Pergolakan di Timur Tengah tak pernah berhenti menarik perhatian dunia, seringkali menyajikan dinamika yang kompleks dan tak terduga. Baru-baru ini, sebuah babak konflik yang intens antara Israel dan Iran, yang berlangsung selama dua belas hari pada Juni 2025, telah mengukir realitas baru yang mengejutkan. Di tengah hiruk pikuk gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat, muncul laporan signifikan bahwa Israel mulai kehabisan amunisi usai perang 12 hari, Iran hentikan kerja sama dengan IAEA. Perkembangan ini tidak hanya mengubah lanskap militer regional tetapi juga menyoroti kerentanan tak terduga serta ketegangan diplomatik yang semakin memanas. Artikel ini akan mengupas tuntas implikasi dari peristiwa-peristiwa krusial ini, menggali bagaimana kondisi ini memengaruhi stabilitas kawasan dan hubungan internasional di masa mendatang.
Kronologi Konflik 12 Hari: Dari Serangan Pembuka hingga Gencatan Senjata Dramatis
Konflik bersenjata antara Israel dan Iran pada Juni 2025 tercatat sebagai salah satu eskalasi paling intens di Timur Tengah dalam beberapa dekade terakhir. Awal mula ketegangan memuncak pada 13 Juni 2025, ketika Israel meluncurkan serangan udara dan operasi intelijen besar-besaran yang diberi sandi Operasi Rising Lion. Serangan ini secara spesifik menargetkan puluhan lokasi strategis di Iran, termasuk fasilitas nuklir utama di Natanz, Isfahan, dan Fordow, serta kompleks rudal, markas militer, hingga infrastruktur bawah tanah. Dalih utama Israel di balik operasi ini adalah untuk menghentikan pengembangan program nuklir militer Iran yang dituding dilakukan secara rahasia, serta menetralisir apa yang mereka sebut sebagai ancaman eksistensial.
Tak butuh waktu lama bagi Iran untuk merespons. Pada hari yang sama, Teheran meluncurkan operasi militer balasan yang diberi nama Operasi True Promise 3. Operasi ini melibatkan serangan masif yang menargetkan sejumlah instalasi militer penting di Israel, termasuk pangkalan udara, pusat intelijen, dan beberapa kota besar seperti Tel Aviv, Yerusalem, Haifa, serta situs-situs strategis di Bat Yam dan Herzliya. Serangan balasan Iran menggunakan puluhan rudal balistik dan hipersonik Fattah-1, di samping ratusan drone, yang dilaporkan menimbulkan kerusakan signifikan dan meluasnya skala konflik yang awalnya hanya berupa serangan udara sepihak.
Situasi semakin rumit dan memanas ketika Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, turut campur dalam eskalasi konflik. Pada 22 Juni, militer AS melancarkan serangan udara langsung terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan, menggunakan bom bunker-buster dan rudal Tomahawk. Presiden AS Donald Trump secara terbuka menyatakan bahwa AS kini bertindak “sebagai rekan tempur penuh di pihak Israel.” Iran tidak tinggal diam; sehari setelahnya, Teheran membalas serangan AS dengan menembakkan rudal ke Pangkalan Udara Al Udeid milik militer AS di Qatar, menandai perluasan konflik yang berpotensi mengganggu stabilitas regional dan global.
Setelah dua belas hari pertempuran sengit yang mengguncang kawasan, gencatan senjata akhirnya tercapai. Pada 25 Juni 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Israel dan Iran telah menyepakati “gencatan senjata yang menyeluruh dan total.” Pengumuman ini segera dikonfirmasi oleh media pemerintah Iran yang menyatakan gencatan senjata telah berlaku. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mengakui kesepakatan tersebut, sembari memuji dukungan “belum pernah terjadi sebelumnya” dari Amerika Serikat. Gencatan senjata ini membawa harapan baru bagi stabilitas kawasan, meskipun ketegangan masih membayangi hubungan antara dua kekuatan regional tersebut.
Realitas Mengejutkan: Israel Dikabarkan Mulai Kehabisan Amunisi
Salah satu narasi paling mencengangkan dan signifikan yang muncul pasca-konflik 12 hari adalah laporan mengenai krisis amunisi yang melanda militer Israel. Mengutip sejumlah pejabat anonim di pemerintahan AS, NBC News melaporkan bahwa Israel mengalami kekurangan sejumlah persenjataan vital, khususnya amunisi, menyusul operasi militer besar-besaran dan intensitas serangan yang sangat tinggi terhadap Iran.
- Pukulan Telak bagi Kekuatan Militer: Israel selama ini dikenal sebagai kekuatan militer yang tangguh di Timur Tengah, didukung dengan persenjataan modern dan kemampuan tempur tinggi, serta dukungan penuh dari Amerika Serikat. Kabar mengenai minimnya daya tempur akibat krisis amunisi ini menjadi pukulan telak dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai keberlanjutan operasi militer skala besar di masa depan. Hal ini juga menunjukkan bahwa bahkan militer yang paling canggih sekalipun memiliki batas daya tahan logistik dalam konflik berkepanjangan.
- Intensitas Penggunaan Senjata: Krisis amunisi ini secara langsung diakibatkan oleh tingginya intensitas serangan dan penggunaan senjata dalam skala besar selama dua belas hari berturut-turut. Kekurangan ini mencakup berbagai jenis amunisi, termasuk rudal dan peluru artileri yang menjadi andalan dalam serangan jarak jauh dan pertempuran darat. Jumlah amunisi yang dikonsumsi dalam periode singkat tersebut tampaknya melampaui perkiraan atau kapasitas pasokan rutin Israel.
- Analisis Peter Ford: Mantan Duta Besar Inggris untuk Suriah, Peter Ford, memberikan perspektif menarik terkait situasi ini. Ia mengatakan kepada RIA Novosti bahwa ada kemungkinan besar gencatan senjata akan bertahan karena Israel kini kehabisan daya tempur dan secara strategis lebih membutuhkan perdamaian dibanding Iran. Pernyataan ini menggarisbawahi posisi Israel yang lebih terdesak secara logistik, yang mungkin menjadi faktor pendorong utama di balik kesepakatan gencatan senjata.
- Peringatan Iran: Markas Pusat Khatam Al-Anbia (KCHQ) Angkatan Bersenjata Iran bahkan telah memberi peringatan keras bahwa setiap negara yang memasok senjata kepada Israel akan menjadi sasaran tembak bagi militer Iran. KCHQ mengklaim data intelijen mereka menunjukkan Israel mengalami kerugian substansial dalam kapabilitas radar dan pertahanan udara, serta mulai kekurangan amunisi, meskipun memiliki sistem pertahanan tercanggih dan mendapat dukungan penuh dari AS. Peringatan ini menegaskan bahwa Iran melihat krisis amunisi ini sebagai titik lemah strategis Israel.
Situasi ini tidak hanya mengungkap kerentanan tak terduga dalam rantai pasokan militer Israel, tetapi juga bisa menjadi faktor penentu dalam kalkulasi strategis di masa depan, baik bagi Israel sendiri maupun bagi musuh-musuhnya di kawasan.
Iran Hentikan Kerja Sama dengan IAEA: Bentuk Protes dan Penegasan Kedaulatan
Di tengah dan setelah konflik 12 hari, hubungan antara Iran dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) juga mencapai titik kritis. Pada 25 Juni 2025, Parlemen Iran mengambil langkah drastis dengan menyetujui penangguhan kerja sama dengan lembaga pengawas nuklir PBB tersebut. Langkah ini merupakan respons langsung terhadap serangan besar-besaran Israel dan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran, serta ketidakpuasan mendalam Iran terhadap apa yang mereka anggap sebagai sikap bias IAEA.
Latar Belakang Ketegangan dengan IAEA
Ketegangan antara Iran dan IAEA bukanlah hal baru; ini adalah bagian dari sejarah panjang program nuklir Iran yang bermula dari inisiatif “Atoms for Peace” AS pada 1950-an. Meskipun Iran selalu menegaskan programnya untuk tujuan damai dan energi, kekhawatiran internasional, terutama dari Israel dan AS, terus membayangi.
- Laporan Kontroversial IAEA: Tepat sebelum serangan Israel, IAEA merilis laporan yang menyoroti tingkat pengayaan uranium di Iran “lebih tinggi daripada di negara-negara tanpa program nuklir militer.” Laporan ini, meskipun Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi kemudian mengklarifikasi bahwa IAEA tidak menemukan bukti adanya upaya sistematis Iran membangun senjata nuklir, telah digunakan oleh Israel sebagai pembenaran atas serangannya. Iran menuduh Grossi mengaburkan kebenaran dalam laporan-laporannya.
- Resolusi dan Tuduhan Politisasi: Dalam sebuah resolusi yang didorong oleh Jerman, Prancis, dan Inggris, serta didukung AS, IAEA menuduh Iran “tidak mematuhi” kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA). Iran memandang resolusi ini sebagai tindakan politisasi dan dalih bagi agresi Israel. Pejabat Iran menuduh IAEA telah mengabaikan prinsip-prinsip netralitas, profesionalisme, dan objektivitasnya.
- Kecaman Pejabat Iran: Pejabat Iran, termasuk Duta Besar untuk PBB Amir Saeid Iravani dan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Esmaeil Baghaei, secara terbuka mengecam perilaku “selektif, dipolitisasi, dan diskriminatif” dari pimpinan IAEA. Mereka mencatat bahwa pengakuan Grossi atas kurangnya bukti persenjataan datang terlambat—setelah resolusi dan serangan tersebut.
Keputusan Parlemen Iran
Ketua Parlemen Iran, Mohammad Bagher Ghalibaf, secara tegas mengecam IAEA karena tidak mengutuk serangan terhadap instalasi nuklir negaranya. Dalam pernyataannya yang dikutip oleh media pemerintah, Ghalibaf menyatakan:
“Badan Energi Atom Internasional, yang bahkan menolak untuk mengutuk secara marginal serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, telah melelang kredibilitas internasionalnya.”
Ghalibaf juga menegaskan bahwa “Organisasi Energi Atom Iran akan menangguhkan kerja sama dengan IAEA hingga keamanan fasilitas nuklir Iran dijamin.” Keputusan krusial ini, yang didukung oleh 221 dari 290 anggota parlemen, masih menunggu persetujuan dari Dewan Wali (Guardian Council) untuk menjadi undang-undang. Setelah pemungutan suara, suasana di dalam parlemen berubah emosional, dengan para anggota meneriakkan slogan “Matilah Amerika” dan “Matilah Israel,” sebagai respons atas serangan militer dua negara tersebut terhadap situs nuklir Iran.
Implikasi Penghentian Kerja Sama
Langkah Iran untuk menghentikan kerja sama dengan IAEA memiliki beberapa implikasi signifikan:
- Penegasan Kedaulatan dan Protes: Ini adalah sinyal kuat dari Iran bahwa mereka tidak akan menoleransi apa yang mereka anggap sebagai penggunaan IAEA sebagai alat politik oleh negara-negara Barat. Ini juga merupakan bentuk protes tegas terhadap serangan terhadap fasilitas nuklir mereka.
- Meningkatnya Ketidakpastian Program Nuklir: Tanpa pengawasan ketat IAEA, transparansi program nuklir Iran akan berkurang drastis. Hal ini berpotensi meningkatkan kekhawatiran internasional dan memperdalam ketidakpercayaan, yang dapat memicu tekanan sanksi yang lebih besar atau bahkan tindakan militer di masa mendatang.
- Dampak pada Negosiasi Diplomatik: Penangguhan kerja sama ini dapat mempersulit upaya diplomatik di masa depan terkait kesepakatan nuklir, termasuk potensi kembalinya Iran ke tingkat pra-JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama) dalam aktivitas nuklirnya, yang berarti pengayaan uranium yang lebih tinggi dan pembatasan pengawasan yang lebih sedikit.
- Tuntutan Keamanan sebagai Prasyarat: Iran menjadikan jaminan keamanan fasilitas nuklirnya sebagai prasyarat untuk melanjutkan kerja sama, sebuah tuntutan yang kemungkinan sulit dipenuhi di tengah ketegangan geopolitik yang ada. Ini menempatkan beban pada IAEA dan komunitas internasional untuk menemukan solusi yang dapat diterima Iran.
Langkah ini menunjukkan bahwa Iran siap mengambil risiko diplomatik yang besar untuk menegaskan posisi dan melindungi kepentingan nasional mereka di panggung global, bahkan jika itu berarti mengasingkan diri lebih lanjut dari komunitas internasional.
Klaim Kemenangan dan Masa Depan Kawasan yang Rapuh
Meskipun gencatan senjata telah berlaku, narasi kemenangan yang saling bertentangan muncul dari masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik 12 hari ini, menyoroti kompleksitas situasi dan perbedaan persepsi:
- Kemenangan Israel (Menurut Netanyahu): Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Israel telah mengamankan kemenangan bersejarah yang akan bergema selama beberapa generasi. Ia menekankan bahwa Israel berhasil menghilangkan dua ancaman eksistensial: bahaya yang mengancam dari program senjata nuklir Iran dan ancaman 20.000 rudal balistik Teheran. Netanyahu juga memuji serangan militer AS terhadap fasilitas nuklir Iran sebagai hasil upaya diplomatik yang dipeloporinya, menegaskan bahwa “Israel tidak pernah memiliki teman seperti Presiden Trump di Gedung Putih.”
- Kemenangan Iran (Menurut Pezeshkian): Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyatakan bahwa kemenangan yang diraih Iran adalah hasil langsung dari tekad kuat dan perlawanan heroik rakyatnya. Ia menggambarkan berakhirnya konflik sebagai kemenangan bersejarah yang dipaksakan kepada Iran oleh tindakan provokatif rezim Zionis. Pezeshkian juga mengkritik musuh Iran karena mengingkari janji dan melakukan agresi bahkan di tengah perundingan, sembari menegaskan komitmen Iran terhadap koeksistensi dan stabilitas regional.
- Pencapaian Besar AS (Menurut Trump): Presiden Donald Trump memuji gencatan senjata sebagai pencapaian besar yang berhasil mencegah perang berkepanjangan yang dapat menghancurkan Timur Tengah. Ia mengklaim AS berhasil menjadi penengah perdamaian tanpa kehilangan personel dalam konflik ini, menunjukkan kekuatannya secara luas dan mengklaim penghargaan karena berhasil menstabilkan situasi.
Klaim kemenangan yang kontradiktif ini menunjukkan bagaimana masing-masing pihak berusaha membentuk narasi yang menguntungkan bagi konsumsi domestik maupun internasional, meskipun realitas di lapangan mungkin jauh lebih nuansa dan rapuh.
Dampak Geopolitik dan Prospek Stabilitas Kawasan
Perang 12 hari dan perkembangan yang mengikutinya, seperti kondisi amunisi Israel dan keputusan Iran terkait IAEA, memiliki dampak geopolitik yang luas dan berpotensi membentuk kembali dinamika kekuatan di Timur Tengah.
- Kerentanan Militer Israel: Laporan mengenai krisis amunisi Israel menunjukkan kerentanan yang sebelumnya kurang disadari oleh publik. Ini bisa memengaruhi kalkulasi musuh-musuh Israel di masa depan dan mendorong