Media sosial seringkali menjadi panggung bagi berbagai insiden yang menggugah emosi publik, memicu perdebatan, dan pada akhirnya, menuntut perhatian terhadap isu-isu fundamental. Salah satu kejadian yang baru-baru ini menyita perhatian dan memicu gelombang simpati serta kritik adalah insiden viral di Stasiun Mandai, Maros, Sulawesi Selatan. Kisah tentang seorang ibu yang balitanya dilarang naik kereta api karena tidak memiliki tiket, dan bahkan diminta untuk “ditinggal” di stasiun, bukan hanya sekadar berita sesaat. Lebih dari itu, insiden ini membuka diskusi mendalam tentang nasib petugas kereta api yang viral setelah minta balita tak punya tiket ditinggal di stasiun, menyentuh dilema antara penegakan aturan dan empati kemanusiaan, serta implikasinya terhadap pelayanan publik di Indonesia.
Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai dimensi dari peristiwa tersebut, mulai dari kronologi yang memicu kemarahan, perspektif dari pihak penumpang dan petugas, hingga respons resmi dari Balai Pengelola Kereta Api Sulawesi Selatan (BPKASS). Kita akan menelusuri bagaimana sebuah insiden tunggal dapat menjadi cerminan kompleksitas sistem, etika pelayanan, dan harapan masyarakat terhadap transportasi publik yang tidak hanya efisien, tetapi juga manusiawi.
Kronologi Kejadian yang Mengguncang Publik
Peristiwa yang kemudian menjadi viral ini terjadi pada Minggu, 20 Juni 2025, di Stasiun Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Pusat dari insiden ini adalah Sri Ushwa Ningrum (29), seorang ibu muda yang bersama keluarganya, berjumlah sekitar 30 orang (beberapa sumber menyebut 8 orang dewasa), sedang dalam perjalanan pulang menuju Pangkep. Mereka sebelumnya telah membeli 30 lembar tiket dengan rute Pangkajene-Barru, Barru-Mandai, dan Mandai-Pangkajene.
Menurut penuturan Sri, perjalanan dari Pangkajene ke Barru berjalan lancar, meskipun mereka harus berdiri karena gerbong sudah penuh. Masalah mulai muncul ketika mereka tiba di Stasiun Mandai untuk melanjutkan perjalanan ke Pangkep. Di stasiun inilah, seorang petugas melarang balita Sri yang berusia sekitar 2-3 tahun untuk naik kereta karena tidak memiliki tiket.
Yang membuat Sri dan keluarganya naik pitam adalah ucapan petugas yang dinilai tidak manusiawi dan sangat menyinggung. “Yang kami tidak terima karena petugas KAI itu mengatakan, ‘tidak bisa berangkat ini anak, tiket sudah habis, simpan saja ini anak di sini’. Padahal anak kami masih di bawah umur, masa kami tega meninggalkan anak kami di stasiun sendirian,” ujar Sri dengan nada kecewa. Pernyataan tersebut, yang menyiratkan agar balita itu ditinggalkan sendirian di stasiun, memicu kemarahan dan adu mulut antara Sri dengan petugas pria tersebut. Sri merasa petugas tidak melayani mereka dengan baik dan bersikap arogan.
Sri sempat memohon agar diberikan tiket tambahan untuk anaknya, bahkan bersedia membayar berapa pun harganya, atau denda, namun tawaran tersebut ditolak dengan alasan tiket sudah habis. Keheranan Sri juga muncul karena sebelumnya, di Stasiun Pangkajene, anaknya diizinkan naik tanpa tiket. Kontras perlakuan ini menambah kekecewaan keluarga. Meskipun seorang sekuriti sempat melerai dan mengizinkan mereka naik, kondisi kereta yang sudah penuh membuat Sri dan keluarganya akhirnya memilih untuk pulang menggunakan taksi online. Bagi Sri, ini adalah pengalaman buruk pertamanya menggunakan kereta api, yang meninggalkan rasa kekecewaan mendalam terhadap sistem dan pelayanan.
Dilema Aturan vs. Empati: Perspektif Petugas dan Kebijakan KAI
Insiden ini secara tajam menyoroti dilema klasik antara penegakan aturan dan kebutuhan akan empati dalam pelayanan publik. Dari satu sisi, petugas kereta api memiliki tugas untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perusahaan, termasuk kewajiban setiap penumpang, tanpa terkecuali balita, untuk memiliki tiket. Pelanggaran aturan bisa berujung pada sanksi bagi petugas itu sendiri. Dalam konteks ini, petugas mungkin merasa terdesak untuk menegakkan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku, terutama jika kapasitas kereta memang sudah penuh dan ada risiko keselamatan atau ketertiban.
Namun, di sisi lain, cara penyampaian dan bahasa komunikasi petugas menjadi sorotan utama. Ungkapan “simpan saja ini anak di sini” adalah inti dari kemarahan penumpang karena dinilai sangat tidak manusiawi dan tidak berempati, terutama mengingat sang anak masih balita dan tidak mungkin ditinggalkan sendirian. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara penerapan aturan dan standar pelayanan prima yang seharusnya juga mencakup aspek hospitality dan humanisme.
Penting untuk dipahami bahwa petugas yang terlibat dalam insiden ini, sebagaimana dikonfirmasi oleh BPKASS, adalah karyawan dari PT Angkasa Pura Support (APS) yang bertugas sebagai bagian dari tim pendukung operasional di area stasiun. Ini berarti ia adalah pihak ketiga yang dipekerjakan untuk membantu operasional KAI, yang mungkin memiliki pelatihan dan pemahaman yang berbeda tentang protokol penanganan pelanggan dibandingkan dengan karyawan inti KAI.
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam sumber-sumber yang tersedia mengenai kebijakan tiket untuk balita di KAI Sulawesi Selatan, respons BPKASS yang mengingatkan “semua pengguna jasa kereta api untuk mematuhi ketentuan perjalanan, termasuk kewajiban tiket bagi anak-anak, demi keselamatan dan keteraturan bersama” mengindikasikan bahwa ada aturan yang mengharuskan balita memiliki tiket, atau setidaknya terdaftar sebagai penumpang, meskipun mungkin dengan tarif khusus atau “tiket infant” seperti yang umum di transportasi lain. Inkonsistensi penerapan aturan antara Stasiun Pangkajene dan Stasiun Mandai juga menjadi pertanyaan besar yang perlu dievaluasi.
Respon Cepat BPKASS: Sebuah Komitmen Perbaikan Layanan
Viralnya insiden ini dengan cepat menarik perhatian Balai Pengelola Kereta Api Sulawesi Selatan (BPKASS). Kepala BPKASS, Deby Hospital, segera menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami oleh penumpang. Pernyataan resmi ini menunjukkan keseriusan pihak manajemen dalam menanggapi keluhan publik dan menjaga citra pelayanan.
BPKASS tidak hanya meminta maaf, tetapi juga menggarisbawahi komitmen mereka untuk melakukan langkah-langkah konkret sebagai bentuk tanggung jawab dan upaya perbaikan. Beberapa poin penting dari respons BPKASS meliputi:
- Penanganan Menyeluruh: BPKASS memastikan bahwa kejadian ini sedang ditangani secara menyeluruh, termasuk penelusuran kronologi secara objektif untuk memahami akar masalah.
- Evaluasi Prosedur Pelayanan: Akan dilakukan evaluasi mendalam terhadap prosedur pelayanan serta penegakan sanksi disipliner kepada petugas terkait apabila terbukti melanggar standar pelayanan atau etika kerja.
- Langkah Korektif untuk Mitra: BPKASS meminta PT Angkasa Pura Support (APS), tempat petugas tersebut bekerja, untuk mengambil langkah korektif. Ini mencakup pembinaan langsung dan penerapan sanksi sesuai ketentuan perusahaan APS.
- Pelatihan Ulang: Petugas terkait akan diberikan pelatihan ulang (refreshment training) mengenai pelayanan prima dan nilai-nilai hospitality. Ini krusial untuk memastikan bahwa karyawan yang berinteraksi langsung dengan pelanggan memiliki bekal komunikasi dan empati yang memadai.
- Evaluasi Sistem Menyeluruh: Lebih luas lagi, BPKASS juga tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem dan prosedur boarding serta pemeriksaan penumpang di seluruh stasiun. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa proses pelayanan berjalan lancar, adil, dan sesuai dengan standar kenyamanan serta keselamatan yang ditetapkan, sekaligus mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang.
- Mendorong Kepatuhan Penumpang: Di sisi lain, BPKASS juga mengimbau semua pengguna jasa kereta api untuk mematuhi ketentuan perjalanan, termasuk kewajiban tiket bagi anak-anak, demi keselamatan dan keteraturan bersama. Hal ini menekankan bahwa tanggung jawab ada pada kedua belah pihak.
- Menghargai Masukan Publik: BPKASS menegaskan bahwa mereka sangat menghargai setiap masukan, kritik, maupun perhatian dari masyarakat, menjadikannya bagian penting dari upaya perbaikan dan pengembangan layanan transportasi publik yang inklusif dan berkualitas.
Respons ini mencerminkan upaya serius untuk tidak hanya menyelesaikan masalah yang ada, tetapi juga untuk memperbaiki sistem secara fundamental, demi pelayanan yang lebih baik di masa depan.
Menguak Nasib Petugas Kereta Api yang Viral: Antara Sanksi dan Pembinaan
Pertanyaan utama yang muncul dari publik terkait insiden ini adalah mengenai nasib petugas kereta api yang viral setelah minta balita tak punya tiket ditinggal di stasiun. Berdasarkan pernyataan resmi dari BPKASS, dapat disimpulkan bahwa nasib petugas tersebut saat ini berada dalam proses evaluasi dan penanganan internal.
Petugas tersebut adalah karyawan dari PT Angkasa Pura Support (APS), sebuah perusahaan penyedia jasa pendukung operasional. Ini berarti tindakan disipliner atau pembinaan akan ditangani oleh APS, namun di bawah pengawasan dan permintaan dari BPKASS sebagai pihak yang bertanggung jawab atas operasional kereta api.
Pernyataan Deby Hospital mengindikasikan bahwa petugas tersebut berpotensi menghadapi beberapa konsekuensi:
- Penegakan Sanksi Disipliner: Apabila hasil penelusuran objektif membuktikan bahwa petugas tersebut melanggar standar pelayanan atau etika kerja, ia akan dikenai sanksi disipliner sesuai ketentuan perusahaan APS. Bentuk sanksi ini bisa bervariasi, mulai dari teguran, skorsing, hingga kemungkinan terburuk pemutusan hubungan kerja, tergantung pada tingkat pelanggaran dan kebijakan internal perusahaan.
- Pembinaan Langsung: Selain sanksi, yang ditekankan juga adalah aspek pembinaan langsung. Ini menunjukkan bahwa tujuan bukan hanya menghukum, tetapi juga mendidik dan memperbaiki perilaku.
- Pelatihan Ulang (Refreshment Training): Salah satu langkah korektif yang paling penting adalah pemberian pelatihan ulang tentang pelayanan prima dan nilai-nilai hospitality. Ini adalah investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memastikan bahwa petugas tidak hanya memahami aturan, tetapi juga cara menerapkannya dengan bijak dan berempati.
Insiden viral seperti ini, meskipun dapat merugikan reputasi individu dan institusi, seringkali menjadi katalisator bagi perbaikan. Bagi petugas yang terlibat, ini adalah pelajaran berharga yang mungkin mengubah cara pandangnya dalam berinteraksi dengan publik. Nasib petugas kereta api yang viral setelah minta balita tak punya tiket ditinggal di stasiun ini, pada akhirnya, adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi oleh setiap individu di garis depan pelayanan publik: menyeimbangkan antara kepatuhan pada aturan dan kebutuhan untuk menunjukkan kemanusiaan dalam setiap interaksi.
Pelajaran Penting: Harmonisasi Regulasi dan Humanisme dalam Pelayanan Publik
Kisah viral ini memberikan beberapa pelajaran penting yang patut direnungkan oleh semua pihak, baik penyedia layanan maupun pengguna jasa:
- Kejelasan dan Konsistensi Aturan: Perlu ada kejelasan dan konsistensi dalam penerapan aturan, terutama yang berkaitan dengan kebijakan tiket untuk anak-anak. Jika ada perbedaan kebijakan di stasiun yang berbeda dalam satu rute perjalanan, hal itu harus dikomunikasikan dengan sangat jelas kepada penumpang sejak awal.
- Pentingnya Komunikasi yang Empati: Terlepas dari aturan yang ada, cara berkomunikasi petugas adalah kunci. Kalimat yang tidak berempati dapat memicu konflik dan merusak citra layanan. Pelatihan soft skills, terutama komunikasi dan hospitality, adalah investasi vital bagi setiap petugas yang berinteraksi langsung dengan publik.
- Sistem yang Adaptif dan Fleksibel: Dalam situasi luar biasa, seperti tiket habis atau kondisi darurat, apakah ada protokol khusus yang memungkinkan fleksibilitas tanpa mengorbankan keselamatan? Sistem harus dirancang untuk mengakomodasi skenario yang tidak terduga dengan solusi yang manusiawi.
- Peran Media Sosial: Insiden ini menunjukkan kekuatan media sosial sebagai alat pengawasan publik dan pendorong akuntabilitas. Viralitas dapat dengan cepat menarik perhatian manajemen dan memicu tindakan korektif.
- Tanggung Jawab Bersama: Sementara penyedia layanan harus memberikan pelayanan terbaik, penumpang juga memiliki tanggung jawab untuk memahami dan mematuhi peraturan yang berlaku demi kelancaran dan keselamatan bersama.
Insiden nasib petugas kereta api yang viral setelah minta balita tak punya tiket ditinggal di stasiun ini adalah pengingat bahwa di balik setiap peraturan dan prosedur, ada manusia yang berinteraksi dengan manusia lain. Keseimbangan antara efisiensi operasional dan sentuhan humanisme adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan kepuasan publik terhadap layanan transportasi.
Kesimpulan
Insiden di Stasiun Mandai, Maros, adalah sebuah potret kompleksitas dalam ranah pelayanan publik. Kisah seorang ibu yang marah karena balitanya dilarang naik kereta tanpa tiket, dan bahkan diminta untuk “ditinggal” di stasiun, telah menyoroti ketegangan antara penegakan aturan yang kaku dan tuntutan akan empati kemanusiaan. Kejadian ini bukan hanya tentang pelanggaran peraturan, tetapi juga tentang kegagalan dalam komunikasi yang manusiawi.
Pihak Balai Pengelola Kereta Api Sulawesi Selatan (BPKASS) telah menunjukkan respons yang cepat dan bertanggung jawab, mengakui ketidaknyamanan yang terjadi dan berkomitmen untuk melakukan evaluasi menyeluruh, baik terhadap petugas yang terlibat maupun prosedur operasional secara umum. Nasib petugas kereta api yang viral setelah minta balita tak punya tiket ditinggal di stasiun ini menjadi contoh bagaimana sebuah insiden dapat memicu perbaikan sistematis, dengan fokus pada pembinaan, pelatihan ulang, dan peninjauan kembali prosedur untuk memastikan pelayanan yang lebih prima dan berempati di masa depan.
Pada akhirnya, insiden ini adalah pelajaran berharga bagi seluruh elemen dalam ekosistem pelayanan publik. Harmonisasi antara aturan yang jelas dan konsisten dengan sentuhan humanisme yang mendalam adalah fondasi utama untuk menciptakan pengalaman perjalanan yang aman, nyaman, dan meninggalkan kesan positif bagi setiap pengguna jasa kereta api. Semoga kejadian ini menjadi momentum untuk peningkatan kualitas pelayanan yang berkelanjutan, di mana setiap interaksi tidak hanya efisien, tetapi juga menghargai martabat manusia.