Dalam lanskap geopolitik dan ekonomi global yang terus bergejolak, pernyataan seorang pejabat tinggi negara seringkali menjadi cerminan dari dinamika kompleks yang tengah berlangsung. Baru-baru ini, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, melontarkan sebuah pernyataan yang menggugah sekaligus memicu perdebatan luas. Ia mengungkapkan keheranannya terhadap pihak-pihak yang memprotes langkah Indonesia dalam mengoptimalkan sumber daya alamnya, sementara negara-negara maju di masa lalu justru melakukan hal serupa untuk mencapai kemajuan. Narasi bahlil sebut negara-negara yang hutannya dibabat, tambangnya diambil, kini mereka maju; heran ada yang protes indonesia keruk sda ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah undangan untuk merenung tentang kedaulatan ekonomi, keadilan pembangunan, dan standar ganda dalam tata kelola global.
Artikel ini akan menyelami lebih dalam esensi pernyataan Bahlil, menelusuri argumen di baliknya, serta mengupas konteks historis dan strategis yang mendasari kebijakan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Kita akan melihat mengapa isu ini menjadi krusial bagi masa depan bangsa, sekaligus mencoba memahami perspektif yang berbeda dalam diskursus global.
Menguak Pernyataan Bahlil: Kilas Balik Sejarah Pembangunan Global
Pernyataan Bahlil Lahadalia yang dilontarkan dalam forum bergengsi Jakarta Geopolitical Forum IX dengan tema “Geoeconomic Fragmentation and Energy Security” bukanlah sekadar keluhan tanpa dasar. Ia menyoroti sebuah fenomena historis yang kerap terabaikan dalam narasi pembangunan global. Menurut Bahlil, banyak negara yang kini menyandang status “maju” mencapai puncak kemakmurannya melalui eksploitasi masif terhadap sumber daya alam mereka sendiri di era 1940-an, 1950-an, hingga 1960-an.
“Sebagian negara-negara lain pada saat mereka di era 40-an, 50-an, 60-an, mereka kan punya hutang banyak juga, mereka punya tambang juga banyak, semuanya mereka banyak, pada saat itu negara mereka belum maju seperti sekarang,” ujar Bahlil. “Maka mereka mengambil alam mereka itu, hutannya dibabat, tambangnya diambil, dan mungkin lingkungannya pada saat itu, wallahu a’lam ya, mungkin tidak lebih baik dari apa yang kita lakukan sekarang.”
Inti argumennya sederhana namun tajam: jika negara-negara tersebut diizinkan “membabat hutan” dan “mengambil tambang” tanpa protes berarti di masanya, mengapa kini Indonesia, sebagai negara berkembang yang baru memulai upaya serupa untuk mencapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan, justru menghadapi gelombang keberatan? Pertanyaan retoris ini menyiratkan adanya standar ganda atau setidaknya persepsi ketidakadilan dalam perlakuan terhadap negara-negara yang berdaulat dalam mengelola kekayaan alamnya.
Bahlil menyoroti bahwa pada masa itu, isu lingkungan mungkin belum menjadi perhatian global seintens sekarang. Namun, esensinya adalah bahwa negara-negara tersebut memanfaatkan kekayaan alamnya sebagai fondasi utama untuk membangun industri, infrastruktur, dan ekonomi yang kuat. Ini adalah model pembangunan yang telah terbukti, dan kini Indonesia ingin mengadopsi pendekatan serupa, namun dengan modifikasi dan komitmen terhadap keberlanjutan yang lebih baik.
Kedaulatan Ekonomi dan Hak Indonesia untuk Maju
Salah satu pilar utama yang ditekankan Bahlil adalah kedaulatan nasional. Baginya, setiap negara memiliki hak penuh untuk mengelola sumber daya alamnya demi kepentingan rakyatnya sendiri tanpa intervensi atau didikte oleh pihak asing. Prinsip ini menegaskan bahwa tidak boleh ada satu negara pun yang merasa lebih berhak atau lebih kuat untuk menentukan arah pembangunan negara lain.
“Negara-negara di dunia ini harus dihargai kedaulatan kemerdekaannya, tidak boleh ada satu negara yang merasa lebih berhak, lebih kuat daripada negara lain, karena kita harus membangun kesepahaman bahwa berdiri sama tinggi, duduk sama rendah di mata dunia dalam mengelola alam kita, ini harus dibangun,” pungkas Bahlil.
Pernyataan ini bukan hanya tentang penolakan terhadap intervensi, tetapi juga tentang penegasan posisi Indonesia di panggung global. Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, berhak sepenuhnya untuk menentukan bagaimana sumber daya tersebut dapat memberikan nilai tambah maksimal bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyatnya. Ini adalah fondasi filosofis di balik kebijakan hilirisasi yang gencar dilakukan pemerintah saat ini.
Mengapa Nilai Tambah Jadi Krusial?
- Peningkatan Pendapatan Nasional: Dengan mengolah bahan mentah menjadi produk bernilai tinggi di dalam negeri, Indonesia tidak hanya mendapatkan harga jual yang lebih baik, tetapi juga menciptakan rantai nilai yang lebih panjang, dari hulu hingga hilir.
- Penciptaan Lapangan Kerja: Industri pengolahan membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dan bervariasi, dari pekerja pabrik hingga ahli teknologi.
- Alih Teknologi dan Pengembangan SDM: Hilirisasi mendorong investasi dalam teknologi dan transfer pengetahuan, meningkatkan kapabilitas industri dan sumber daya manusia lokal.
- Ketahanan Ekonomi: Mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global, serta memperkuat basis manufaktur domestik.
Melalui pendekatan ini, Indonesia berupaya memutus rantai ketergantungan sebagai pemasok bahan mentah dan bertransformasi menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global produk-produk bernilai tambah.
Menanggapi Protes: Antara Kritisisme dan Solusi Indonesia
Bahlil secara eksplisit menyatakan keheranannya atas “protes” yang muncul ketika Indonesia berupaya mengeruk sumber daya alamnya. Protes ini seringkali datang dari kelompok lingkungan, masyarakat sipil, atau bahkan entitas asing yang menyuarakan keprihatinan atas dampak lingkungan dan keberlanjutan.
Namun, Bahlil menegaskan bahwa Indonesia tidak anti-keberlanjutan, melainkan menolak untuk didikte dalam prosesnya. Ia menekankan bahwa pemerintah Indonesia memiliki pemahaman mendalam tentang negaranya sendiri dan tujuan pembangunannya.
“Tolong jangan ajarin kami tentang negara kami, karena kami yang paling tahu tentang tujuan negara kami,” tegas Bahlil.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa kritik, meskipun penting, harus diiringi dengan pemahaman akan konteks nasional dan solusi yang relevan. Indonesia, melalui pemerintahannya, tidak tinggal diam menghadapi tantangan keberlanjutan. Justru, berbagai langkah strategis telah dan sedang dirumuskan untuk memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara bertanggung jawab.
Peta Jalan Hilirisasi dan Komitmen Keberlanjutan
Salah satu bukti nyata komitmen Indonesia terhadap keberlanjutan adalah penyusunan peta jalan atau roadmap hilirisasi pascatambang. Ini adalah sebuah pendekatan holistik yang tidak hanya fokus pada pengolahan bahan mentah, tetapi juga pada pengelolaan dampak lingkungan dan pemanfaatan lahan bekas tambang.
Beberapa poin penting dari peta jalan ini meliputi:
- Pemanfaatan Lahan Pascatambang: Perusahaan tambang diwajibkan untuk memikirkan pemanfaatan lahan bekas tambang setelah cadangan habis. Ide utamanya adalah mengubah bekas area tambang menjadi lahan produktif untuk sektor lain, seperti perkebunan atau perikanan.
- Perencanaan Jangka Panjang: Perusahaan harus sudah merencanakan alih usaha lahan tambang sejak 10 tahun awal operasi. Ini memastikan bahwa transisi ekonomi di daerah tersebut dapat berjalan mulus setelah aktivitas pertambangan berakhir. Tujuannya adalah agar perputaran ekonomi di daerah tersebut tetap berjalan, menciptakan keberlanjutan ekonomi jangka panjang bagi masyarakat lokal.
- Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional:
- Dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2025, satgas ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengkoordinasikan dan mempercepat hilirisasi.
- Tugas dan Wewenang Satgas:
- Menetapkan prioritas kegiatan usaha: Memastikan fokus pada sektor-sektor yang paling strategis.
- Melakukan pemetaan wilayah strategis: Mengidentifikasi lokasi yang optimal untuk proyek hilirisasi.
- Penyesuaian tata ruang: Memastikan regulasi tata ruang mendukung pembangunan industri hilirisasi.
- Mengidentifikasi proyek-proyek strategis: Menentukan proyek-proyek yang berpotensi memberikan dampak signifikan.
- Memberikan rekomendasi penindakan administratif: Menjamin bahwa hambatan birokrasi dapat diatasi dengan cepat dan efisien.
Pembentukan Satgas ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, memastikan ketersediaan lahan, serta menyelesaikan berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses percepatan hilirisasi. Ini adalah langkah konkret untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional, sekaligus meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Tantangan dan Perspektif Masa Depan
Meskipun narasi Bahlil menyoroti hak kedaulatan dan historisitas pembangunan, tidak dapat dimungkiri bahwa pengelolaan sumber daya alam di era modern memiliki kompleksitas tersendiri. Kesadaran global akan isu lingkungan dan perubahan iklim telah meningkat drastis dibandingkan era 40-an atau 60-an. Oleh karena itu, Indonesia tidak hanya dituntut untuk mencapai kemajuan ekonomi, tetapi juga untuk melakukannya dengan cara yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Beberapa tantangan yang perlu terus diperhatikan:
- Keseimbangan Lingkungan: Memastikan bahwa aktivitas pertambangan dan pengolahan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki, seperti pencemaran air, udara, atau deforestasi yang berlebihan.
- Partisipasi Masyarakat: Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, serta memastikan mereka mendapatkan manfaat yang adil dari pengelolaan sumber daya.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Menjaga tata kelola yang baik dan transparan dalam setiap tahapan, dari perizinan hingga operasi dan pascatambang.
- Inovasi Teknologi: Mengadopsi teknologi yang lebih bersih dan efisien untuk mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas industri.
Narasi bahlil sebut negara-negara yang hutannya dibabat, tambangnya diambil, kini mereka maju; heran ada yang protes indonesia keruk sda ini adalah sebuah seruan untuk keadilan historis dan penegasan kedaulatan. Namun, pada saat yang sama, ia juga menjadi pengingat bahwa Indonesia harus terus berinovasi dan berkomitmen pada praktik-praktik terbaik dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kesimpulan: Kedaulatan, Pembangunan, dan Keberlanjutan dalam Satu Visi
Pernyataan Menteri Bahlil Lahadalia adalah refleksi dari sebuah dilema fundamental yang dihadapi banyak negara berkembang: bagaimana mencapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dengan memanfaatkan kekayaan alam, sementara menghadapi tekanan global untuk memprioritaskan isu lingkungan. Argumentasinya yang mengacu pada sejarah pembangunan negara-negara maju memunculkan pertanyaan kritis tentang standar ganda dan hak kedaulatan.
Indonesia, melalui visi hilirisasi dan pembentukan Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, menunjukkan komitmennya untuk tidak hanya “mengeruk” sumber daya, tetapi juga mengolahnya untuk nilai tambah yang lebih besar dan merencanakan keberlanjutan pascatambang. Ini adalah upaya nyata untuk membangun ekonomi yang kuat dan mandiri, sambil tetap memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.
Pada akhirnya, tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan kedaulatan ekonominya dengan tanggung jawab global terhadap lingkungan. Narasi Bahlil adalah panggilan untuk pengakuan atas hak Indonesia untuk maju, namun perjalanan menuju kemajuan tersebut harus ditempuh dengan strategi yang cerdas, bertanggung jawab, dan adaptif terhadap tuntutan zaman. Ini adalah sebuah visi pembangunan yang bertujuan untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah di mata dunia, tidak hanya dalam hak, tetapi juga dalam kapasitas untuk mengelola masa depan dengan bijak.