Dunia hukum dan politik Indonesia kembali dihadapkan pada sorotan tajam seiring bergulirnya persidangan kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, atau akrab disapa Tom Lembong. Dalam pusaran kasus yang ditaksir merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah ini, sebuah perkembangan signifikan mencuat: Tom Lembong secara tegas menyatakan tolak hasil audit BPKP. Penolakan ini bukan tanpa dasar; ia memaparkan tiga alasan krusial yang dinilai fundamental, sekaligus memicu perdebatan sengit tentang integritas dan metodologi audit keuangan negara. Mengapa penolakan ini penting, dan apa saja pilar argumen yang diajukan oleh Tom Lembong? Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek, memberikan perspektif mendalam yang relevan bagi pembaca yang ingin memahami kompleksitas kasus ini.
Latar Belakang Kasus: Pusaran Impor Gula dan Tuduhan Kerugian Negara
Kasus yang menjerat Tom Lembong berakar pada dugaan korupsi dalam kegiatan importasi gula pada periode 2015-2016, saat ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Kejaksaan Agung menuduh perbuatan Tom Lembong dan para tersangka lainnya telah menyebabkan kerugian keuangan negara yang signifikan. Berdasarkan laporan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian tersebut diperkirakan mencapai angka fantastis, yakni Rp578,1 miliar. Angka ini merupakan revisi dari estimasi awal sekitar Rp400 miliar yang sempat disebutkan sebelumnya, menyusul penetapan tersangka baru dari pihak swasta.
Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) menyebutkan bahwa Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Tuduhan utamanya adalah penerbitan surat pengakuan impor atau persetujuan impor gula kristal mentah kepada 10 perusahaan tanpa didasarkan pada rapat koordinasi antarkementerian (rakortas) dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Selain itu, Tom Lembong juga dituduh menunjuk perusahaan non-BUMN seperti Induk Koperasi Kartika (Inkopkar), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Puskoppol), serta Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI/Polri, alih-alih BUMN, untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula. Penugasan ini, menurut JPU, diberikan kepada perusahaan yang seharusnya tidak berhak mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih karena merupakan perusahaan gula rafinasi.
Di sisi lain, tim kuasa hukum Tom Lembong, yang dipimpin oleh Ari Yusuf Amir, telah menyatakan keberatan atas dakwaan jaksa. Mereka berargumen bahwa kliennya dipaksa bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak lain, bahkan menuding Jaksa Penuntut Umum telah melakukan error in persona (kesalahan dalam menunjuk orang yang didakwa) dalam perkara ini. Persidangan perdana Tom Lembong sendiri telah dilaksanakan pada 6 Maret 2025 di Pengadilan Tipikor Jakarta, dengan agenda pembacaan dakwaan.
Mengapa Tom Lembong Menolak? Tiga Pilar Keberatan Utama
Dalam sidang yang penuh sorotan, Tom Lembong secara resmi menolak hasil audit BPKP yang diajukan sebagai bukti perkara. Menurutnya, laporan audit tersebut sarat dengan kesalahan mendasar, bahkan ia menyebutnya “kacau balau”. Tiga alasan utama penolakan ini menjadi inti dari strategi pembelaannya:
1. Kekeliruan Fatal dalam Dasar Hukum dan Interpretasi Aturan
Salah satu poin keberatan utama Tom Lembong adalah terkait dasar hukum yang digunakan BPKP dalam menyimpulkan adanya penyimpangan pada kegiatan importasi gula 2015-2016. Ia menyoroti interpretasi BPKP terhadap aturan mengenai harga minimum yang secara keliru disebut sebagai harga maksimum. “Misalnya, ada aturan mengenai harga minimum oleh BPKP yang dibilang harga maksimum. Itu kekeliruan yang sangat sederhana tapi fatal,” ujar Tom Lembong, menegaskan bahwa kesalahan interpretasi ini berakibat fatal pada kesimpulan audit.
Lebih lanjut, pihak Tom Lembong juga mempertanyakan kewenangan BPKP dalam menentukan adanya perbuatan melawan hukum. Auditor BPKP Chusnul Khotimah sendiri dalam kesaksiannya mengakui bahwa BPKP hanya berwenang menghitung dan melaporkan temuan audit kepada penyidik, serta melakukan audit investigatif terhadap kasus yang berindikasi merugikan keuangan negara. Mereka hanya melaporkan “ketidaksesuaian” atau “penyimpangan”, bukan menentukan “perbuatan melawan hukum” secara yuridis.
Isu terkait rapat koordinasi terbatas (rakortas) juga menjadi sorotan. Hasil audit BPKP menemukan penyimpangan karena kegiatan importasi gula tidak melalui rakortas. Namun, mantan Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Lukita Dinarsyah Tuwo, dalam sidang sebelumnya, menyatakan bahwa tidak ada laporan mengenai realisasi atau persetujuan impor gula untuk tiga penugasan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan Induk Koperasi Kartika (Inkopkar) dalam risalah rakortas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 29 April 2016. Lukita menjelaskan bahwa dalam rakortas yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, pembahasan importasi gula hanya mencakup penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sedangkan penugasan kepada non-BUMN tidak pernah dibahas. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan pemahaman atau lingkup wewenang antara institusi yang dapat mempengaruhi validitas temuan BPKP.
2. Metodologi Perhitungan Kerugian Negara yang Dipertanyakan
Aspek kedua yang dipermasalahkan Tom Lembong adalah metodologi perhitungan kerugian keuangan negara yang digunakan oleh BPKP. Ia secara spesifik menyoroti klaim BPKP bahwa PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), yang ditugaskan Kementerian Perdagangan untuk melakukan operasi pasar demi stabilisasi harga, membeli gula dengan harga terlalu mahal.
Tom Lembong membantah keras klaim ini, menyatakan bahwa harga yang dibayar PPI justru jauh di bawah harga lelang gula dalam negeri. “Padahal harga yang dia bayar jauh di bawah harga lelang gula dalam negeri. Jadi, metodologi atau pendekatan BPKP juga salah,” tuturnya. Argumen ini menyiratkan bahwa BPKP mungkin telah menggunakan pembanding harga yang tidak tepat atau mengabaikan konteks pasar saat itu, sehingga menghasilkan kesimpulan kerugian yang tidak akurat. Jika harga beli PPI lebih rendah dari harga lelang domestik, maka klaim kerugian negara karena “kemahalan” pembelian menjadi sangat problematis.
3. Audit BPKP Dinilai “Kacau Balau” dengan Banyak Kesalahan Perhitungan
Poin ketiga, dan mungkin yang paling mengejutkan bagi Tom Lembong, adalah temuan banyaknya kekeliruan dalam perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP. Ia menggambarkan kondisi audit tersebut sebagai “kacau balau”, baik laporan auditnya sendiri maupun keterangan ahli BPKP di persidangan.
Tom Lembong menyatakan dirinya “cukup shock” dan “agak terheran-heran” karena menemukan begitu banyak kesalahan mendasar, termasuk:
- Kesalahan input data: Data-data yang dimasukkan ke dalam perhitungan disebut tidak akurat.
- Kesalahan penggunaan rumus: Formula yang digunakan untuk menghitung kerugian dinilai salah.
- Kesalahan perhitungan matematika sederhana: Bahkan kesalahan pada tingkat perhitungan dasar ditemukan di berbagai bagian laporan.
Tim kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, menegaskan bahwa kesalahan ini bukan hanya pada satu bagian, melainkan tersebar di banyak kolom dan lampiran. “Setelah kita challenge, mereka baru mengakui itu salah penulisan, terutama dalam konteks NDPBN. Tapi ini bukan satu kolom, ini lebih dari sepuluh lampiran salah semua,” ungkap Zaid. Lebih lanjut, Zaid juga menggarisbawahi bahwa BPKP tidak dapat menjelaskan kausalitas atau hubungan sebab-akibat antara tindakan Tom Lembong dan angka kerugian keuangan negara yang diklaim. “Sayangnya, kausalitas itu tidak dijelaskan sama sekali,” tegasnya, menunjukkan adanya keraguan serius terhadap validitas dan objektivitas audit.
Polemik Prosedural dan Transparansi Audit
Selain substansi penolakan, kasus Tom Lembong juga menyoroti polemik prosedural terkait transparansi dan hak terdakwa atas hasil audit BPKP. Sejumlah sumber mengindikasikan bahwa Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka sebelum hasil audit BPKP secara final dan lengkap diserahkan kepadanya. Ia bahkan mengaku kaget baru diperiksa oleh BPKP untuk kebutuhan klarifikasi setelah tiga bulan ditahan. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang profesionalisme penyidikan dan validitas penetapan tersangka.
Tim kuasa hukum Tom Lembong telah berulang kali meminta salinan hasil audit BPKP, menegaskan bahwa ini adalah hak terdakwa berdasarkan sejumlah pasal dalam hukum Indonesia, termasuk:
- Pasal 1 angka 9 KUHAP juncto Pasal 4 Ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 72 KUHAP: Menjamin hak terdakwa dan penasihat hukum untuk mengakses dokumen relevan dalam pembelaan.
- Pasal 39 Ayat 2 UU BPK juncto putusan MK Nomor 31/2012: Menyatakan hasil audit perhitungan keuangan negara harus dibuka kepada terdakwa agar dapat diuji dalam persidangan dan diakses oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.
Pakar Hukum Keuangan Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Dian Puji Nugraha Simatupang, menilai tidak diserahkannya laporan audit BPKP adalah langkah keliru dan mempertanyakan kualitas serta substansi audit. Ia menekankan bahwa audit BPKP sangat krusial sebagai dasar penentuan kerugian negara, yang merupakan unsur penting dalam tindak pidana korupsi. Sementara itu, pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menganggap kegagalan menyampaikan laporan audit BPKP sebagai bentuk Contempt of Court (penghinaan terhadap pengadilan) dan Obstruction of Justice (penghalangan keadilan), bahkan dapat menyebabkan proses hukum yang tidak adil atau “peradilan sesat”.
Merespons desakan ini, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta akhirnya memerintahkan jaksa penuntut umum untuk menyerahkan salinan audit BPKP kepada pihak Tom Lembong. Perintah ini bertujuan agar Tom Lembong dan penasihat hukumnya memiliki waktu yang cukup untuk mempelajari audit, sehingga persidangan dapat berjalan seimbang dan adil.
Perspektif Lain: Hukum, Politik, dan Implikasi Lebih Luas
Kasus Tom Lembong ini juga memicu diskusi lebih luas mengenai definisi korupsi dan implikasinya. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, misalnya, menjelaskan bahwa korupsi dalam hukum Indonesia tidak hanya mengenai adanya aliran dana yang masuk ke rekening pribadi. Rumus korupsi adalah “memperkaya diri atau orang lain” secara tidak wajar dan “dengan melanggar hukum”. Menurut Mahfud, kedua unsur ini telah terpenuhi dalam kasus Tom Lembong, terlepas dari ada tidaknya aliran dana yang diterima langsung olehnya.
Selain itu, muncul pula dugaan kriminalisasi terhadap Tom Lembong, mengingat kebijakan serupa terkait impor gula juga dilakukan oleh menteri perdagangan sebelumnya maupun sesudahnya, tanpa adanya jeratan hukum. Isu ini menambah dimensi politik pada kasus yang sedang berlangsung, mengundang pertanyaan tentang penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu.
Di luar konteks pidana, Tom Lembong sendiri pernah mengungkapkan penyesalannya pernah menjadi bagian dari pemerintah, merasa banyak strategi yang dijalankannya belum membuahkan hasil atau bahkan gagal. Ia menyoroti stagnasi kelas menengah di Indonesia dan fokus kebijakan ekonomi pada investasi padat modal alih-alih padat karya. Meskipun pernyataan ini lebih terkait dengan pandangan ekonomi makro, tidak menutup kemungkinan adanya korelasi dengan persepsinya terhadap sistem dan proses di dalam pemerintahan yang mungkin kurang efisien atau transparan. Kasus ini, dengan segala polemiknya, menjadi ujian bagi sistem peradilan Indonesia dalam menjamin objektivitas, transparansi, dan keadilan, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan pejabat publik dan kerugian negara.
Kesimpulan
Penolakan Tom Lembong terhadap hasil audit BPKP dalam kasus dugaan korupsi impor gula adalah titik krusial dalam persidangan. Tiga alasan utamanya—kekeliruan mendasar dalam dasar hukum dan interpretasi aturan, metodologi perhitungan kerugian negara yang dipertanyakan, serta banyaknya kesalahan perhitungan yang dinilai “kacau balau” dalam audit—menjadi landasan argumen yang kuat dari pihak terdakwa.
Polemik ini tidak hanya berkutat pada angka dan metodologi audit, tetapi juga menyentuh aspek fundamental keadilan, transparansi, dan hak-hak terdakwa dalam proses hukum. Desakan dari berbagai pihak, termasuk pakar hukum, agar hasil audit BPKP dibuka secara transparan kepada terdakwa, serta perintah hakim untuk menyerahkan salinan audit, menunjukkan pentingnya objektivitas dalam setiap tahapan penegakan hukum.
Kasus Tom Lembong ini menjadi cerminan bagaimana lembaga audit negara dan proses peradilan diuji di hadapan publik. Perkembangan selanjutnya akan sangat menentukan tidak hanya nasib Tom Lembong, tetapi juga preseden bagi penanganan kasus-kasus korupsi di masa mendatang, terutama yang melibatkan perhitungan kerugian negara oleh lembaga auditor. Masyarakat luas akan terus menanti bagaimana pengadilan akan menyikapi keberatan-keberatan ini dan menegakkan prinsip keadilan yang sejati.