Setiap tahun, kalender Hijriah kembali pada titik awalnya, menandai datangnya 1 Muharram. Bagi umat Islam, momen ini seringkali disambut dengan berbagai tradisi dan kegiatan reflektif. Namun, tak jarang muncul pertanyaan, bahkan perdebatan, mengenai legalitas peringatan ini dalam kacamata syariat Islam, dengan sebagian pihak menganggapnya sebagai praktik bid’ah. Di tengah dinamika ini, Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, tampil memberikan pencerahan yang lugas dan mendalam. Penjelasannya bukan sekadar penegasan, melainkan undangan untuk memahami makna 1 Muharram dari perspektif yang lebih kaya, menghubungkannya dengan ekoteologi dan esensi spiritual yang sering terabaikan. Jadi, mengapa pemahaman tentang “1 Muharram bukan bid’ah? ini penjelasan lengkap Menag Nasaruddin” menjadi begitu krusial bagi kita semua? Mari kita selami lebih dalam.
1 Muharram: Simbol Waktu dan Pintu Refleksi
Tahun Baru Islam, 1 Muharram, adalah awal dari sebuah siklus baru dalam penanggalan Hijriah. Ia bukan hanya sekadar pergantian angka di kalender, melainkan sebuah penanda waktu yang sarat makna bagi umat Muslim di seluruh dunia. Momen ini secara intrinsik mengajak setiap individu untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan merenungi perjalanan hidup yang telah dilalui. Lebih dari itu, ia adalah kesempatan emas untuk menyusun langkah-langkah baru yang lebih bermakna dan terarah ke depan.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam Surah Yunus ayat 6:
“Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi pasti terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi kaum yang bertakwa.”
Ayat ini secara gamblang mengingatkan kita bahwa setiap pergantian waktu, termasuk pergantian tahun, adalah ayatullah, tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Ia mendorong manusia untuk senantiasa berpikir, merenung, dan bertakwa. Peringatan 1 Muharram, oleh karena itu, dapat dipahami sebagai respon kolektif umat terhadap ajakan ilahiah ini untuk introspeksi, memperkuat hubungan dengan sesama, dan menyadari posisi diri sebagai bagian tak terpisahkan dari ciptaan Allah. Dalam konteks Indonesia, peringatan ini telah menjadi bagian dari tradisi Nusantara yang kaya, menyatu dengan kearifan lokal dalam menyambut tahun baru Hijriah dengan berbagai kegiatan religius dan budaya yang positif.
Menepis Anggapan Bid’ah: Penjelasan Tegas Menag Nasaruddin Umar
Debat seputar “bid’ah” seringkali mewarnai perbincangan keagamaan di Indonesia, termasuk dalam konteks peringatan 1 Muharram. Sebagian pihak mempertanyakan keabsahan peringatan ini, menganggapnya sebagai inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar kuat dari sunah Nabi Muhammad SAW. Menanggapi polemik ini, Menteri Agama Nasaruddin Umar memberikan klarifikasi yang tegas dan berbobot.
Dalam forum Ngaji Budaya yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama pada Senin, 23 Juni 2025, di Auditorium HM Rasjidi, Jakarta, Menag Nasaruddin Umar dengan lugas menyatakan:
“Memperingati 1 Muharram ini bukan melestarikan bid’ah. Justru kalau paham konsep ekoteologi, sulit untuk musyrik.”
Pernyataan ini menjadi titik krusial dalam memahami perspektif Kemenag. Nasaruddin Umar tidak hanya menolak anggapan bid’ah, tetapi juga memberikan landasan teologis dan filosofis yang kuat di baliknya, yaitu konsep ekoteologi. Ia menjelaskan bahwa esensi peringatan 1 Muharram justru sangat selaras dengan pesan-pesan fundamental dalam Islam, yang menekankan perdamaian, refleksi diri, dan penghormatan terhadap seluruh ciptaan. Acara tersebut sendiri mengusung tema “Tradisi Muharram di Nusantara: Pesan Ekoteologi dalam Perspektif Kearifan Lokal”, yang menunjukkan arah pemikiran progresif dalam memahami praktik keagamaan.
Ekoteologi: Fondasi Pemahaman yang Menyeluruh
Inti dari argumen Menag Nasaruddin Umar terletak pada pemahaman ekoteologi. Konsep ini, meskipun terdengar akademis, sebenarnya menawarkan perspektif yang sangat praktis dan relevan bagi kehidupan sehari-hari umat beragama. Ekoteologi memandang hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan sebagai satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Ini bukan sekadar teori, melainkan cara pandang yang mengajak kita untuk menyadari bahwa setiap elemen ciptaan memiliki nilai dan saling terhubung.
Menag Nasaruddin menjelaskan lebih lanjut bahwa:
“Pesan dari ekoteologi sejatinya selaras dengan pesan 1 Muharram. Karena di waktu itu, kita dilarang berperang, dilarang membuat konflik, dan diminta untuk melakukan introspeksi.”
Artinya, bulan Muharram secara historis adalah salah satu dari empat bulan haram (suci) di mana peperangan dan pertumpahan darah dilarang keras dalam Islam. Semangat larangan ini, ditambah dengan dorongan untuk introspeksi, sangat sepadan dengan nilai-nilai ekoteologi yang mendorong kedamaian, harmoni, dan tanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam. Orang yang memahami ekoteologi, menurut Menag, akan sulit untuk bersikap musyrik (menyekutukan Tuhan) atau bahkan mudah menuduh orang lain musyrik. Hal ini karena kesadaran akan keterkaitan universal akan menumbuhkan rasa hormat dan toleransi, jauh dari sikap menghakimi yang sempit.
Muharram: Momentum Penajaman Hati Nurani
Selain aspek ekoteologi, Menag Nasaruddin Umar juga menyoroti dimensi spiritual yang mendalam dari peringatan 1 Muharram. Ia menekankan bahwa momen ini adalah kesempatan berharga untuk menajamkan hati nurani, sebuah aspek batiniah yang seringkali terlupakan di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang didominasi oleh rasionalitas dan kecerdasan akal.
“Akal kita mungkin sudah tajam, tapi belum tentu batin kita. Maka kita berkumpul di sini, duduk di lantai, tanpa kursi, sebagai bentuk kekuatan simbolik. Ini penting sebagai shock therapy untuk membangkitkan kesadaran jiwa,” tegas Nasaruddin.
Simbolisme dari kegiatan Ngaji Budaya yang digelar tanpa kursi dan dalam suasana kesederhanaan itu mengandung pesan yang kuat. Duduk lesehan di lantai melambangkan kerendahan hati dan upaya untuk melepaskan diri dari segala atribut duniawi, agar batin dapat lebih fokus dan peka. Ini adalah terapi kejut spiritual yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran jiwa, mengingatkan kita bahwa ada dimensi yang lebih dalam dari keberadaan selain sekadar pencapaian intelektual atau material.
Menag juga membedakan antara konsentrasi dan kontemplasi:
- Konsentrasi: Memusatkan pikiran untuk suatu tujuan tertentu. Yang aktif adalah pikiran.
- Kontemplasi: Memusatkan jiwa untuk meraih sesuatu. Yang aktif adalah batin.
Peringatan 1 Muharram, dalam pandangan ini, adalah momen yang tepat untuk kontemplasi. Ini adalah saat di mana kita tidak hanya berpikir, tetapi merasakan, merenung, dan menyelaraskan batin dengan nilai-nilai ilahiah dan universal. Praktik kontemplasi ini memiliki paralel dalam berbagai tradisi agama lain, seperti Nyepi dalam Hindu atau praktik kontemplasi para tokoh agama Kristen, menunjukkan nilai universal dari perenungan diri.
Nilai-nilai Universal dalam Peringatan Muharram
Peringatan 1 Muharram, ketika dipahami melalui lensa ekoteologi dan penajaman hati nurani, mengungkapkan nilai-nilai universal yang relevan tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi kemanusiaan secara keseluruhan.
- Kedamaian dan Anti-Konflik: Bulan Muharram adalah bulan suci yang melarang peperangan. Ini adalah pengingat abadi akan pentingnya menjaga perdamaian dan menghindari konflik, baik dalam skala individu, sosial, maupun global. Pesan ini sangat relevan di tengah dunia yang sering dilanda ketegangan.
- Penghormatan terhadap Waktu dan Tempat: Menag Nasaruddin menekankan pentingnya menghormati waktu dan tempat sebagai bentuk pengagungan terhadap ciptaan Allah. Setiap waktu dan tempat memiliki kesakralannya sendiri. Memperingati 1 Muharram adalah bentuk apresiasi terhadap waktu, menyadari bahwa setiap detik adalah anugerah dan peluang untuk berbuat kebaikan.
- Tanggung Jawab Lingkungan: Konsep ekoteologi secara langsung mengajak umat untuk mencintai ciptaan Tuhan dengan kasih, hormat, dan penuh kesadaran akan tanggung jawab manusia sebagai khalifah (pemimpin/penjaga) di bumi. Ini berarti tidak hanya mencintai yang indah dan subur, tetapi juga menerima dan menghargai setiap fase kehidupan, termasuk yang layu dan gugur. Sikap ini mendorong kepedulian lingkungan yang mendalam, selaras dengan ajaran Islam yang menganjurkan keseimbangan alam.
- Harmoni Sosial: Dengan menekankan introspeksi dan larangan konflik, peringatan Muharram menjadi ruang untuk memperbaiki hubungan sosial. Ini adalah momen untuk merefleksikan bagaimana kita berinteraksi dengan sesama, membangun persaudaraan, dan menjaga keharmonisan dalam masyarakat.
Membangun Pemahaman Islam yang Moderat dan Inklusif
Penjelasan Menag Nasaruddin Umar mengenai 1 Muharram ini merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk mendorong pemahaman Islam yang moderat, toleran, dan berwawasan kebangsaan di Indonesia. Dengan memberikan konteks teologis yang kuat dan menghubungkan praktik keagamaan dengan nilai-nilai universal seperti ekoteologi, Kemenag berupaya membimbing umat untuk tidak terpaku pada perdebatan formalistik semata.
Lebih dari sekadar seremonial, peringatan 1 Muharram diharapkan menjadi momentum untuk:
- Memperbaiki diri: Melalui introspeksi spiritual yang mendalam.
- Memperkuat persaudaraan: Dengan menghilangkan konflik dan menjaga harmoni sosial.
- Menjaga kelestarian alam: Melalui kesadaran ekoteologis dan tanggung jawab sebagai khalifah.
Pesan ini sangat penting di era modern, di mana umat Islam dituntut untuk tidak hanya fokus pada aspek ritual, tetapi juga pada tanggung jawab sosial, lingkungan, dan spiritualitas yang mendalam. Dengan demikian, peringatan 1 Muharram dapat menjadi inspirasi bagi terciptanya kehidupan yang lebih harmonis, damai, dan berkelanjutan, selaras dengan visi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Kesimpulan
Polemik seputar “1 Muharram bukan bid’ah? ini penjelasan lengkap Menag Nasaruddin” telah terjawab dengan jelas dan komprehensif. Melalui forum Ngaji Budaya, Menteri Agama Nasaruddin Umar secara tegas membantah anggapan bahwa peringatan Tahun Baru Islam adalah bid’ah. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa momen ini adalah kesempatan berharga untuk refleksi spiritual, penajaman hati nurani, dan pemahaman yang lebih dalam tentang ekoteologi.
Ekoteologi, sebagai cara pandang yang menyatukan manusia, alam, dan Tuhan, memberikan landasan kuat mengapa 1 Muharram justru selaras dengan nilai-nilai Islam yang menekankan kedamaian, introspeksi, dan tanggung jawab terhadap seluruh ciptaan. Dengan duduk bersama dalam kesederhanaan, umat diajak untuk melakukan kontemplasi, memusatkan batin untuk membangkitkan kesadaran jiwa.
Peringatan 1 Muharram, dengan demikian, bukanlah sekadar rutinitas tradisi, melainkan sebuah panggilan untuk berbenah diri. Ia adalah momentum untuk menguatkan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Memahami perspektif Menag Nasaruddin Umar ini berarti kita diajak untuk melihat 1 Muharram bukan sebagai perdebatan hukum semata, melainkan sebagai sarana untuk memperkaya praktik keagamaan kita dengan nilai-nilai kedamaian, harmoni, dan tanggung jawab universal. Mari kita jadikan setiap pergantian tahun Hijriah sebagai momentum untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bermanfaat bagi lingkungan, dan senantiasa mencintai seluruh ciptaan Allah SWT.
Bagikan artikel ini kepada mereka yang mungkin masih bertanya-tanya, agar pemahaman yang moderat dan inklusif dapat terus tersebar luas.