Sejarah sering kali menyajikan ironi. Sosok Reza Pahlavi, yang lahir sebagai Pangeran Mahkota terakhir Iran, kini menjadi simbol oposisi di pengasingan, menyerukan perubahan rezim di tanah kelahirannya. Namun, mengapa ia “terguling” dari takhta yang seharusnya ia warisi? Jawabannya tidak terletak pada penggulingan dirinya secara personal, melainkan pada gelombang revolusi dahsyat yang melanda Iran pada tahun 1979, sebuah peristiwa fundamental yang secara radikal mengubah lanskap politik dan sosial negara tersebut, menghapus monarki, dan secara otomatis mencabut haknya atas takhta. Memahami mengapa Reza Pahlavi terguling sebagai putra mahkota Iran berarti menyelami kompleksitas sejarah Dinasti Pahlavi, kebijakan kontroversial sang ayah, hingga gejolak sosial-keagamaan yang berpuncak pada berdirinya Republik Islam.
Artikel ini akan membawa Anda menelusuri akar penyebab “terjatuhnya” Pangeran Mahkota yang tak sempat berkuasa ini, dari bangkitnya Dinasti Pahlavi, era kepemimpinan Mohammad Reza Shah yang penuh gejolak, hingga fajar Revolusi Islam yang mengubah segalanya. Kita juga akan mengkaji peran Reza Pahlavi saat ini sebagai penentang vokal dari pengasingan, serta dinamika sosial dan politik Iran kontemporer yang turut membentuk perjuangannya.
Akar Dinasti Pahlavi: Dari Perwira Militer Menjadi Penguasa
Untuk memahami mengapa takhta Iran lepas dari genggaman Reza Pahlavi, kita harus mundur ke awal abad ke-20, saat Dinasti Pahlavi naik ke tampuk kekuasaan. Dinasti ini didirikan oleh Reza Shah Pahlavi, seorang mantan perwira militer yang pada tahun 1925 berhasil menggulingkan Dinasti Qajar yang telah berkuasa sejak 1794.
Reza Shah Pahlavi segera meluncurkan program modernisasi besar-besaran yang mencakup pembangunan jalan, sekolah, dan militer yang terpusat. Visi modernisasi ini bertujuan untuk membawa Iran—yang kala itu masih dikenal sebagai Persia—menjadi negara yang lebih maju dan terstruktur. Namun, pemerintahannya juga dikenal otoriter, menekan oposisi dan memusatkan kekuasaan secara ketat. Ironisnya, aliansinya dengan Jerman Nazi selama Perang Dunia II justru menjadi bumerang, memaksa dirinya turun takhta pada tahun 1941 di bawah tekanan Sekutu, terutama Inggris dan Uni Soviet.
Takhta kemudian diwariskan kepada putranya, Mohammad Reza Shah Pahlavi. Kepergian Reza Shah Pahlavi menandai berakhirnya era pendiri dinasti, namun membuka babak baru yang lebih kompleks dalam sejarah Iran, yang pada akhirnya akan menjadi penentu nasib putra mahkota penerusnya.
Era Mohammad Reza Shah Pahlavi: Modernisasi, Otoritarianisme, dan Bibit Revolusi
Mohammad Reza Shah Pahlavi berkuasa sejak tahun 1941, mewarisi negara yang sedang dalam transisi pasca-perang. Berbeda dengan ayahnya, Shah muda ini mengadopsi kebijakan yang sangat pro-Barat, menjalin kemitraan strategis dengan Amerika Serikat (AS) dan Inggris, terutama dalam sektor minyak. Hubungan ini, meskipun membawa modernisasi dan keuntungan ekonomi, juga menjadi sumber ketidakpuasan di kalangan rakyat Iran.
Konflik Minyak dan Kudeta 1953
Salah satu momen paling krusial dalam pemerintahan Mohammad Reza Shah adalah konfliknya dengan Mohammad Mosaddeq, Perdana Menteri Iran dari tahun 1951 hingga 1953. Mosaddeq adalah figur nasionalis yang getol mendorong nasionalisasi industri minyak Iran, yang saat itu didominasi oleh Anglo-Persian Oil Company (AIOC) milik Inggris. Upaya Mosaddeq ini sangat populer di kalangan rakyat, tetapi mengancam kepentingan Barat.
Pada Agustus 1953, Shah berusaha memecat Mosaddeq, namun besarnya dukungan rakyat terhadap Mosaddeq justru memaksa Shah sendiri yang harus meninggalkan Iran untuk sementara waktu. Tak lama setelah itu, agen intelijen Inggris dan AS (melalui operasi gabungan CIA dan MI6) mengatur kudeta yang berhasil menggulingkan Mosaddeq. Mohammad Reza Shah Pahlavi pun kembali ke Iran sebagai pemimpin tunggal, mencabut undang-undang Mosaddeq, dan menjadi sekutu dekat AS di Timur Tengah selama Perang Dingin. Insiden ini, yang dikenal sebagai Kudeta 1953, meninggalkan luka mendalam dan persepsi bahwa kekuasaan Shah ditopang oleh kekuatan asing, memicu sentimen anti-Barat yang kelak akan meledak.
Reformasi Kontroversial dan Penindasan Politik
Di bawah kepemimpinan Mohammad Reza Shah, Iran meluncurkan program “Revolusi Putih,” serangkaian reformasi ekonomi dan sosial yang ambisius, termasuk reformasi agraria dan pemberian hak pilih kepada perempuan. Meskipun bertujuan memodernisasi negara dan mentransformasikannya menjadi kekuatan global, reformasi ini sering kali diterapkan secara top-down, tanpa partisipasi publik yang memadai, dan gagal mengatasi ketimpangan ekonomi yang meluas.
Selain itu, kebijakan pembaratan yang agresif, termasuk menjalin hubungan diplomatik formal dengan Israel—sebuah langkah yang menuai pujian di Barat namun kritik keras di dalam negeri—semakin menjauhkan Shah dari nilai-nilai tradisional dan religius masyarakat Iran. Penindasan politik menjadi ciri khas rezim ini, dengan polisi rahasia Shah, SAVAK, secara brutal menekan setiap bentuk oposisi. Laporan Amnesty International pada tahun 1978 menyebutkan adanya 2.200 tahanan politik di Iran, menunjukkan skala penindasan yang terjadi. Kombinasi ketidakpuasan politik, ketidaksetaraan ekonomi, penindasan brutal, dan persepsi ketergantungan pada Barat, menciptakan ladang subur bagi revolusi.
Revolusi Islam 1979: Titik Balik Sejarah yang Menentukan
Puncak dari ketidakpuasan yang memuncak adalah serangkaian aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada akhir 1970-an. Gelombang kerusuhan dan protes publik yang berlangsung berbulan-bulan, dengan partisipasi massa yang masif, akhirnya mengguncang fondasi kekuasaan monarki Pahlavi.
Pada 16 Januari 1979, Mohammad Reza Shah Pahlavi, sang raja terakhir Iran, terpaksa lengser keprabon dan melarikan diri dari Iran. Kepergiannya menandai akhir dari monarki berusia 2.500 tahun di Persia. Tak lama setelah itu, Ruhollah Khomeini, seorang ulama Syiah karismatik yang telah lama diasingkan karena menentang Shah, kembali ke Iran. Di bawah kepemimpinannya, Republik Islam Iran didirikan, menggabungkan unsur-unsur republik dengan teokrasi, yang dipimpin oleh seorang Pemimpin Tertinggi yang memegang kekuasaan agama dan politik.
Inilah jawaban utama mengapa Reza Pahlavi “terguling” sebagai putra mahkota: ia tidak digulingkan secara personal, melainkan monarki Iran yang menjadi hak warisnya telah runtuh total. Pada saat revolusi pecah, Reza Pahlavi baru berusia 18 tahun dan sedang menjalani pelatihan angkatan udara di luar negeri. Ketika ayahnya meninggal di pengasingan di Mesir pada tahun 1980, Reza Pahlavi secara resmi menjadi kepala Dinasti Pahlavi, namun tanpa takhta. Sejak saat itu, status “Pangeran Mahkota” baginya hanyalah sebuah gelar tituler, sebuah warisan dari sistem yang telah tiada.
Reza Pahlavi Pasca-Revolusi: Oposisi di Pengasingan dan Visi Masa Depan Iran
Setelah Revolusi Islam, Reza Pahlavi tidak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah Iran sebagai seorang pangeran yang berkuasa. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di pengasingan, kini bermukim di Amerika Serikat, dan menempatkan dirinya sebagai penentang vokal terhadap pemerintahan Republik Islam Iran.
Seruan Perubahan Rezim dan Dukungan Kontroversial
Sebagai figur oposisi paling menonjol, Reza Pahlavi terus berupaya menggalang dukungan internasional untuk perubahan rezim di Iran. Dalam berbagai kesempatan, ia menyerukan penggulingan pemerintahan Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran saat ini, mengklaim bahwa rezim tersebut telah kehilangan kendali dan membawa rakyat menuju kehancuran. Ia bahkan membandingkan kondisi Iran terkini dengan kejatuhan Tembok Berlin pada tahun 1989, menegaskan bahwa ini adalah momen yang tepat bagi dunia untuk berpihak pada rakyat Iran.
Salah satu aspek paling kontroversial dari posisi Reza Pahlavi adalah dukungannya yang terbuka terhadap Israel. Ia menolak mengecam serangan militer Israel ke Iran dan justru menganggap akar masalah konflik terletak pada pemerintahan Iran sendiri. Di mata Pahlavi, Israel bukan hanya sekutu politik, tetapi juga simbol modernitas, demokrasi, dan sekularisme yang ia harapkan dapat diterapkan di Iran masa depan. Kunjungannya ke Israel pada April 2023, di mana ia bertemu dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Isaac Herzog, serta berdoa di Tembok Ratapan (sambil sengaja menghindari Masjid Al-Aqsa), dipandang sebagai isyarat simbolik dukungan politik terhadap posisi Israel atas Yerusalem dan pengakuan Israel terhadapnya sebagai pemimpin oposisi utama Iran.
Kritik dan Tantangan dari Dalam Negeri
Meskipun mengklaim mendukung demokrasi dan tidak berniat mengembalikan monarki, posisi Reza Pahlavi menuai kecaman, bahkan dari kalangan oposisi di Iran sendiri. Banyak kritikus menilai pendekatannya lebih mirip dengan upaya merehabilitasi citra monarki yang telah ditolak oleh rakyat Iran puluhan tahun lalu. Dukungan terbukanya terhadap Israel, yang secara historis dianggap musuh oleh banyak warga Iran, membuatnya dituduh sebagai “boneka asing” atau “antek Barat”. Kedekatannya dengan kelompok pelobi pro-Israel di Washington, seperti Foundation for Defense of Democracies (FDD), semakin memperkuat tuduhan ini.
Slogan-slogan yang muncul selama protes Mahsa Amini pada 2022, seperti “Matilah penindas, baik Shah maupun Pemimpin (Khamenei)!”, secara jelas menunjukkan bahwa Reza Pahlavi tidak otomatis mendapat tempat di hati seluruh rakyat Iran, bahkan mereka yang menentang rezim saat ini. Mayoritas masyarakat Iran, setelah menolak monarki pada 1979, hingga kini tetap menolak kembalinya bentuk kekuasaan tersebut. Oleh sebab itu, impian Israel untuk melihat Pahlavi kembali memimpin Iran sering dinilai sebagai fantasi yang jauh dari kenyataan.
Visi Transisi dan Komunikasi Rahasia
Meski menghadapi kritik, Reza Pahlavi tetap menegaskan kesiapannya memimpin masa transisi jika dibutuhkan, namun menolak restorasi monarki. Ia menekankan bahwa sistem baru Iran harus menjunjung integritas wilayah, kebebasan individu, dan pemisahan agama dari negara, dengan bentuk akhir pemerintahan yang akan ditentukan melalui referendum nasional.
Yang menarik, Pahlavi mengklaim telah menerima komunikasi dari unsur militer dan intelijen Iran yang menyatakan keinginan untuk membelot dari pemerintahan saat ini. Untuk merespons hal ini, ia mengumumkan pembentukan saluran komunikasi resmi dan aman, sebuah langkah strategis untuk menampung potensi gelombang pembelotan dari personel keamanan, militer, dan kepolisian yang ingin memisahkan diri dari rezim. Ia juga terus mendesak negara-negara Barat untuk mendukung rakyat Iran, bukan bernegosiasi dengan rezim yang ia anggap menindas.
Dinamika Sosial dan Tantangan Masa Depan Iran
Lebih dari empat dekade setelah Revolusi Islam, Iran terus menghadapi dinamika sosial dan politik yang kompleks. Sementara rezim teokrasi berkuasa, ada indikasi pergeseran dalam pandangan keagamaan di kalangan masyarakat, terutama kaum muda. Survei dan laporan menunjukkan adanya peningkatan jumlah orang yang mengidentifikasi diri sebagai ateis atau tidak beragama di beberapa negara Timur Tengah, termasuk Iran.
Riset Iranian’s Attitudes Toward Religion (2020) mengungkapkan bahwa 47% dari 40.000 responden di Iran mengaku telah beralih dari beragama menjadi ateis. Fenomena ini, meskipun sulit diukur secara pasti karena risiko sosial dan hukum yang tinggi bagi mereka yang meninggalkan agama, menunjukkan adanya ketidakpuasan mendalam terhadap politisasi agama oleh pemerintah dan narasi keagamaan yang kaku. Banyak yang melihatnya sebagai penolakan terhadap rezim yang berkuasa atas nama agama, bukan sebagai penolakan terhadap agama itu sendiri.
Meskipun fenomena ateisme ini bukan penyebab langsung “tergulingnya” Reza Pahlavi pada tahun 1979, ia menjadi konteks penting dalam perjuangan oposisinya saat ini. Pergeseran pandangan keagamaan ini bisa diinterpretasikan sebagai indikator bahwa sebagian masyarakat Iran mungkin semakin terbuka terhadap gagasan pemisahan agama dari negara dan bentuk pemerintahan yang lebih sekuler atau demokratis, sejalan dengan visi yang diusung Reza Pahlavi. Namun, tantangan untuk menyatukan beragam faksi oposisi, mengatasi warisan sejarah, dan menghindari tuduhan sebagai “boneka asing” tetap menjadi rintangan besar bagi Reza Pahlavi dan gerakan perubahan di Iran.
Kesimpulan: Warisan Revolusi dan Perjuangan yang Belum Usai
Kisah mengapa Reza Pahlavi terguling sebagai putra mahkota Iran adalah cerminan dari sebuah revolusi yang mengubah total struktur kekuasaan di Iran. Ia “terguling” bukan karena kesalahan pribadinya atau kudeta terhadap dirinya, melainkan karena sistem monarki yang ia warisi—dan yang telah berusia ribuan tahun—dihapuskan oleh kehendak rakyat yang marah dan kecewa. Pemerintahan otoriter ayahnya, kebijakan pro-Barat yang agresif, ketidaksetaraan ekonomi, dan penindasan politik oleh SAVAK, menciptakan kombinasi mematikan yang memicu Revolusi Islam 1979.
Saat ini, Reza Pahlavi hidup sebagai simbol harapan bagi sebagian kecil monarkis dan penentang rezim di pengasingan, namun ia juga menghadapi tantangan signifikan dalam mendapatkan dukungan luas di dalam negeri. Visinya untuk Iran yang demokratis dan sekuler, serta kesediaannya memimpin masa transisi tanpa mengembalikan monarki, menunjukkan adaptasi terhadap realitas politik pasca-revolusi. Namun, kompleksitas politik Iran, skeptisisme terhadap figur yang terkait dengan masa lalu monarki, dan dinamika geopolitik kawasan, membuat masa depan Iran tetap menjadi teka-teki yang penuh tantangan. Perjalanan Reza Pahlavi mencerminkan bahwa sejarah adalah aliran yang tak pernah berhenti, dan perjuangan untuk menentukan identitas serta masa depan suatu bangsa adalah proses yang berkelanjutan.