Mengungkap Luka Ekonomi Israel: Mengapa Perang 12 Hari Melawan Iran Mengguncang Fondasi Negara?

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Konflik bersenjata di Timur Tengah kerap kali menyedot perhatian dunia, seringkali berfokus pada dinamika militer dan retorika politik. Namun, di balik setiap dentuman rudal dan manuver pasukan, tersembunyi dampak ekonomi dan sosial yang mendalam, yang mampu mengguncang fondasi sebuah negara. Salah satu episode paling krusial yang baru-baru ini terjadi adalah perang 12 hari melawan Iran, ekonomi Israel runtuh—sebuah skenario yang bukan hanya menyoroti ketegangan geopolitik, tetapi juga mengungkap kerentanan finansial yang luar biasa. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana konflik singkat tersebut memukul telak perekonomian Israel, serta implikasi yang lebih luas bagi stabilitas regional dan pasar global.

Mengungkap Luka Ekonomi Israel: Mengapa Perang 12 Hari Melawan Iran Mengguncang Fondasi Negara?

Kronologi Singkat Konflik 12 Hari yang Membara

Ketegangan antara Israel dan Iran telah menjadi bara dalam sekam di Timur Tengah selama beberapa dekade, dengan masing-masing pihak saling menuduh dan mengancam. Pada 13 Juni 2025, bara tersebut kembali menyala menjadi api. Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap Iran, dengan dalih hendak melenyapkan program nuklir militer Iran yang dituduhkan beroperasi secara rahasia. Serangan ini, yang disebut Israel sebagai “Operasi Singa Bangkit,” melibatkan lebih dari 60 jet tempur dan 120 amunisi yang menargetkan situs militer dan nuklir di berbagai wilayah Iran, termasuk peluncur rudal balistik, fasilitas penyimpanan senjata, hingga markas intelijen.

Iran tidak tinggal diam. Pada hari yang sama, Teheran meluncurkan “Operasi Janji Sejati 3,” sebuah serangan balasan yang menghantam sejumlah target militer di Israel. Konflik ini semakin rumit dengan keterlibatan Amerika Serikat. Pada 22 Juni, AS memperkeruh situasi dengan menyerang tiga fasilitas nuklir Iran—Fordo, Natanz, dan Isfahan—dengan rudal dan bom penghancur bunker. Iran mengecam keras tindakan AS ini sebagai pelanggaran hukum internasional dan Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT), menyebutnya sebagai deklarasi perang.

Setelah 12 hari saling serang yang intens, di mana Israel bahkan dilaporkan mulai kehabisan amunisi, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kesepakatan gencatan senjata. Pada 24 Juni 2025, Trump menyatakan bahwa Israel dan Iran telah menyepakati gencatan senjata total. Meskipun pihak Iran maupun Israel belum memberikan komentar resmi, pengumuman ini berhasil meredakan ketegangan di pasar global. Gencatan senjata tersebut mulai berlaku secara bertahap, dengan Iran menghentikan operasi secara sepihak, diikuti oleh Israel 12 jam kemudian, menandai “AKHIR RESMI PERANG 12 HARI” yang diharapkan Trump tidak akan menghancurkan seluruh Timur Tengah.

Biaya Perang yang Tak Terbayangkan: Beban Ekonomi Langsung Israel

Perang, tak peduli seberapa singkatnya, selalu memakan biaya yang sangat besar. Bagi Israel, konflik 12 hari melawan Iran ini membuktikan ungkapan tersebut dengan sangat pahit. Situs web Financial Express melaporkan bahwa dalam minggu pertama serangan saja, Israel menghabiskan sekitar USD5 miliar. Ini berarti biaya harian perang mencapai USD725 juta, di mana USD593 juta dialokasikan untuk operasi ofensif dan USD132 juta untuk tindakan pertahanan serta mobilisasi militer.

Angka-angka ini semakin membengkak ketika mempertimbangkan biaya sistem pertahanan udara. The Wall Street Journal mengungkapkan bahwa sistem antirudal seperti Iron Dome menelan biaya antara USD10 juta hingga USD200 juta per hari. Lembaga Kebijakan Ekonomi Aaron yang berbasis di Israel bahkan memperkirakan bahwa jika konflik ini berlanjut selama sebulan penuh, total biaya bisa melonjak hingga lebih dari USD12 miliar. Namun, Naser Abdelkarim, asisten profesor keuangan di Universitas Amerika Palestina, memberikan angka yang lebih mencengangkan: secara langsung dan tidak langsung, perang ini bisa merugikan Israel hingga USD20 miliar, termasuk kerugian akibat terganggunya aktivitas produksi negara.

Peningkatan Defisit Anggaran

Salah satu dampak paling langsung dari pengeluaran militer yang masif ini adalah peningkatan signifikan dalam defisit anggaran Israel. Abdelkarim memperkirakan defisit anggaran akan meningkat sebesar 6%. Angka ini mencerminkan tekanan besar pada keuangan publik yang sudah ada sebelumnya, diperparah oleh kebutuhan mendesak untuk mendanai operasi militer.

Tekanan pada Anggaran Publik

Untuk menutupi defisit yang terus melebar, pemerintah Israel dihadapkan pada pilihan-pilihan pahit. Tiga langkah utama sedang dipertimbangkan:

  • Memangkas belanja publik: Ini berarti pengurangan anggaran untuk sektor-sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan, yang secara langsung akan berdampak pada kualitas hidup warga negara.
  • Menaikkan pajak: Langkah ini akan membebani rakyat dengan tambahan pungutan, berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi daya beli masyarakat.
  • Menggunakan pinjaman: Opsi ini akan meningkatkan rasio utang publik terhadap pendapatan nasional, yang diperkirakan bisa melonjak hingga lebih dari 75%, menciptakan beban finansial jangka panjang bagi generasi mendatang.

Penipisan Cadangan Keuangan

Kementerian Keuangan Israel sendiri mengakui bahwa keuangan negara menipis dengan cepat. Mereka bahkan meminta transfer dana sebesar USD857 juta untuk Kementerian Pertahanan, sementara pada saat yang sama meminta pemotongan USD200 juta dari kementerian kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial. Ironisnya, sebagian besar dana militer ini digunakan untuk menggaji sekitar 450.000 tentara cadangan yang dikerahkan dalam mobilisasi skala besar, menunjukkan betapa perang menggeser prioritas anggaran secara drastis dari kesejahteraan rakyat ke kebutuhan militer.

Dampak Sosial dan Infrastruktur: Jauh dari Medan Perang

Selain kerugian finansial langsung, konflik 12 hari ini juga membawa dampak sosial dan infrastruktur yang parah bagi Israel. Medan perang tidak hanya terbatas pada garis depan, melainkan meluas hingga ke permukiman sipil.

Pada minggu pertama perang, lebih dari 10.000 warga Israel terpaksa mengungsi dari rumah mereka demi keselamatan. Angka ini diikuti oleh sekitar 36.465 orang yang mengajukan kompensasi kepada Otoritas Pajak Israel akibat kerusakan yang dialami bangunan mereka. Serangan rudal Iran dilaporkan menghantam langsung beberapa kota besar, termasuk Tel Aviv, Ramat Gan (tempat Bursa Efek Israel), Holon, dan Be’er Sheva. Di Tel Aviv, ledakan besar terdengar di wilayah metropolitan, dan di Ramat Gan, sekitar 15 orang terluka. Rumah Sakit Wolfson menerima 16 korban luka, dengan 3 di antaranya kritis, akibat hantaman rudal di Holon.

Yang paling mengkhawatirkan adalah serangan yang menghantam Rumah Sakit Soroka di Be’er Sheva, yang juga diketahui menangani tentara yang terluka di Gaza. Meskipun Wakil Menteri Luar Negeri Israel membantah bahwa lokasi tersebut adalah pangkalan militer, laporan media Iran menyebutkan bahwa target sebenarnya adalah markas intelijen militer Israel yang terletak di dekat rumah sakit, dan fasilitas medis tersebut terkena dampak gelombang ledakan. Serangan ini menyebabkan kerusakan besar dan kebakaran di setidaknya lima lokasi di wilayah metropolitan Tel Aviv, serta kekhawatiran adanya korban yang terjebak di bawah reruntuhan.

Di sisi lain, laporan dari pejabat AS yang tidak disebutkan namanya kepada NBC News mengindikasikan bahwa Israel mulai kehabisan sejumlah senjata penting, terutama amunisi, setelah melancarkan serangan besar-besaran. Ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki kekuatan militer yang canggih, konflik berkepanjangan dapat menguras cadangan logistik dan finansial bahkan bagi negara yang memiliki anggaran pertahanan besar.

Opsi Pahit Pemerintah Israel Menghadapi Krisis

Menghadapi defisit anggaran yang menganga dan kebutuhan dana yang mendesak untuk militer, pemerintah Israel berada di persimpangan jalan dengan pilihan-pilihan yang sulit dan tidak populer. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pemangkasan belanja publik, kenaikan pajak, atau penambahan utang negara menjadi opsi utama.

Keputusan untuk memangkas anggaran di sektor kesehatan dan pendidikan, seperti yang diminta oleh Kementerian Keuangan untuk mentransfer dana ke Kementerian Pertahanan, adalah langkah yang sangat kontroversial. Ini berarti masyarakat akan menanggung beban langsung dari konflik, dengan akses layanan dasar yang berpotensi berkurang. Kenaikan pajak, di sisi lain, akan mengurangi daya beli dan investasi, memperlambat pemulihan ekonomi pasca-konflik. Sementara itu, penambahan utang akan membebani generasi mendatang dengan kewajiban finansial yang besar, mengurangi ruang fiskal untuk investasi produktif di masa depan.

Situasi ini mencerminkan dilema yang dihadapi banyak negara dalam kondisi perang: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan mendesak untuk pertahanan dengan tanggung jawab terhadap kesejahteraan jangka panjang rakyat. Dalam kasus Israel, perang 12 hari melawan Iran, ekonomi Israel runtuh bukan hanya narasi kegagalan militer, tetapi juga krisis prioritas nasional.

Gejolak Pasar Global: Efek Domino Gencatan Senjata

Dampak konflik Israel-Iran tidak hanya terbatas pada kedua negara yang bertikai, tetapi juga merambat ke pasar global. Ketegangan yang memanas sempat menyebabkan kecemasan investor, yang kemudian mereda drastis setelah pengumuman gencatan senjata.

Sebelum gencatan senjata, kekhawatiran akan eskalasi konflik di Timur Tengah telah memicu volatilitas pasar. Namun, begitu Presiden Trump mengumumkan kesepakatan, pasar bereaksi positif. Indeks saham global melonjak tajam: Wall Street menguat signifikan, dengan Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq Composite semuanya naik. Bursa Eropa, seperti EURO STOXX 50 dan FTSE Inggris, juga ikut melesat. Di Asia, Indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang dan Nikkei Jepang turut menguat. Hal ini menunjukkan bahwa investor menilai risiko perang skala besar antara Iran dan Israel telah menurun, memicu sentimen “risk-on” di pasar, di mana investor lebih bersedia membeli aset berisiko.

Sebaliknya, harga minyak mentah anjlok drastis. Harga minyak di New York Mercantile Exchange (NYMEX) terjun lebih dari 15% dari puncaknya. Fenomena ini menguntungkan bagi negara-negara yang sangat bergantung pada impor minyak, seperti India. Rupee India (INR) melesat mendekati 86,10 terhadap Dolar AS (USD), karena inflasi mereda dan defisit neraca berjalan menyusut jika harga minyak tetap rendah. Di sisi lain, Dolar AS (DXY) melemah karena menurunnya daya tariknya sebagai aset safe haven, seiring dengan membaiknya sentimen risiko global dan perubahan sikap pejabat Federal Reserve terkait prospek kebijakan moneter yang mengindikasikan kemungkinan pemotongan suku bunga.

Dimensi Geopolitik dan Perang Simbolis

Konflik 12 hari ini juga menyoroti kompleksitas geopolitik dan perang simbolis yang terjadi di balik layar.

Program Nuklir dan Integritas Internasional

Isu program nuklir menjadi pemicu utama konflik. Iran, sebagai anggota Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT), mengklaim program nuklirnya hanya untuk tujuan damai, seperti energi. Namun, kemampuannya untuk memperkaya uranium hingga 60% menimbulkan kekhawatiran, meskipun masih di bawah 90% yang dibutuhkan untuk senjata nuklir. Perjanjian nuklir JCPOA yang disepakati pada 2015, yang membatasi program nuklir Iran, berantakan setelah AS keluar pada 2018.

Di sisi lain, Israel tidak pernah secara resmi mengakui memiliki senjata nuklir, tetapi juga tidak pernah membantahnya. Israel bukan anggota NPT dan tidak tunduk pada pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Dunia meyakini Israel memiliki antara 90 hingga 200 hulu ledak nuklir, sebuah keyakinan yang diperkuat oleh pengakuan Mordechai Vanunu, mantan pekerja proyek nuklir Israel yang membocorkan rahasia tersebut pada 1986. Serangan AS terhadap situs nuklir Iran, yang diawasi oleh IAEA, menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas hukum internasional dan netralitas lembaga-lembaga PBB.

Jaringan Sekutu dan Keseimbangan Kekuatan

Iran selama ini dikenal membangun “poros perlawanan” yang terdiri dari kelompok-kelompok militan seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, Houthi di Yaman, dan milisi di Irak. Namun, para pakar keamanan menilai jaringan ini dalam kondisi terlemahnya dalam 40 tahun terakhir, dengan banyak sekutu yang melemah atau digulingkan dari kekuasaan. Ini, menurut analis, memungkinkan Israel untuk melancarkan serangan.

Sebaliknya, Amerika Serikat adalah sekutu utama Israel, dan keterlibatan AS dalam konflik ini menunjukkan dukungan kuatnya. Meskipun demikian, sekutu global utama Iran seperti Rusia dan Tiongkok hanya memberikan dukungan retorika, tanpa ada indikasi dukungan militer langsung. Mereka lebih memilih untuk tidak terlibat langsung dalam konflik di Timur Tengah.

Perang Psikologis dan Narasi Identitas

Konflik ini juga melibatkan perang psikologis dan narasi identitas yang mendalam. Israel menamai serangannya “Operasi Rising Lion” (Singa yang Bangkit) dan secara terbuka mengaitkannya dengan lambang singa dan matahari, ikon monarki Iran sebelum Revolusi 1979. Ini adalah upaya untuk menggoyahkan legitimasi rezim Iran saat ini dan memberi isyarat dukungan pada kelompok oposisi. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan mengutip ayat dari Kitab Bilangan yang menggambarkan Israel sebagai bangsa yang kuat dan tak terkalahkan, seperti singa yang bangkit.

Di sisi lain, Presiden Trump menggunakan retorika “perubahan rezim” yang kontroversial, mempertanyakan mengapa tidak ada perubahan rezim di Iran jika pemerintahannya tidak dapat “MEMBUAT IRAN HEBAT LAGI.” Ketidakkonsistenan pesan AS antara menargetkan program nuklir dan retorika perubahan rezim menciptakan ambiguitas yang dapat dieksploitasi oleh Iran. Ini menunjukkan bahwa konflik ini bukan hanya tentang militer, tetapi juga tentang perebutan narasi dan identitas nasional.

Refleksi: Lebih dari Sekadar Angka dan Peluru

Perang 12 hari antara Israel dan Iran, yang menyebabkan ekonomi Israel runtuh secara signifikan, adalah pengingat tajam bahwa konflik bersenjata memiliki konsekuensi yang jauh melampaui medan perang. Ini adalah cerminan kerapuhan ekonomi di tengah gejolak, dan kompleksitas geopolitik yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan.

Dampak jangka panjang dari konflik ini akan terus terasa. Kepercayaan publik terhadap pemerintah Israel mungkin akan terkikis akibat pemangkasan layanan dasar dan peningkatan beban finansial. Stabilitas regional akan tetap menjadi tanda tanya besar, mengingat retorika dan tindakan agresif yang terus berlanjut. Prioritas anggaran akan selamanya bergeser ke arah pertahanan, mengorbankan investasi dalam pembangunan dan kesejahteraan sosial.

Pelajaran yang dapat diambil dari episode ini sangat jelas: biaya konflik bersenjata tidak hanya diukur dari jumlah peluru yang ditembakkan atau nyawa yang melayang, tetapi juga dari luka ekonomi yang dalam, beban sosial yang tak terlihat, dan ketidakpastian yang diciptakan bagi masa depan.

Kesimpulan

Singkatnya, perang 12 hari melawan Iran, ekonomi Israel runtuh adalah hasil langsung dari pengeluaran militer yang membengkak, gangguan signifikan pada aktivitas produksi, dan beban sosial yang besar berupa kerusakan infrastruktur dan kebutuhan kompensasi bagi warga. Konflik singkat ini telah mendorong Israel ke ambang defisit anggaran yang mengkhawatirkan, memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan langkah-langkah drastis yang akan membebani rakyat.

Di tingkat global, gencatan senjata memang meredakan ketegangan pasar, menyebabkan harga minyak anjlok dan bursa saham melonjak, namun dinamika geopolitik yang lebih luas—termasuk isu program nuklir kedua negara, peran AS, dan perang simbolis—menunjukkan bahwa perdamaian yang sejati masih jauh dari jangkauan. Konflik ini mengubah lanskap politik dan ekonomi regional, dan menjadi pengingat pahit akan betapa mahalnya harga sebuah perang, bahkan yang berlangsung sangat singkat sekalipun.

Memahami konsekuensi mendalam dari setiap konflik bersenjata, bukan hanya dari sudut pandang militer tetapi juga kemanusiaan dan ekonomi, adalah krusial bagi kita semua. Mari terus ikuti perkembangan ini dan renungkan dampak-dampak yang seringkali terabaikan di balik hiruk-pikuk berita utama.