Menguak Kembali Isu Ijazah Presiden Jokowi: Benarkah Verifikasi KPU Tak Pernah Cek Keasliannya?

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Polemik seputar keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi sorotan publik, memicu perdebatan sengit di berbagai platform media sosial. Isu yang seolah tak pernah usai ini kini memasuki babak baru isu ijazah Jokowi: testimoni orang dekat ungkap proses verifikasi KPU tak cek keaslian? Sebuah video viral yang diunggah aktivis Muhammad Taufiq, menampilkan kesaksian mengejutkan dari Eko Sulistyo, mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Surakarta yang juga disebut sebagai orang dekat Presiden, telah menyulut kembali api keraguan. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa isu ini kembali mengemuka, bagaimana proses verifikasi KPU dipertanyakan, serta relevansinya bagi kepercayaan publik terhadap integritas demokrasi di Indonesia.

Menguak Kembali Isu Ijazah Presiden Jokowi: Benarkah Verifikasi KPU Tak Pernah Cek Keasliannya?

Dalam lanskap politik yang dinamis, isu mengenai kredibilitas seorang pemimpin, termasuk riwayat pendidikannya, adalah fundamental. Ketika testimoni dari figur yang memiliki kedekatan dan rekam jejak di lembaga penyelenggara pemilu muncul, pertanyaan mendasar tentang prosedur dan standar verifikasi menjadi tak terhindarkan. Apa sebenarnya yang diungkapkan oleh “orang dekat” ini, dan bagaimana hal tersebut memengaruhi persepsi kita terhadap proses seleksi pemimpin? Mari kita telusuri lebih dalam.

Pemicu Terkini: Video Viral Muhammad Taufiq dan Kesaksian Eko Sulistyo

Kegaduhan terbaru bermula dari sebuah video yang diunggah oleh advokat senior asal Surakarta, Muhammad Taufiq. Taufiq, yang juga merupakan penggugat ijazah Jokowi di Solo, membeberkan hasil percakapannya dengan Eko Sulistyo melalui sambungan telepon. Video ini kemudian diunggah ulang oleh peneliti Rismon Sianipar di akun X-nya, sosok yang selama ini vokal menyatakan keraguan atas keaslian ijazah Jokowi.

Eko Sulistyo bukan sosok sembarangan. Taufiq memperkenalkan Eko sebagai mantan Komisaris PLN, mantan Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, dan yang paling relevan, Ketua KPUD Surakarta pada masa Jokowi mencalonkan diri sebagai calon wali kota. Pengakuan Eko Sulistyo, seperti yang dituturkan Taufiq, menjadi inti dari polemik baru ini.

Klaim Mengejutkan: KPU Hanya Cek Administrasi, Bukan Keaslian

Dalam percakapan tersebut, Muhammad Taufiq secara spesifik menanyakan kepada Eko Sulistyo mengenai ijazah apa yang digunakan Jokowi saat mendaftar sebagai calon wali kota dan bagaimana proses verifikasinya dilakukan. Jawaban yang didapat Taufiq sungguh mencengangkan.

“Dia mengatakan, ‘Ya ada Doktorandus, ada Insinyur, tapi memang tugas saya tidak memverifikasi. Tugas saya itu hanya memeriksa apakah persyaratan itu, syarat administrasi, terpenuhi’,” ungkap Taufiq menirukan ucapan Eko Sulistyo.

Taufiq melanjutkan penjelasannya dengan menegaskan bahwa syarat administrasi yang dimaksud hanyalah melampirkan ijazah yang telah dilegalisir. “Syarat administrasinya adalah cukup dengan melampirkan ijazah yang dilegalisir. Jadi tidak pernah dicek ya, di KPU tidak pernah dicek,” tegas Taufiq dalam videonya.

Klaim ini diperkuat oleh pengakuan Taufiq yang juga telah menghubungi Divisi Hukum Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta. Menurut Taufiq, pihak Divisi Hukum juga mengonfirmasi bahwa tidak ada proses verifikasi keaslian ijazah. Selain itu, Taufiq juga menyinggung percakapannya dengan F.X. Hadi Rudyatmo, Ketua DPC PDI Perjuangan Surakarta saat itu, yang mengaku tidak mengetahui detail persyaratan tersebut karena pengurusan dilakukan oleh “tim sendiri” Jokowi, bukan oleh partai pengusung.

Kesaksian ini, jika benar, menimbulkan pertanyaan serius mengenai standar verifikasi dokumen penting dalam proses pemilihan umum, khususnya di tingkat lokal yang menjadi pintu gerbang karir politik seorang kepala daerah.

Jejak Gugatan dan Tuntutan Keterbukaan Data

Munculnya testimoni Eko Sulistyo ini bukanlah insiden yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari serangkaian upaya hukum dan desakan publik untuk mendapatkan klarifikasi menyeluruh terkait ijazah Presiden Jokowi. Muhammad Taufiq sendiri telah menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) di Pengadilan Negeri (PN) Solo.

Kronologi Upaya Hukum Muhammad Taufiq

Sebelum melayangkan gugatan, Muhammad Taufiq mengaku telah mengirimkan surat resmi untuk meminta klarifikasi dan data kepada berbagai institusi terkait, termasuk KPU, SMAN 6 Surakarta, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, ia menyebutkan bahwa semua institusi tersebut memberikan jawaban serupa: mereka tidak berhak untuk membuka data tersebut. Penolakan inilah yang mendorongnya untuk membawa masalah ini ke ranah pengadilan.

Gugatan ini ditujukan kepada empat pihak utama:

  1. Jokowi sebagai Tergugat I
  2. KPU Kota Surakarta sebagai Tergugat II
  3. SMA Negeri 6 Surakarta sebagai Tergugat III
  4. Universitas Gadjah Mada sebagai Tergugat IV

Tim pengacara yang mendampingi Muhammad Taufiq bahkan menamai diri mereka “TIPU UGM”, akronim dari “Tolak Ijazah Palsu Usaha Gakpunya Malu,” sebagai bentuk kritik atas dugaan manipulasi data akademik. Ketua KPU Solo, Yustinus Arya Artheswara, menyatakan kesiapan KPU untuk mengikuti prosedur hukum dan mencari serta menyiapkan seluruh berkas yang dibutuhkan pengadilan, meskipun ia mengaku belum menerima surat pemberitahuan salinan gugatan secara resmi.

Dalam percakapannya dengan Eko Sulistyo, Taufiq juga menyinggung soal “public expose” atau keterbukaan data. Eko Sulistyo disebut sependapat bahwa data seorang pejabat publik seharusnya bisa diakses secara terbuka dan tidak perlu disembunyikan. Gagasan ini menggarisbawahi pentingnya transparansi sebagai pilar utama akuntabilitas publik.

Respons KPU Pusat: Dilema Waktu dan Kewenangan Verifikasi

Di tengah riuhnya gugatan dan testimoni yang beredar, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia turut angkat bicara mengenai tantangan dalam proses verifikasi dokumen calon peserta pemilu. Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, secara terbuka mengakui adanya keterbatasan yang dihadapi lembaganya.

Keterbatasan Waktu dan Wewenang

Dalam sebuah diskusi bertema ‘Kupas Tuntas Rencana Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan’, Afifuddin menyoroti dua isu krusial:

  • Keterbatasan Waktu: “Kadang-kadang kami juga punya kurang waktu untuk kemudian dan kurang kewenangan juga untuk menyatakan ijazah ini asli apa tidak. Keringetan kami juga nggak selesai juga,” kata Afifuddin.
  • Keterbatasan Kewenangan: KPU tidak memiliki wewenang penuh untuk melakukan verifikasi mendalam terhadap keaslian ijazah, melampaui pemeriksaan administratif.

Afifuddin juga menekankan pentingnya kejujuran dari para calon peserta pemilu, terutama terkait rekam jejak pidana. Ia berharap calon yang merupakan mantan narapidana harus secara terbuka mengumumkannya kepada publik agar KPU tidak menjadi “kambing hitam” jika ada masalah administrasi yang baru terungkap setelah proses pemilu berjalan.

Pernyataan ini seolah membenarkan klaim Muhammad Taufiq mengenai KPU yang hanya melakukan verifikasi administratif. Namun, mantan Ketua KPU, Ilham Saputra, sempat menyatakan bahwa proses verifikasi ijazah Jokowi saat mencalonkan diri dalam Pilpres 2014 dan 2019 sudah sesuai aturan. Menurutnya, KPU saat itu mengonfirmasi keabsahan ijazah dan status kemahasiswaan Jokowi ke Universitas Gadjah Mada (UGM). Ini menunjukkan adanya perbedaan perspektif atau praktik antara verifikasi di tingkat daerah (saat Pilkada Solo) dan tingkat nasional (saat Pilpres).

Kilas Balik Polemik Ijazah Jokowi dan Klarifikasi UGM

Isu keaslian ijazah Presiden Jokowi bukanlah hal baru. Ini adalah gelombang berulang dari sebuah polemik yang telah beberapa kali mencuat ke permukaan, seringkali menjelang momen politik penting.

Sejarah Singkat Tuduhan Ijazah Palsu

  • 2019: Umar Kholid Harahap ditangkap polisi karena unggahan Facebook yang mempertanyakan ijazah SMA Jokowi, mengklaim SMAN 6 Surakarta baru berdiri tahun 1986. Namun, SMAN 6 Surakarta dulunya bernama SMPP yang menerima murid angkatan pertama tahun 1976, termasuk Jokowi, dan berubah nama pada 1985. Ijazah Jokowi kala itu masih berbunyi SMPP.
  • 2022: Bambang Tri Mulyono menulis buku Jokowi Undercover 2: Lelaki Berijazah Palsu dan mengajukan gugatan PMH. Gugatan ini dicabut di tengah persidangan karena Bambang ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian lain.
  • 2024: Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana menggugat Jokowi atas dugaan penggunaan ijazah S1 palsu, namun gugatan tidak diterima karena alasan kewenangan.

Tuduhan-tuduhan ini seringkali didasarkan pada “analisis forensik digital” yang mempertanyakan kejanggalan seperti penggunaan font Times New Roman pada skripsi tahun 1985 (yang menurut penuduh baru ada di Microsoft Word versi 1992) atau ketidaksesuaian format nomor seri ijazah.

Bantahan Tegas dari Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai almamater Presiden Jokowi, telah berkali-kali memberikan klarifikasi dan bantahan keras terhadap tuduhan pemalsuan ijazah dan skripsi ini.

  • Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, menyesalkan informasi menyesatkan yang disampaikan, terutama oleh Rismon Sianipar yang juga alumnus UGM. Sigit menegaskan bahwa tuduhan mengenai penggunaan font Times New Roman adalah keliru. Pada era 1980-an, percetakan di sekitar kampus UGM (seperti Prima dan Sanur) sudah jamak menggunakan font serupa untuk mencetak sampul dan lembar pengesahan skripsi, meskipun isi skripsi diketik manual.
  • Mengenai nomor seri ijazah, Sigit menjelaskan bahwa pada masa itu, Fakultas Kehutanan memiliki kebijakan penomoran sendiri yang belum diseragamkan universitas, dan penomoran tersebut berdasarkan urutan nomor induk mahasiswa yang diluluskan, ditambah singkatan fakultas (FKT).
  • UGM secara tegas menyatakan keaslian ijazah dan skripsi Jokowi. “Perlu diketahui ijazah dan skripsi dari Joko Widodo adalah asli. Ia pernah kuliah di sini, teman satu angkatan beliau mengenal baik beliau, beliau aktif di kegiatan mahasiswa (Silvagama), beliau tercatat menempuh banyak mata kuliah, mengerjakan skripsi, sehingga ijazahnya pun dikeluarkan oleh UGM adalah asli,” tegas Sigit.
  • Ketua Senat Fakultas Kehutanan, San Afri Awang, yang juga kakak angkatan Jokowi, mendukung pernyataan Sigit dan bercerita pengalamannya mencetak sampul skripsi di percetakan yang sama. Ia juga menyebut adanya jasa pengetikan komputer IBM PC di sekitar UGM saat itu.
  • Frono Jiwo, teman seangkatan Jokowi, menguatkan kesaksian UGM. Ia menyatakan masuk dan wisuda bareng Jokowi (1980-1985). Frono membenarkan bahwa ijazahnya sendiri memiliki tampilan yang sama dengan ijazah Jokowi (font, tanda tangan Rektor Prof. T Jacob dan Dekan Prof. Soenardi Prawirohatmodjo), hanya berbeda nomor kelulusan. Ia juga mengonfirmasi bahwa skripsi seluruh angkatannya ditulis manual, sementara sampul dan penjilidan dilakukan di percetakan.
  • Guru Besar Hukum Pidana UGM, Marcus Priyo Gunarto, menilai tuduhan pemalsuan ijazah sangat lemah karena dokumen-dokumen di Fakultas Kehutanan UGM memiliki banyak data pendukung yang menunjukkan Jokowi pernah kuliah, ujian, dan yudisium. Ia juga menegaskan bahwa tuduhan UGM melindungi Jokowi adalah keliru.

Klarifikasi UGM ini menjadi fondasi kuat yang membantah tuduhan pemalsuan ijazah. Namun, mengapa isu ini terus-menerus muncul dan mendapatkan perhatian publik?

Implikasi dan Perspektif Hukum Tata Negara: Distraksi atau Pintu Akuntabilitas?

Polemik ijazah ini, terlepas dari keasliannya, memunculkan beberapa implikasi penting, terutama dari sudut pandang hukum tata negara dan dinamika politik.

Dampak Hukum dan Konstitusional

Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menjelaskan bahwa jika isu ijazah palsu ini terbukti, dampaknya secara ketatanegaraan tidak akan mengubah apa pun yang telah diputuskan selama pemerintahan Jokowi. Artinya, kebijakan atau keputusan yang telah dibuat tidak serta-merta menjadi tidak sah.

Namun, aspek pidananya akan sangat kuat, baik bagi Jokowi maupun penyelenggara pemilu. Feri menyebut kemungkinan adanya “penipuan besar-besaran dalam proses penyelenggaraan demokrasi.” Ini membuka pintu bagi parlemen untuk mengajukan hak interpelasi, angket, atau menyatakan pendapat, terutama interpelasi yang berupa penyelidikan tentang mengapa pidana pemalsuan surat berharga semacam itu bisa berlangsung selama 22 tahun dalam sistem pemilu.

Menurut Feri, jika pengabaian verifikasi faktual ijazah terbukti sejak dari Solo, ini bisa menjadi bukti bahwa “penyelenggara [pemilu] kita memiliki kualitas yang buruk dan memiliki motif sebagai alat kecurangan.” Ia mendesak adanya proses yang sungguh-sungguh dari parlemen, kecuali jika parlemen juga “ikut serta dalam permainan dan berbagai kecurangan dalam pemilu.”

Isu Distraksi Politik?

Feri Amsari juga melontarkan dugaan bahwa kasus ijazah ini “terlalu mudah dibuktikan” untuk dibiarkan berlarut-larut. Ia menduga ada motif lain, yaitu:

  • Menjaga Preferensi dan Daya Pilih: Agar Jokowi dan keluarganya selalu tampil di media dan menjadi pembicaraan publik.
  • Menguntungkan Jokowi: Jika kasus ini pada akhirnya tidak ditemukan masalah sama sekali, maka para penyerang Jokowi akan runtuh, dan yang akan diuntungkan adalah Jokowi.

Pendapat senada juga disampaikan oleh seorang dosen UGM yang tidak ingin disebutkan namanya kepada ABC Indonesia. Ia berpendapat bahwa masalah ijazah palsu ini justru akan menguntungkan Jokowi karena “orang-orang menjadi tidak fokus ke problem kebijakan yang dia ambil saat menjadi presiden… ada banyak kebijakan dia yang ngawur seperti IKN, impor gula, itu semua jadi enggak ada yang lihat.”

Pernyataan Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri, yang menyinggung polemik ijazah tanpa menyebut nama Jokowi juga menarik perhatian: “Orang banyak kok sekarang gonjang-ganjing urusan ijazah, bener opo enggak? Ya kok susah amat ya, kan kalau ada ijazah betul gitu, kasih aja, ‘ini ijazah saya’ gitu loh.” Pernyataan ini, meskipun halus, mengindikasikan desakan terhadap transparansi.

Relevansi dengan Aksi Anies Baswedan

Dalam konteks isu ijazah palsu ini, jejak digital lawas tentang aksi Anies Baswedan saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kembali menjadi sorotan. Sebuah video lama menunjukkan Anies mendukung penuh upaya Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Muhammad Nasir dalam menelusuri universitas-universitas yang disinyalir mengeluarkan ijazah palsu.

Anies Baswedan kala itu menegaskan bahwa praktik membeli atau memakai ijazah palsu adalah tindakan memalukan dan setara dengan kejahatan korupsi karena dilakukan dengan cara curang. Publik kini mengaitkan pemberhentian Anies dari Kabinet Kerja Jokowi pada tahun 2016 (setelah dua tahun menjabat) dengan aksinya dalam memberantas ijazah palsu, memunculkan asumsi bahwa ada ketakutan akan terbongkarnya kebenaran. Meskipun alasan resmi pemberhentian Anies adalah kurang memprioritaskan program Kartu Indonesia Pintar, persepsi publik kini semakin meluas.

Kesimpulan: Transparansi sebagai Pondasi Kepercayaan Publik

Babak baru isu ijazah Jokowi: testimoni orang dekat ungkap proses verifikasi KPU tak cek keaslian? ini bukan sekadar polemik tentang selembar dokumen, melainkan cerminan dari tuntutan publik akan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aspek kehidupan seorang pejabat publik. Kesaksian Eko Sulistyo, terlepas dari interpretasi dan bantahan yang ada, telah secara efektif menyoroti potensi celah dalam sistem verifikasi KPU yang mungkin hanya fokus pada aspek administratif, bukan esensi keaslian dokumen.

Di sisi lain, klarifikasi komprehensif dari Universitas Gadjah Mada, yang didukung oleh bukti-bukti internal dan kesaksian teman seangkatan, secara kuat membantah tuduhan pemalsuan. Ini menciptakan sebuah paradoks: satu pihak menuding adanya kejanggalan dalam proses verifikasi, sementara pihak lain menegaskan keaslian dokumen.

Polemik ini menggarisbawahi perlunya:

  • Peningkatan Standar Verifikasi KPU: Perluasan kewenangan dan sumber daya KPU untuk melakukan verifikasi faktual yang lebih mendalam, tidak hanya sebatas administrasi atau legalisir.
  • Keterbukaan Data Publik: Diskusi tentang seberapa jauh data pribadi seorang pejabat publik, termasuk riwayat pendidikan, dapat diakses demi kepentingan transparansi dan kepercayaan publik.
  • Diskursus yang Konstruktif: Pentingnya bagi masyarakat untuk menyaring informasi, membandingkan berbagai sumber, dan mendasarkan penilaian pada fakta yang terverifikasi, bukan sekadar rumor atau tuduhan sensasional.

Pada akhirnya, isu ini adalah ujian bagi integritas institusi demokrasi kita. Bagaimana negara, melalui lembaga-lembaga resminya, merespons keraguan publik dan memastikan bahwa setiap tahapan pemilihan umum dijalankan dengan standar tertinggi kejujuran dan transparansi, akan menentukan seberapa dalam kepercayaan rakyat dapat berakar.