Mengapa Surat Usulan Pemakzulan Gibran Belum Sampai ke Meja Pimpinan DPR? Membedah Dinamika di Balik Tirai Parlemen

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Dalam lanskap politik yang dinamis, isu-isu besar kerap muncul dan menarik perhatian publik. Salah satunya adalah desakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang disuarakan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI). Namun, di tengah sorotan tajam dan ekspektasi publik, fakta menunjukkan bahwa surat usul pemakzulan Gibran belum sampai ke meja pimpinan DPR. Fenomena ini bukan sekadar penundaan administratif biasa, melainkan cerminan dari kompleksitas mekanisme konstitusional, kehati-hatian politik, dan dinamika birokrasi di lembaga legislatif. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa surat penting ini seolah tertahan, siapa saja yang terlibat, serta implikasi yang mungkin timbul.

Mengapa Surat Usulan Pemakzulan Gibran Belum Sampai ke Meja Pimpinan DPR? Membedah Dinamika di Balik Tirai Parlemen

Memahami situasi ini menjadi krusial bagi setiap warga negara yang peduli terhadap tata kelola pemerintahan dan proses demokrasi. Apakah ini merupakan strategi pendinginan isu, ataukah murni prosedur yang harus dilalui? Mari kita selami lebih dalam.

Kronologi dan Status Terkini: Di Mana Surat Penting Itu Berada?

Surat usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, yang dikirimkan oleh FPPTNI, telah menjadi perbincangan hangat sejak awal Juni 2025. Surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 dan bertitimangsa 26 Mei 2025 ini secara resmi ditujukan kepada Ketua MPR RI dan Ketua DPR RI. Sekretariat Jenderal DPR RI bahkan telah mengonfirmasi penerimaan surat tersebut pada 2 Juni 2025. Namun, hingga Rapat Paripurna pembukaan Masa Sidang IV DPR RI pada Selasa, 24 Juni 2025, surat ini tak kunjung disebut atau dibacakan.

Para pimpinan lembaga legislatif, baik DPR maupun MPR, kompak menyatakan bahwa mereka belum melihat langsung surat tersebut.

  • Puan Maharani, Ketua DPR RI, mengakui bahwa ia belum melihat secara fisik surat usulan pemakzulan tersebut. Menurutnya, surat-surat yang diterima baru memasuki masa sidang dan masih berada di bagian tata usaha. “Belum lihat. Ini baru masuk masa sidang. Semua surat yang diterima masih di tata usaha. Belum [lihat langsung],” ujar Puan singkat setelah memimpin Paripurna.
  • Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI, senada dengan Puan. Ia menjelaskan bahwa surat dari FPPTNI itu masih berada di Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR sejak dikirim di awal masa reses anggota dewan. Dasco menegaskan bahwa surat tersebut belum secara resmi dikirimkan ke pimpinan DPR.
  • Ahmad Muzani, Ketua MPR RI, juga memberikan pernyataan serupa. Ia mengaku belum bisa menindaklanjuti surat dari FPPTNI karena hingga saat ini belum menerima surat tersebut, bahkan belum mendapatkan laporan dari pihak Sekretariat Jenderal MPR RI. “Terus terang, saya belum dapat update dari sekretariat sampai hari ini,” kata Muzani, menambahkan bahwa ia baru kembali aktif berkantor setelah masa reses.
  • Hidayat Nur Wahid dan Bambang Wuryanto, Wakil Ketua MPR RI, juga mengonfirmasi bahwa belum ada instruksi atau undangan untuk membahas surat tersebut dalam rapat pimpinan MPR. Hidayat sempat mendengar surat itu sudah di meja Ketua MPR, namun prosesnya masih panjang dan menunggu tindak lanjut dari DPR.

Fakta bahwa surat ini masih tertahan di tingkat administrasi—baik di tata usaha maupun sekretariat jenderal—menjadi alasan utama mengapa belum ada pembahasan resmi di tingkat pimpinan. Ini menunjukkan adanya prosedur internal yang harus dilalui setiap surat yang masuk ke parlemen, terutama setelah masa reses yang panjang.

Aktor di Balik Layar: Siapa yang Mengajukan Usulan Pemakzulan?

Usulan pemakzulan ini datang dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI). Ini bukan sekadar kelompok kecil, melainkan sebuah forum yang mengklaim didukung oleh sejumlah besar purnawirawan dari berbagai matra. Sumber menyebutkan surat ini diteken oleh:

  • 103 jenderal
  • 73 laksamana
  • 65 marsekal
  • 91 kolonel

Beberapa jenderal purnawirawan yang disebut meneken surat tersebut antara lain Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto. Kehadiran nama-nama besar ini menambah bobot pada desakan yang mereka ajukan.

Sekretaris FPPTNI, Bimo Satrio, menyatakan bahwa pihaknya tidak ingin terburu-buru menyimpulkan atau menanggapi keputusan DPR yang belum membacakan surat mereka. Mereka memilih untuk mencermati perkembangan sebelum memberikan sikap resmi, menunjukkan bahwa mereka juga memahami dinamika dan prosedur yang ada.

Dasar dan Argumen Pemakzulan: Mengapa Gibran Diusulkan Dimakzulkan?

Surat usulan pemakzulan ini tidak datang tanpa dasar. FPPTNI menyampaikan pandangan hukum atas proses politik yang mengantarkan Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden. Secara umum, surat tersebut berisi pernyataan bahwa Gibran telah melanggar hukum dan etika publik. Karenanya, atas dasar konstitusi, etika kenegaraan, dan prinsip demokrasi, surat itu mengusulkan kepada MPR dan DPR untuk memproses pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Beberapa dasar hukum yang mereka rujuk meliputi:

  • UUD 1945 Pasal 7A dan 7B: Pasal-pasal ini mengatur tentang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya.
  • TAP MPR RI No. XI/1998: Terkait dengan etika penyelenggaraan negara.
  • UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: Mengatur kewenangan MK dalam proses pemakzulan.
  • UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Terkait independensi peradilan.

Salah satu sorotan utama FPPTNI adalah keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Keputusan ini memungkinkan Gibran maju sebagai cawapres melalui perubahan syarat usia, yang kemudian diputuskan oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran. Anwar Usman kemudian diberhentikan dari jabatan Ketua MK karena terbukti melanggar kode etik. FPPTNI berargumen bahwa karena Anwar Usman dinyatakan bersalah melanggar kode etik, maka putusan No. 90/PUU-XXI/2023 dinyatakan cacat hukum dan dapat dibatalkan, yang pada gilirannya berdampak pada legitimasi pencalonan Gibran.

Mekanisme Konstitusional Pemakzulan: Sebuah Jalan yang Panjang dan Berliku

Proses pemakzulan di Indonesia bukanlah perkara sederhana yang bisa dilakukan dalam semalam. Mekanismenya diatur secara ketat dalam UUD 1945, khususnya Pasal 7A dan 7B. Para pakar hukum tata negara, seperti Bivitri Susanti dan Feri Amsari, menjelaskan bahwa pemakzulan bisa dilakukan terhadap salah satu pemimpin negara, tidak harus “sepaket” antara presiden dan wakil presiden, meskipun saat pemilihannya mereka “sepaket.”

Pasal 7A UUD 1945 berbunyi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Frasa “dan/atau” di sini sangat penting, menunjukkan fleksibilitas dalam proses pemakzulan. Ini membantah pernyataan Presiden Jokowi yang sempat menyebut bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan “satu paket,” sehingga pemakzulan pun harus demikian.

Mekanisme umumnya adalah sebagai berikut:

  1. DPR Mengajukan Usulan: Usul pemberhentian presiden atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR. Namun, usulan ini tidak bisa serta-merta.
  2. Permintaan ke Mahkamah Konstitusi (MK): DPR harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat.
  3. Keputusan MK: MK akan melakukan pemeriksaan dan memutuskan apakah pelanggaran berat yang dituduhkan benar-benar terjadi. Jika MK memutuskan bahwa tuduhan tersebut terbukti, baru kemudian proses bisa dilanjutkan.
  4. DPR Mengambil Keputusan: Setelah ada keputusan MK, DPR harus menyetujui usulan pemakzulan dalam sidang paripurna dengan kehadiran minimal dua pertiga anggota dan persetujuan dua pertiga dari yang hadir.
  5. MPR Menindaklanjuti: Jika DPR menyetujui, barulah MPR akan bersidang untuk menindaklanjuti usulan pemakzulan tersebut.

Proses yang panjang dan berlapis ini menunjukkan betapa seriusnya tindakan pemakzulan, dan mengapa para pimpinan DPR serta MPR sangat berhati-hati dalam menyikapinya.

Sikap Kehati-hatian Pimpinan Legislatif: Antara Prosedur dan Pertimbangan Politik

Pernyataan dari Puan Maharani, Sufmi Dasco Ahmad, dan Ahmad Muzani menunjukkan pola yang konsisten: surat masih dalam tahap administrasi dan memerlukan kajian cermat. Lebih dari sekadar alasan teknis, ada beberapa pertimbangan yang mendasari sikap kehati-hatian ini:

  • Pascaberes Reses: Anggota dewan, termasuk pimpinan, baru saja kembali dari masa reses yang cukup panjang. Prioritas awal adalah mengonsolidasikan agenda dan surat-surat yang masuk selama periode tersebut.
  • Banyaknya Surat Sejenis: Sufmi Dasco Ahmad secara spesifik menyebutkan bahwa ada beberapa surat lain yang juga mengatasnamakan purnawirawan. Hal ini menuntut kehati-hatian ekstra untuk memverifikasi keabsahan dan representasi dari setiap surat agar tidak salah langkah dalam mengambil keputusan.
  • Mekanisme Rapim dan Bamus: Setiap surat yang dianggap penting akan dibahas terlebih dahulu dalam Rapat Pimpinan (Rapim) dan Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Forum-forum ini akan menentukan apakah surat tersebut layak diteruskan, dan bagaimana mekanismenya. Proses ini membutuhkan waktu dan koordinasi.
  • Potensi Dampak Politik: Isu pemakzulan adalah isu politik yang sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan gejolak besar. Lembaga legislatif tentu tidak ingin gegabah. Setiap langkah yang diambil akan memiliki implikasi luas terhadap stabilitas politik dan kepercayaan publik. Hersubeno Arief, pengamat politik, bahkan menilai DPR terkesan “masuk angin” karena mengabaikan surat tersebut, menunjukkan adanya persepsi publik terhadap lambatnya respons parlemen.

Sikap “belum tahu” atau “masih di tata usaha” ini, bagi sebagian pihak, mungkin terlihat seperti upaya untuk “mendinginkan” bola panas isu pemakzulan. Namun, bagi pimpinan dewan, ini bisa jadi merupakan bagian dari strategi untuk memastikan setiap langkah diambil sesuai prosedur dan dengan pertimbangan matang.

Implikasi dan Prospek ke Depan: Menanti Babak Selanjutnya

Tertahannya surat usul pemakzulan Gibran belum sampai ke meja pimpinan DPR meninggalkan sejumlah implikasi dan pertanyaan tentang prospek ke depan:

  • Ujian Kredibilitas Parlemen: Lambatnya proses ini dapat menjadi ujian bagi kredibilitas DPR dan MPR dalam menanggapi aspirasi publik, terutama yang datang dari kelompok terhormat seperti purnawirawan TNI. Persepsi “masuk angin” atau kurangnya keberpihakan terhadap tuntutan konstitusional bisa mengikis kepercayaan.
  • Dinamika Hubungan Eksekutif-Legislatif: Jika surat ini akhirnya diproses, hal ini akan memicu dinamika yang intens antara eksekutif (pemerintahan) dan legislatif. Pernyataan Presiden Jokowi sebelumnya yang menyebut isu pemakzulan sebagai “biasa dalam sistem demokrasi” namun menekankan Pilpres 2024 yang “satu paket,” menunjukkan adanya garis batas yang mungkin akan dipertahankan.
  • Pendidikan Politik Publik: Proses ini, meskipun lambat, juga menjadi kesempatan bagi publik untuk memahami lebih dalam mengenai mekanisme ketatanegaraan, khususnya terkait pemakzulan. Transparansi dan kejelasan informasi dari pihak parlemen akan sangat membantu dalam hal ini.
  • Menanti Rapat Pimpinan dan Bamus: Langkah selanjutnya yang paling dinanti adalah kapan Rapim dan Bamus DPR akan membahas surat ini. Dari sana, akan terlihat apakah usulan ini akan diteruskan untuk kajian lebih lanjut, ataukah akan menghadapi hambatan prosedural yang lebih substansial.

Pada akhirnya, perjalanan surat usulan pemakzulan Gibran ini mencerminkan kompleksitas demokrasi di Indonesia. Ia bukan hanya tentang isi surat itu sendiri, melainkan juga tentang bagaimana lembaga-lembaga negara—DPR, MPR, dan Setjen—bekerja, merespons aspirasi, dan menavigasi lanskap politik yang penuh tantangan.

Kesimpulan: Sebuah Narasi yang Belum Tuntas

Status surat usul pemakzulan Gibran belum sampai ke meja pimpinan DPR adalah sebuah narasi yang belum tuntas. Ini bukan sekadar penundaan, melainkan sebuah simpul dari prosedur birokrasi, kehati-hatian politik, dan interpretasi konstitusional yang kompleks. Para pimpinan dewan telah memberikan penjelasan mengenai alasan prosedural, seperti surat yang masih di tata usaha atau Setjen, dan perlunya pembahasan di Rapim serta Bamus. Di sisi lain, desakan dari FPPTNI didasarkan pada argumen hukum dan etika yang kuat, khususnya terkait putusan MK yang kontroversial.

Dinamika ini menggarisbawahi pentingnya mekanisme ketatanegaraan yang berlaku, di mana setiap langkah harus dilakukan dengan cermat dan sesuai prosedur. Namun, juga menjadi pengingat akan pentingnya responsibilitas dan kecepatan lembaga legislatif dalam menanggapi aspirasi publik. Bola panas isu pemakzulan ini memang belum mencapai meja pimpinan DPR secara “resmi,” namun pergerakannya terus diamati oleh publik dan akan menjadi penentu babak selanjutnya dalam drama politik nasional.

Bagaimana menurut Anda, apakah penundaan ini murni prosedural atau ada pertimbangan lain yang lebih dalam? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar di bawah.