnya. Ulil mengakui bahwa kebijakan ini memang baru dan akan menimbulkan kontroversi, namun ia melihatnya sebagai breakthrough policy (kebijakan terobosan) dan affirmative policy (kebijakan afirmasi) yang akan memberikan kemaslahatan besar.

Menurut Ulil, PBNU sebagai beneficiary (penerima kebijakan) akan menerima konsesi tambang tersebut dengan prinsip “halal”. Halal yang dimaksudnya adalah halal secara hukum (karena legal menurut undang-undang) dan halal secara pengelolaan (karena akan mengikuti semua aturan pertambangan yang ada). Ia bahkan secara tegas menyatakan bahwa batu bara, meskipun sering dipandang “kotor” atau “jahat” oleh sebagian pihak, adalah “anugerah dari Allah” untuk bangsa ini, dan “menajiskan batu bara itu tidak sesuai dengan pandangan Islam.” PBNU sendiri dikonfirmasi sebagai ormas pertama yang memproses WIUPK, mendapatkan lahan tambang eks PKP2B PT Kaltim Prima Coal (KPC).

Pernyataan ini tentu saja memicu beragam reaksi. Wakil Presiden Ma’ruf Amin sendiri mengingatkan ormas pengelola tambang untuk mematuhi aturan dan tidak merusak lingkungan, menepis kritik bahwa ormas tidak akan bisa mengelola tambang dengan baik. Namun, di internal NU sendiri, polarisasi antara pihak pro dan kontra terlihat jelas, dengan banyak kiai dan aktivis yang bersuara kritis, menunjukkan bahwa tradisi kritisisme di NU terhadap struktur jam’iyah adalah hal biasa.

Etika “Menyogok” untuk “Meraih yang Hak”: Kontroversi Lain dari Ulil

Dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI terkait pembahasan RUU Pertambangan dan Mineral (Minerba), Ulil Abshar Abdalla kembali melontarkan pernyataan yang mengundang gelak tawa sekaligus tanda tanya. Menanggapi pertanyaan Ketua Komisi VII DPR Saleh Partaonan Daulay tentang dugaan “jatah kelola tambang” sebagai “sogokan” untuk membungkam kritik publik, Ulil mengutip pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa “menyogok itu kalau untuk meraih hak yang hak itu menurut sebagian ulama dibolehkan.”

Ia membedakan antara menyogok untuk meraih yang hak (benar) dengan menyogok untuk kebijakan yang batil (salah). Jika kebijakan itu sah dan dorongan masyarakat dibutuhkan, menurutnya itu bukanlah sogokan, atau kalaupun sogokan, itu adalah “sogokan yang hasanah” (sogokan yang baik). Meskipun ia berharap dalil tersebut tidak digunakan dan tidak sampai terdengar KPK, pernyataan ini menambah daftar kontroversi Ulil, menyoroti batas-batas etika dalam pengambilan kebijakan dan praktik bisnis di sektor yang rentan korupsi.

Iqtishadiyah: Jalan Tengah Melawan “Ideologi Lingkungan”

Untuk memahami pandangan Ulil Abshar Abdalla secara komprehensif, perlu menilik kerangka filosofisnya yang ia sebut sebagai “iqtishadiyah” atau jalan tengah. Konsep ini, yang ia gali dari kitab Imam al-Ghazali, “al-Iqtishad fi-l-I’tiqad” (Jalan Tengah Dalam Akidah), diterapkan Ulil dalam konteks yang lebih luas, termasuk isu lingkungan.

Ulil berpandangan bahwa isu-isu seperti climate change dan gender telah bermutasi menjadi “ideologi” yang “sangat toxic, beracun,” terutama di Barat, dan gelombangnya mulai terasa di Indonesia. Ia mendefinisikan ideologi sebagai tahap lanjut dari gagasan yang memiliki kecenderungan pada “semiotic closure” (membatasi pengertian beragam kepada satu pengertian saja), mirip dengan agama dalam bentuk sekulernya. Perdebatan yang dipicu ideologi, menurutnya, seringkali berujung pada “pengkafiran” atau cancel culture, di mana mereka yang tidak sejalan diberi label menyeramkan seperti “climate denialist.”

Melawan gelombang ideologisasi ini, Ulil menawarkan “fikih” yang dipadukan dengan metode berpikir iqtishad (akal sehat, tengah-tengah). Fikih, baginya, memiliki ciri “semiotic openness” (keterbukaan tafsir), yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat tanpa harus berujung pada “pengkafiran.” Dalam konteks lingkungan, ini berarti mencari jalan tengah, tidak menajiskan tambang secara mutlak, tetapi juga tidak mengabaikan dampak negatifnya. Ia ingin mempromosikan apa yang ia sebut sebagai sensible/reasonable environmentalism, yang menurutnya berbeda dengan aktivisme lingkungan yang ia anggap terlalu ideologis atau ekstrem.

Reaksi dan Implikasi

Pandangan Ulil Abshar Abdalla tambang ini, dengan segala kontroversinya, telah menimbulkan reaksi beragam:

  • Aktivis Lingkungan: Mengkritik Ulil karena dianggap menyederhanakan masalah, mengalihkan isu, dan meremehkan dampak destruktif tambang. Mereka menegaskan fokus pada kerusakan administrasi, politik patronase, dan diskriminasi, bukan isu “najis suci.”
  • Internal NU: Meskipun ada dukungan terhadap langkah PBNU, banyak kiai dan warga NU yang juga menyuarakan kritik, menunjukkan dinamika internal yang sehat dalam tradisi NU. Ketua Umum PBNU sendiri, Yahya Cholil Staquf, memilih bungkam menanggapi pernyataan Ulil tentang “wahabi lingkungan” dan pengelolaan tambang oleh NU.
  • Akademisi/Intelektual: Ada yang mengkritik kekeliruan logika dan intellectual deflection Ulil, sementara yang lain mungkin melihat upaya Ulil untuk menawarkan perspektif moderat dalam isu lingkungan. Gus Nadir, misalnya, mengkritik Ulil agar “jangan sederhanakan masalah.”

Implikasi dari polemik ini cukup signifikan. Pertama, ini menyoroti kompleksitas isu pertambangan di Indonesia, di mana aspek ekonomi, lingkungan, politik, dan bahkan keagamaan saling berkelindan. Kedua, ia memunculkan pertanyaan tentang peran ormas keagamaan dalam sektor ekstraktif, dan bagaimana mereka akan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan tanggung jawab lingkungan dan sosial. Ketiga, perdebatan ini juga menjadi cermin kualitas diskursus publik di Indonesia, menyoroti pentingnya argumentasi berbasis data dan logika yang sehat, alih-alih pelabelan atau pengalihan isu.

Kesimpulan: Mencari Jalan Tengah dalam Realitas Kompleks

Polemik Ulil Abshar Abdalla tambang adalah cerminan dari kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya. Pandangan Ulil, yang memadukan justifikasi keagamaan, interpretasi kebijakan, dan kerangka filosofis iqtishadiyah, mencoba menawarkan perspektif jalan tengah dalam menghadapi isu lingkungan yang seringkali dipandang hitam-putih. Ia berargumen bahwa tambang adalah anugerah yang bisa membawa kemaslahatan jika dikelola secara “halal” dan bertanggung jawab, sekaligus mengkritisi apa yang ia anggap sebagai ekstremisme dalam advokasi lingkungan.

Namun, kritik terhadap Ulil juga tak kalah kuat, menyoroti kekeliruan logis, pengalihan isu, dan potensi bahaya dari penyederhanaan masalah lingkungan yang kompleks. Realitas di lapangan, seperti kerusakan lingkungan yang nyata akibat tambang yang tidak direklamasi, menjadi bukti bahwa isu ini jauh dari sederhana.

Pada akhirnya, perdebatan ini menggarisbawahi perlunya dialog yang konstruktif, berbasis data, dan menjunjung tinggi integritas intelektual. Mencari “jalan tengah” dalam isu tambang mungkin bukan berarti kompromi buta antara eksploitasi dan konservasi, melainkan sebuah upaya serius untuk menemukan model pembangunan yang berkelanjutan, yang menghormati hak-hak masyarakat terdampak, melindungi lingkungan, dan memastikan bahwa “anugerah” alam benar-benar membawa kemaslahatan bagi seluruh bangsa, tanpa menimbulkan kerusakan yang tak terpulihkan. Diskusi ini tidak hanya tentang Ulil Abshar Abdalla atau tambang semata, tetapi tentang bagaimana kita sebagai bangsa memahami dan menanggapi panggilan untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kelestarian.