Membongkar Keputusan Historis: Mengapa Parlemen Iran Sepakat Putus Hubungan dengan Badan Nuklir PBB?

Dipublikasikan 25 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Dunia kembali menyorot Teheran. Sebuah kabar yang menggema dengan cepat, layaknya dentuman palu di meja sidang: tok! parlemen Iran sepakat putus hubungan dengan badan nuklir PBB. Keputusan ini, yang mungkin terdengar mendadak bagi sebagian orang, sesungguhnya merupakan puncak dari serangkaian ketegangan panjang, frustrasi mendalam, dan perhitungan strategis yang kompleks di balik layar politik Iran. Ini bukan sekadar berita, melainkan sebuah babak baru yang berpotensi mengubah dinamika keamanan global dan masa depan program nuklir Iran.

Membongkar Keputusan Historis: Mengapa Parlemen Iran Sepakat Putus Hubungan dengan Badan Nuklir PBB?

Mengapa Parlemen Iran mengambil langkah yang begitu drastis ini? Apa implikasinya terhadap hubungan internasional, terutama dengan kekuatan Barat, dan bagaimana posisi Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dalam pusaran konflik ini? Artikel ini akan mengupas tuntas latar belakang, alasan di balik keputusan parlemen, serta dampak yang mungkin timbul dari langkah fundamental Iran ini. Mari kita selami lebih dalam untuk memahami nuansa di balik “tok!” yang mengguncang ini.

Pemicu Utama: Tuduhan Bias dan Serangan yang Memicu Kemarahan

Keputusan Parlemen Iran untuk menangguhkan kerja sama dengan IAEA, Badan Energi Atom Internasional yang berada di bawah naungan PBB, bukanlah tanpa sebab. Ketua Parlemen Iran, Mohammad Baqer Qalibaf, secara tegas menyatakan bahwa langkah ini diambil sebagai respons terhadap apa yang disebutnya sebagai “perilaku tidak profesional dan bias politik” dari lembaga pengawas nuklir tersebut. Menurut Qalibaf, IAEA telah berubah menjadi “alat politik dari Barat”, sebuah tuduhan serius yang mencerminkan kekecewaan mendalam Teheran.

Tuduhan ini diperkuat oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran beberapa waktu lalu, yang menuding kepala IAEA, Rafael Grossi, dan organisasinya terlibat dalam konflik yang melanda Iran. Pelaporan IAEA yang dianggap “bias” tentang aktivitas nuklir Iran dituduh telah digunakan sebagai “dalih” bagi Israel untuk melancarkan serangan terhadap situs-situs nuklir Iran. Informasi dari berbagai sumber mengindikasikan bahwa jet tempur Israel Defense Forces (IDF) memang telah membombardir sejumlah fasilitas pengembangan nuklir Iran, dengan klaim bahwa Iran akan membutuhkan waktu hingga dua tahun untuk membangun kembali fasilitas tersebut.

Serangan ini, ditambah dengan persepsi bahwa IAEA gagal memenuhi kewajibannya secara objektif dan justru menjadi instrumen politik, menjadi pemicu langsung bagi parlemen untuk mengambil tindakan. Bagi Teheran, profesionalisme dan netralitas IAEA adalah prasyarat utama untuk kelanjutan kerja sama, dan ketika prasyarat itu dirasa tidak terpenuhi, pemutusan hubungan menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

Suara Parlemen: Menuntut Jaminan Objektif dan Menolak Senjata Nuklir

Parlemen Iran, melalui ketua dan presidiumnya, secara konsisten menyuarakan kekecewaan mereka terhadap IAEA. Mohammad Baqer Qalibaf, yang juga mantan pesaing Presiden Hassan Rouhani di Pilpres Iran 2017, adalah salah satu suara paling keras dalam menuntut perubahan sikap IAEA. Ia menegaskan bahwa parlemen sedang berupaya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan secara resmi menangguhkan kerja sama dengan IAEA hingga Iran menerima “jaminan obyektif atas profesionalisme badan internasional ini”.

Penting untuk dicatat bahwa di tengah ketegangan ini, Qalibaf juga menegaskan kembali posisi Iran yang tidak berniat mengembangkan senjata nuklir. Pernyataan ini bertujuan untuk meredakan kekhawatiran global, meskipun skeptisisme dari negara-negara Barat tetap tinggi. Bagi parlemen, langkah penangguhan kerja sama ini adalah upaya untuk menegaskan kedaulatan dan melindungi program nuklir damai mereka dari apa yang mereka anggap sebagai intervensi politik dan spionase melalui kedok pengawasan internasional.

Ruhollah Motefakerzadeh, Presidium Parlemen Iran, juga mengonfirmasi penyusunan draf UU ini kepada kantor berita milik pemerintah Iran, IRNA. Ini menunjukkan bahwa keputusan tersebut bukan sekadar wacana, melainkan sebuah inisiatif legislatif yang serius dan didukung oleh mayoritas anggota parlemen.

Jejak Sejarah: Pola Konflik Parlemen dan IAEA yang Berulang

Keputusan parlemen saat ini bukanlah insiden yang terisolasi, melainkan bagian dari pola konflik yang lebih besar dan telah berlangsung lama antara legislatif Iran yang berhaluan keras dengan badan pengawas nuklir PBB, dan bahkan dengan pemerintah mereka sendiri. Pada Februari 2021, misalnya, Parlemen Iran pernah menanggapi keras keputusan pemerintah Presiden Hassan Rouhani yang kembali mengizinkan IAEA melakukan inspeksi.

Pada saat itu, mayoritas anggota Parlemen Iran sepakat bahwa kesepakatan antara pemerintah dan IAEA harus dibatalkan atau setidaknya diujimaterikan. Mereka menganggap kesepakatan tersebut sebagai “pelanggaran besar terhadap regulasi” yang telah disahkan parlemen pada Desember 2020. Regulasi tersebut secara eksplisit mewajibkan Pemerintah Iran untuk menutup akses IAEA ke situs pengayaan nuklir dan meminta Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) untuk meningkatkan pengayaan nuklir.

Kritikan keras datang dari berbagai anggota parlemen, termasuk Mohammad Bagher Ghalibaf dan Motjaba Rezakhah dari Tehran, yang bahkan mendukung mosi untuk membawa Presiden Hassan Rouhani ke pengadilan atas masalah kesepakatan inspeksi situs nuklir Iran tersebut. Desakan ini pada akhirnya memaksa AEOI untuk menghentikan implementasi kesepakatan dengan IAEA, yang berarti tidak ada lagi akses penuh bagi inspektur IAEA ke situs nuklir Iran, meskipun AEOI tetap menyatakan kesediaan untuk menyerahkan data pengayaan nuklir.

Peristiwa ini menunjukkan beberapa hal penting:

  • Konsistensi Sikap Parlemen: Parlemen Iran, terutama fraksi garis keras, secara konsisten menentang apa yang mereka anggap sebagai intervensi berlebihan atau bias dari IAEA. Mereka cenderung mendorong kebijakan yang lebih protektif terhadap program nuklir Iran.
  • Perselisihan Internal: Ada ketegangan yang jelas antara pemerintah Iran (yang mungkin lebih pragmatis dan terbuka untuk diplomasi) dan parlemen (yang lebih ideologis dan nasionalis) terkait masalah nuklir.
  • Reaksi terhadap Tekanan Eksternal: Kebijakan Iran seringkali merupakan reaksi terhadap tekanan eksternal, terutama setelah Amerika Serikat secara sepihak keluar dari Perjanjian Nuklir Iran 2015, dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Setelah AS keluar, Iran “memberontak” dan meningkatkan pengayaan nuklirnya di luar batas yang disepakati dalam JCPOA sebagai bentuk protes dan leverage.

Dengan demikian, keputusan “tok!” parlemen saat ini adalah kelanjutan dari sikap tegas yang telah lama dipegang, bukan hanya respons dadakan terhadap insiden terbaru. Ini adalah manifestasi dari kebijakan luar negeri dan keamanan yang lebih dalam, yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan persepsi ancaman yang berkelanjutan.

Dilema IAEA dan Implikasi Global

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memiliki mandat krusial untuk mempromosikan penggunaan energi nuklir secara damai dan mencegah penyalahgunaan teknologi nuklir untuk tujuan militer. Dalam konteks Iran, IAEA bertugas memverifikasi kepatuhan Teheran terhadap komitmen non-proliferasi nuklir. Tuduhan “bias” dan “alat politik” yang dilontarkan Parlemen Iran menempatkan IAEA dalam posisi yang sangat sulit.

Jika Iran benar-benar menangguhkan kerja sama, termasuk akses inspeksi dan penyampaian data, ini akan secara signifikan menghambat kemampuan IAEA untuk memverifikasi sifat damai dari program nuklir Iran. Kurangnya transparansi dan pengawasan akan meningkatkan kekhawatiran internasional, terutama dari negara-negara Barat dan Israel, bahwa Iran dapat secara diam-diam mengembangkan kemampuan senjata nuklir.

Implikasi dari keputusan ini sangat luas:

  1. Eskalasi Ketegangan Regional: Pemutusan hubungan ini dapat memperburuk ketegangan yang sudah ada di Timur Tengah, terutama antara Iran dan Israel. Serangan Israel ke situs nuklir Iran dan respons parlemen memperlihatkan lingkaran setan eskalasi yang berbahaya.
  2. Hambatan Diplomasi: Upaya diplomatik untuk menghidupkan kembali JCPOA atau mencapai kesepakatan nuklir baru akan menjadi jauh lebih rumit, jika tidak mustahil. Tanpa kerja sama dengan IAEA, kepercayaan internasional terhadap program nuklir Iran akan semakin terkikis.
  3. Ancaman Non-Proliferasi: Jika Iran secara signifikan mengurangi atau menghentikan pengawasan IAEA, ini akan menjadi pukulan telak bagi rezim non-proliferasi nuklir global. Ini dapat memicu perlombaan senjata di kawasan atau mendorong negara lain untuk mempertimbangkan pengembangan kemampuan nuklir mereka sendiri.
  4. Sanksi Lebih Lanjut: Negara-negara Barat kemungkinan besar akan merespons dengan sanksi ekonomi yang lebih keras terhadap Iran, yang akan semakin menekan perekonomian negara tersebut.

Menuju Masa Depan yang Tak Pasti

Keputusan parlemen Iran untuk memutus hubungan dengan IAEA adalah langkah yang berani dan berisiko, mencerminkan frustrasi yang mendalam serta keinginan untuk menegaskan kedaulatan nasional di hadapan tekanan internasional. Ini adalah sebuah “tok!” yang menandai titik balik potensial dalam saga nuklir Iran yang telah berlangsung puluhan tahun.

Meskipun Parlemen Iran bersikeras bahwa mereka tidak memiliki niat untuk mengembangkan senjata nuklir dan hanya mencari jaminan profesionalisme dari IAEA, dunia akan mengamati dengan cermat langkah-langkah Teheran selanjutnya. Pertanyaan besar yang tersisa adalah: apakah ini akan menjadi langkah mundur yang permanen dalam diplomasi nuklir, ataukah hanya sebuah taktik untuk mendapatkan konsesi yang lebih baik dari komunitas internasional?

Terlepas dari motivasi di baliknya, satu hal yang pasti: keputusan ini akan meningkatkan ketidakpastian di salah satu kawasan paling bergejolak di dunia. Masa depan program nuklir Iran, stabilitas regional, dan upaya non-proliferasi global kini berada di persimpangan jalan yang lebih genting dari sebelumnya. Setiap langkah Iran dan reaksi dari kekuatan global akan menentukan apakah “tok!” ini akan membuka jalan bagi dialog baru atau justru semakin memperdalam jurang konflik.