Menguak Klaim Berakhirnya SK Kepengurusan PDI-P Agustus 2024: Mengapa Gugatan Hukum Kembali Mencuat?

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Dalam lanskap politik Indonesia yang dinamis, setiap langkah dan keputusan partai politik besar kerap menjadi sorotan publik. Belakangan ini, perhatian tertuju pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) seiring dengan mencuatnya kembali gugatan hukum terhadap Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia. Gugatan ini secara spesifik mempersoalkan perpanjangan masa bakti kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P, dengan klaim bahwa masa kepengurusan seharusnya telah berakhir pada Agustus 2024. Perkara ini tak hanya menarik dari sisi hukum tata negara, tetapi juga mengundang pertanyaan seputar interpretasi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai, serta implikasi politis yang mungkin timbul. Artikel ini akan mengupas tuntas duduk perkara di balik gugatan sk kepengurusan PDI-P digugat, kepengurusan diklaim berakhir Agustus 2024, menawarkan perspektif mendalam yang mudah dicerna oleh khalayak umum.

Menguak Klaim Berakhirnya SK Kepengurusan PDI-P Agustus 2024: Mengapa Gugatan Hukum Kembali Mencuat?

Akar Permasalahan: Gugatan SK Kepengurusan PDI-P di PTUN Jakarta

Gugatan hukum yang kini tengah bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta diajukan oleh dua individu yang mengklaim sebagai kader PDI-P, yakni Johannes Anthonius Manoppo dan Gogot Kusumo Wibowo. Melalui kuasa hukum mereka, Anggiat BM Manalu, para penggugat menargetkan SK Menkumham Nomor M.HH-05.AH.11.02.Tahun 2024. SK tersebut mengesahkan perpanjangan masa kepengurusan DPP PDI-P periode 2019-2024 hingga tahun 2025.

Perkara ini tercatat dengan nomor register 113/G/2025/PTUN.JKT dan telah didaftarkan pada Kamis, 27 Maret 2025. Dalam proses persidangan, Kementerian Hukum dan HAM bertindak sebagai pihak tergugat utama, sementara DPP PDI-P turut serta sebagai pihak tergugat intervensi. Gugatan ini bukanlah yang pertama kali muncul terkait perpanjangan SK kepengurusan PDI-P. Sebelumnya, pada 9 September 2024, gugatan serupa dengan nomor perkara 311/G/2024/PTUN.JKT juga pernah diajukan oleh empat kader PDI-P lainnya, yaitu Pepen Noor, Ungut, Ahmad, dan Endang Indra Saputra (serta Djupri, Jairi, Manto, Suwari, dan Sujoko dalam beberapa sumber). Namun, gugatan sebelumnya tersebut kemudian dicabut oleh para penggugat, yang belakangan mengaku merasa dimanipulasi dan hanya diminta menandatangani berkas kosong dengan iming-iming tertentu. Kejadian ini menambah lapisan kompleksitas dan dugaan adanya “drama” di balik serangkaian gugatan yang menyasar internal PDI-P.

Mencermati Klaim Berakhirnya Masa Bakti Kepengurusan pada Agustus 2024

Inti dari gugatan yang dilayangkan oleh Anthonius Manoppo dan Gogot Kusumo Wibowo terletak pada klaim bahwa perpanjangan masa kepengurusan DPP PDI-P hingga 2025 telah melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai itu sendiri. Menurut Anggiat BM Manalu, masa jabatan kepengurusan DPP PDI-P periode 2019-2024 seharusnya secara otomatis berakhir pada 8 Agustus 2024 (atau 9 Agustus 2024, mengingat Kongres V partai digelar pada 9 Agustus 2019).

Argumentasi ini didasarkan pada ketentuan krusial dalam AD/ART PDI-P, khususnya Pasal 17. Pasal tersebut secara eksplisit menetapkan bahwa masa bakti kepengurusan DPP adalah lima tahun. Selain itu, Pasal 70 AD/ART PDI-P menegaskan bahwa perubahan terhadap struktur atau masa bakti kepengurusan hanya dapat dilakukan melalui kongres partai, sebuah forum tertinggi pengambilan keputusan yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Ketentuan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 mengenai Partai Politik, yang juga mengatur bahwa perubahan AD/ART harus berdasarkan hasil forum tertinggi partai. Oleh karena itu, para penggugat berpendapat bahwa perpanjangan kepengurusan tanpa melalui mekanisme kongres merupakan tindakan yang tidak sah secara hukum internal partai.

Polemik Hak Prerogatif Ketua Umum: Interpretasi AD/ART PDI-P

Pihak PDI-P, dalam menanggapi gugatan ini, berpegang pada argumen bahwa perpanjangan masa bakti kepengurusan adalah bagian dari hak prerogatif Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri. Namun, klaim ini menjadi salah satu titik perselisihan utama dalam persidangan.

Kuasa hukum penggugat, Anggiat BM Manalu, menyatakan bahwa setelah mencermati secara seksama seluruh isi AD/ART PDI-P dan hasil-hasil ketetapan Kongres V, tidak ditemukan adanya pemberian hak prerogatif secara eksplisit kepada Ketua Umum untuk memperpanjang masa kepengurusan tanpa melalui kongres. Anggiat mengakui adanya frasa “hak prerogatif” dalam AD/ART, tetapi menegaskan bahwa konteks penggunaannya tidak mencakup perpanjangan masa jabatan.

Untuk memahami lebih lanjut, mari kita telaah Pasal 15 AD/ART PDI-P yang mengatur tujuh hak prerogatif Ketua Umum PDI-P:

  1. Mengambil sikap yang diperlukan atas nama partai apabila negara dalam keadaan darurat.
  2. Mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga keutuhan organisasi dan ideologi partai.
  3. Menentukan perubahan sikap politik Partai dalam hal pemerintahan tidak menjalankan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan program-program pemerintahan yang tidak sesuai dengan Trisakti.
  4. Menentukan pelaksanaan Kongres.
  5. Mengajukan calon ketua umum partai kepada Kongres Partai.
  6. Memutuskan calon presiden dan/atau calon wakil presiden serta calon menteri dan/atau calon wakil menteri.
  7. Mengganti personalia DPP Partai.

Dari poin-poin di atas, terlihat bahwa hak prerogatif Ketua Umum PDI-P berfokus pada pengambilan keputusan strategis dalam kondisi darurat, menjaga integritas partai, menentukan arah politik, serta penentuan calon-calon penting dalam struktur pemerintahan dan kepartaian. Meskipun ada poin “mengganti personalia DPP Partai,” para penggugat berargumen bahwa hal ini berbeda dengan memperpanjang masa bakti seluruh kepengurusan tanpa mekanisme kongres.

Di sisi lain, Ketua DPP Bidang Reformasi Hukum Nasional PDI-P, Ronny Talapessy, memiliki pandangan berbeda. Ia berpendapat bahwa hak prerogatif Ketua Umum untuk “mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga keutuhan organisasi dan ideologi Partai” (Pasal 15 ART bagian b) cukup untuk membenarkan perpanjangan kepengurusan. Ronny juga mencontohkan percepatan kongres pada tahun 2019 yang seharusnya di tahun 2020, sebagai bukti bahwa hak prerogatif Ketua Umum telah digunakan dalam penyesuaian agenda politik partai dan dijamin oleh konstitusi partai. Argumen ini menunjukkan adanya perbedaan interpretasi yang fundamental terhadap ruang lingkup hak prerogatif Ketua Umum dalam tubuh PDI-P itu sendiri.

Dugaan Konflik Kepentingan dan Latar Belakang Gugatan

Selain perdebatan seputar interpretasi AD/ART dan hak prerogatif, gugatan ini juga diwarnai dengan dugaan konflik kepentingan. Anggiat BM Manalu menyinggung potensi konflik kepentingan ini, mengingat Menteri Hukum dan HAM yang menjabat saat SK perpanjangan dikeluarkan adalah Yasonna H. Laoly, seorang kader PDI-P yang kala itu masih aktif dalam struktur partai. Spekulasi ini menambah dimensi politis pada gugatan yang seharusnya murni bersifat hukum tata usaha negara.

Lebih jauh, latar belakang gugatan ini juga tidak lepas dari “drama” yang pernah terjadi sebelumnya. Sebagaimana disebutkan, gugatan pertama (nomor perkara 311/G/2024/PTUN.JKT) yang diajukan oleh beberapa kader PDI-P lainnya, akhirnya dicabut. Para penggugat kala itu mengaku telah dijebak dan ditipu oleh seorang pengacara yang disebut bernama Anggiat BM Manalu (nama yang sama dengan kuasa hukum gugatan saat ini), dengan hanya diberikan kertas kosong untuk ditandatangani di atas materai, tanpa penjelasan maksud dan tujuannya. Kertas kosong tersebut kemudian digunakan sebagai surat kuasa untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai motif di balik gugatan-gugatan tersebut dan apakah ada pihak-pihak yang berupaya memanfaatkan isu ini untuk kepentingan tertentu.

Tak hanya itu, kuasa hukum penggugat dalam gugatan terbaru ini juga mengklaim adanya berbagai bentuk intimidasi dan iming-iming agar kliennya mencabut gugatan. Hal ini mengindikasikan tekanan yang kuat dari berbagai pihak terhadap proses hukum yang sedang berjalan.

Tuntutan Penggugat dan Respons PDI-P

Dalam dokumen gugatan yang telah disampaikan ke PTUN Jakarta, para penggugat, Johannes Anthonius Manoppo dan Gogot Kusumo Wibowo, memiliki tuntutan (petitum) yang jelas dan tegas:

  1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.
  2. Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-05.AH.11.02.Tahun 2024 Tentang Pengesahan Struktur, Komposisi, dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat PDI-P Masa Bakti 2024-2025.
  3. Mewajibkan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia untuk mencabut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-05.AH.11.02.Tahun 2024 Tentang Pengesahan Struktur, Komposisi, dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat PDI-P Masa Bakti 2024-2025.
  4. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara.

Menanggapi tuntutan ini, pihak PDI-P telah memberikan berbagai pernyataan yang menunjukkan sikap tegas dan keyakinan akan penolakan gugatan. Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevry Sitorus, secara terbuka menyatakan bahwa ia memandang gugatan ini bukan sebagai langkah hukum murni, melainkan sebagai sebuah “langkah politik yang keterlaluan” dan “serangan politik” terhadap partai. Deddy berargumen bahwa tidak ada kerugian moral maupun materiil bagi pihak penggugat, dan ia mencium “aroma politik” yang kental, menduga adanya afiliasi pengacara penggugat dengan partai politik tertentu.

Deddy juga menegaskan bahwa proses perpanjangan kepengurusan di DPP PDI-P telah melalui mekanisme yang benar, dikaji secara mendalam sesuai aturan dan konstitusi partai, serta telah melalui pengkajian hukum di Kemenkumham. Ia bahkan menyebut logika penggugat sebagai “sesat logika” karena jika diikuti, dampaknya akan sangat besar dan bisa berujung pada krisis kenegaraan. Sebagai contoh, Deddy menyebut bahwa PDI-P pada tahun 2019 mempercepat kongres untuk menyesuaikan agenda politik nasional. Jika SK yang dikeluarkan setelah percepatan kongres tersebut dianggap tidak sah, maka keputusan-keputusan penting yang dikeluarkan setelahnya, termasuk pemilihan kepala daerah, juga bisa dianggap cacat hukum. Implikasinya, status calon wakil presiden seperti Gibran Rakabuming Raka, yang terpilih menjadi Wali Kota Solo berdasarkan SK DPP PDI-P hasil percepatan kongres, juga bisa dipertanyakan.

Selain itu, Ketua DPP Bidang Reformasi Hukum Nasional PDI-P, Ronny Talapessy, juga menyampaikan optimisme serupa. Ronny meyakini bahwa hakim PTUN akan menolak gugatan tersebut. Salah satu alasannya adalah dugaan bahwa gugatan ini telah melewati batas waktu pengajuan gugatan PTUN, yaitu 90 hari setelah SK perpanjangan DPP PDI-P diterbitkan pada Juli 2024. Ronny menduga adanya upaya “membegal konstitusi” partai dan mengganggu soliditas PDI-P, terutama menjelang perhelatan Pilkada serentak. Ketua DPP PDI-P lainnya, Djarot Saiful Hidayat, juga mengungkapkan keyakinan serupa bahwa gugatan tersebut pasti akan ditolak oleh hakim.

Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, turut mencium nuansa politis dalam gugatan ini. Ia melihat gugatan ini sebagai upaya untuk mengganggu soliditas PDI-P yang sedang menghadapi Pilkada. Adi juga menyoroti waktu pelayangan gugatan yang terkesan “telat,” yakni baru dilayangkan setelah Presiden Joko Widodo mendepak Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM dan setelah rekomendasi calon kepala daerah diserahkan partai, padahal keputusan perpanjangan kepengurusan sudah ada sejak awal Juli 2024.

Proses Hukum yang Berlangsung: Menanti Putusan PTUN

Saat ini, gugatan dengan nomor perkara 113/G/2025/PTUN.JKT telah memasuki babak persidangan. Sidang perdana perkara ini telah digelar pada Senin, 5 Juni 2025. Pada Rabu, 25 Juni 2025, sidang telah memasuki agenda kedelapan, di mana pihak penggugat dan tergugat menyerahkan bukti-bukti tambahan.

Agenda sidang berikutnya dijadwalkan pada Rabu, 2 Juli 2025. Dalam sidang tersebut, selain penyerahan bukti tambahan dari para pihak, juga akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi dan ahli dari pihak penggugat. Kuasa hukum penggugat, Anggiat BM Manalu, telah mengonfirmasi bahwa mereka akan menghadirkan satu orang saksi dan satu orang ahli untuk memperkuat argumen mereka di persidangan. Kehadiran saksi dan ahli ini diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih mendalam mengenai interpretasi AD/ART partai serta validitas proses perpanjangan kepengurusan.

Implikasi dan Dampak Potensial Gugatan Ini

Gugatan terhadap SK kepengurusan PDI-P ini bukan sekadar sengketa administratif biasa. Ada beberapa implikasi dan dampak potensial yang patut dicermati:

  • Legitimasi Kepengurusan Partai: Jika gugatan dikabulkan, hal ini dapat menimbulkan pertanyaan serius mengenai keabsahan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh DPP PDI-P selama masa perpanjangan kepengurusan. Ini bisa mencakup keputusan strategis internal maupun yang berkaitan dengan agenda politik nasional seperti Pilkada.
  • Stabilitas Internal Partai: Meskipun PDI-P menegaskan soliditasnya, gugatan berulang dari pihak yang mengaku kader dapat mengganggu citra dan konsolidasi internal partai, terutama di tengah persiapan Pilkada serentak.
  • Preseden Hukum Partai Politik: Putusan PTUN dalam kasus ini akan menjadi preseden penting bagi tata kelola partai politik di Indonesia, terutama terkait interpretasi AD/ART dan batas-batas hak prerogatif Ketua Umum dalam konteks perpanjangan masa bakti kepengurusan. Ini akan mempengaruhi bagaimana partai-partai lain mengelola suksesi dan masa jabatan pengurusnya.
  • Dampak Politik Lebih Luas: Seperti yang disinggung oleh Deddy Sitorus, jika logika penggugat diterima, hal ini bisa berdampak pada keabsahan berbagai produk politik yang dihasilkan oleh PDI-P, termasuk pencalonan kepala daerah. Isu mengenai Gibran Rakabuming Raka yang diusung berdasarkan SK hasil percepatan kongres menjadi contoh konkret bagaimana implikasi hukum dapat merembet ke ranah politik praktis.

Kesimpulan

Gugatan terhadap SK perpanjangan kepengurusan PDI-P yang diklaim berakhir pada Agustus 2024 merupakan sebuah episode penting dalam dinamika politik dan hukum di Indonesia. Kasus ini menyoroti kompleksitas interpretasi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebuah partai besar, khususnya mengenai batas-batas hak prerogatif Ketua Umum dalam konteks perpanjangan masa bakti kepengurusan.

Di satu sisi, para penggugat bersikukuh pada ketentuan AD/ART yang mewajibkan kongres untuk setiap perpanjangan masa jabatan. Di sisi lain, PDI-P mempertahankan posisinya dengan mengacu pada hak prerogatif Ketua Umum yang diyakini mencakup penyesuaian kepengurusan demi menjaga keutuhan dan ideologi partai. Selain itu, dugaan adanya motif politik dan intimidasi menambah kerumitan kasus ini.

Keputusan PTUN Jakarta yang akan datang akan sangat krusial. Putusan tersebut tidak hanya akan menentukan nasib SK perpanjangan kepengurusan PDI-P, tetapi juga akan memberikan kejelasan hukum mengenai tata kelola partai politik di Indonesia, khususnya terkait mekanisme suksesi dan validitas masa jabatan pengurus. Bagi publik, mengikuti perkembangan kasus ini adalah cara untuk memahami lebih dalam bagaimana hukum, politik, dan dinamika internal partai saling berinteraksi dalam membentuk lanskap demokrasi kita. Mari kita nantikan bersama bagaimana persidangan ini akan berakhir dan preseden apa yang akan tercipta dari polemik sk kepengurusan PDI-P digugat, kepengurusan diklaim berakhir Agustus 2024 ini.