Melampaui Sekat Mazhab: Mengapa Ali Khamenei Serukan Muslim Bersatu, Abaikan Pertentangan Sunni-Syiah?

Dipublikasikan 26 Juni 2025 oleh admin
Sosial Politik

Dalam lanskap geopolitik Timur Tengah yang kerap bergejolak, seruan untuk persatuan menjadi sebuah oase di tengah gurun konflik. Salah satu suara yang paling lantang menyerukan hal ini datang dari Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Ia secara konsisten menyerukan muslim bersatu, abaikan pertentangan Sunni-Syiah, sebuah pesan yang, pada pandangan pertama, mungkin tampak paradoks mengingat latar belakangnya sebagai pemimpin negara mayoritas Syiah. Namun, di balik seruan ini terhampar lapisan makna, strategi, dan keyakinan mendalam yang layak untuk dieksplorasi secara mendalam.

Melampaui Sekat Mazhab: Mengapa Ali Khamenei Serukan Muslim Bersatu, Abaikan Pertentangan Sunni-Syiah?

Mengapa seorang pemimpin spiritual dan politik dari salah satu mazhab Islam terbesar begitu gigih mengadvokasi penghapusan sekat-sekat sektarian? Apakah ini sekadar taktik politik, ataukah ada prinsip-prinsip fundamental yang mendasarinya? Artikel ini akan menyelami esensi di balik seruan persatuan Ali Khamenei, mengurai konteks historis, dasar teologis, hingga implikasi geopolitiknya, untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang fenomena yang jarang dibahas ini.

Konteks yang Membentuk Seruan Persatuan: Antara Konflik Internal dan Ancaman Eksternal

Sejarah Islam telah lama diwarnai oleh dinamika hubungan antara mazhab Sunni dan Syiah. Perbedaan interpretasi teologis dan suksesi kepemimpinan pasca-Nabi Muhammad SAW telah menorehkan jurang yang dalam, sering kali dieksploitasi oleh kekuatan eksternal untuk kepentingan geopolitik. Di tengah realitas ini, seruan Ali Khamenei untuk ali khamenei serukan muslim bersatu, abaikan pertentangan sunni-syiah menjadi sangat relevan.

Khamenei secara terang-terangan menuduh bahwa ada pihak-pihak, yang ia sebut sebagai “negara-negara arogan” dan Amerika Serikat, yang secara sistematis berupaya memecah belah dunia Islam. Tujuan mereka, menurut Khamenei, adalah untuk memicu perselisihan antara Muslim Syiah dan Sunni demi mengalihkan perhatian umat dari isu-isu krusial, seperti penderitaan rakyat Palestina dan ancaman Zionis. Propaganda dan tekanan ekonomi disebut sebagai alat yang digunakan untuk menciptakan gesekan, mendorong individu dari kedua belah pihak untuk saling menjelekkan dan mencurigai.

Seruan ini semakin mengemuka dalam pertemuan-pertemuan penting, seperti yang terjadi baru-baru ini dalam rangka Pekan Persatuan Islam, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam forum yang dihadiri oleh ulama dan imam besar Sunni dari berbagai wilayah Iran, Khamenei menegaskan bahwa identitas umat Islam melampaui batas-batas geografis dan perbedaan mazhab. Ia menekankan bahwa seorang Muslim tidak boleh acuh terhadap penderitaan sesama Muslim, menyoroti peristiwa di Gaza sebagai contoh nyata.

Legitimasi Spiritual dan Politik: Mengapa Suara Khamenei Berbobot?

Untuk memahami kedalaman seruan Ali Khamenei, penting untuk menilik posisi dan legitimasi yang ia miliki, terutama di mata jutaan pengikut Syiah di seluruh dunia. Ayatollah Sayyed Ali Khamenei diyakini secara luas sebagai keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Gelar “Sayyed” yang disandangnya merujuk pada silsilah yang ditelusuri melalui cucu Nabi, Imam Husain AS, dan tokoh-tokoh Ahlul Bait lainnya.

Keterkaitan darah dengan Nabi Muhammad SAW ini tidak sekadar simbolis. Dalam tradisi Muslim Syiah, garis keturunan kenabian memiliki makna spiritual dan kultural yang mendalam, menambah nilai keagamaan dan pengaruh spiritual Khamenei dalam urusan agama dan kepemimpinan politik. Meskipun klaim silsilah ini didasarkan pada catatan keagamaan dan tradisi genealogi Islam yang diwariskan secara generasi dan belum diverifikasi oleh lembaga genealogi resmi, keyakinan terhadapnya tetap memiliki nilai simbolis yang kuat di banyak komunitas Muslim. Penghormatan terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW menjadi salah satu dasar legitimasi kepemimpinan tokoh-tokoh seperti Khamenei, baik di ranah spiritual maupun politik.

Dengan posisi ini, seruan Khamenei untuk ali khamenei serukan muslim bersatu, abaikan pertentangan sunni-syiah tidak hanya datang dari seorang kepala negara, melainkan juga dari seorang figur spiritual yang dihormati, yang perkataannya dianggap memiliki bobot keagamaan. Ini memberikan dimensi lain pada seruannya, mengangkatnya dari sekadar pernyataan politik menjadi sebuah ajakan moral dan keagamaan.

Empat Pilar Persatuan: Fondasi yang Dibangun Khamenei

Ali Khamenei tidak hanya menyerukan persatuan secara umum, tetapi juga secara konkret mengidentifikasi fondasi-fondasi yang dapat menyatukan Muslim Sunni dan Syiah. Ia menekankan bahwa persamaan di antara kedua mazhab jauh lebih banyak daripada perbedaannya. Dalam pandangannya, empat pilar utama ini dapat menjadi titik tolak untuk merawat persatuan:

  1. Syariat Islam:
    Khamenei menegaskan bahwa terlepas dari perbedaan aliran dan praktik, seluruh umat Islam berbagi keyakinan terhadap prinsip-prinsip dasar Islam. “Kita semua percaya pada Islam, Nabi Suci (s.a.w), Ka’bah, salat, haji, jihad, dan Syariah,” ujarnya. Ia menekankan bahwa menghormati keyakinan masing-masing tidak berarti meremehkan keyakinan pihak lain. Ini adalah pengakuan akan pluralitas dalam kerangka kesatuan fundamental ajaran Islam.

  2. Amirul Mukminin (Imam Ali bin Abi Thalib a.s.):
    Secara mengejutkan bagi sebagian orang, Khamenei menyatakan bahwa figur Imam Ali, yang dikenal sebagai Amirul Mukminin, seharusnya menjadi simbol persatuan, bukan perpecahan. Ia berpendapat bahwa semua Muslim, baik Sunni maupun Syiah, menghormati Imam Ali. Bahkan, ia mencontohkan ulama-ulama Sunni seperti Imam Al-Syafi’i yang menulis syair-syair memuliakan Imam Ali. Ini adalah upaya untuk merekontekstualisasi salah satu titik perbedaan historis menjadi titik temu.

  3. Al-Qur’an:
    Sebagai kitab suci yang menjadi pegangan bersama seluruh umat Islam, Al-Qur’an ditekankan sebagai sumber persatuan, bukan alat perpecahan. Khamenei mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang menyerukan kewaspadaan terhadap musuh dan pentingnya menjaga kesatuan, seperti “Dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan kehilangan kekuatanmu” (QS Al-Anfal: 46). Ini menunjukkan bahwa persatuan adalah perintah ilahi yang melampaui perbedaan mazhab.

  4. Nabi Muhammad SAW:
    Pemimpin tertinggi Iran itu juga menekankan pentingnya menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai titik sentral dalam menyatukan umat. Ia menyerukan agar umat Islam dan cendekiawan kembali menguatkan pijakan mereka pada ajaran dan akhlak Nabi Muhammad SAW sebagai pusat pemersatu seluruh umat. Nabi adalah figur universal yang dihormati oleh semua Muslim, dan ajarannya menjadi panduan hidup yang tak terbantahkan.

Pilar-pilar ini menunjukkan bahwa seruan Khamenei untuk ali khamenei serukan muslim bersatu, abaikan pertentangan sunni-syiah bukan hanya retorika kosong, melainkan didasarkan pada kerangka teologis dan historis yang ia yakini dapat menjembatani perbedaan.

Persatuan sebagai Prinsip Ilahi, Bukan Sekadar Taktik Politik

Satu poin krusial yang terus ditekankan Khamenei adalah bahwa persatuan umat Islam adalah perintah langsung dari Al-Qur’an, bukan sekadar strategi politik atau taktik diplomasi. Baginya, persatuan adalah sebuah prinsip fundamental. Ini adalah respons terhadap upaya musuh yang ingin memecah belah umat dari dalam, sebagaimana ia sebutkan bahwa “mereka menekan tokoh-tokoh dari dua mazhab agar saling menjelekkan.”

Khamenei juga menyoroti kiprah umat Sunni di Iran sebagai bukti nyata kecintaan mereka pada Tanah Air dan Revolusi. Ia menyebutkan bahwa lebih dari 15.000 syuhada Sunni gugur dalam Perang Pertahanan Suci (Perang Iran-Irak), dan banyak ulama Sunni juga wafat di jalan kebenaran. Ini adalah upaya untuk menunjukkan bahwa di dalam Iran sendiri, persatuan Sunni dan Syiah telah terwujud dan dipertahankan meskipun menghadapi berbagai konspirasi.

Seruan untuk ali khamenei serukan muslim bersatu, abaikan pertentangan sunni-syiah ini juga sangat terkait dengan isu Palestina. Khamenei berulang kali menegaskan bahwa mendukung rakyat Gaza dan Palestina adalah kewajiban seluruh umat Islam. Ia melihat rezim Zionis Israel sebagai “kanker tumor yang berbahaya” dan satu-satunya cara bagi umat Islam untuk mempertahankan diri adalah dengan kembali kepada ajaran Islam dan bersatu. Menurutnya, kekuatan-kekuatan penindas menyadari bahwa persatuan akan mengalihkan perhatian umat Islam terhadap isu Palestina yang menjadi isu penting bagi umat Islam, sehingga mereka berusaha keras memecah belah.

Implikasi dan Tantangan: Mungkinkah Persatuan Terwujud?

Seruan persatuan dari Ali Khamenei, meskipun berakar pada prinsip-prinsip Islam dan didukung oleh legitimasi spiritual, tentu saja menghadapi tantangan besar. Sejarah panjang konflik, intervensi asing, dan perbedaan kepentingan politik antarnegara Muslim adalah rintangan yang tidak mudah diatasi. Namun, pesan inti dari Khamenei adalah sebuah ajakan untuk melampaui sekat-sekat sempit, baik mazhab maupun geografis, dan berpegang teguh pada identitas umat Islam yang lebih besar.

Jika seruan ali khamenei serukan muslim bersatu, abaikan pertentangan sunni-syiah ini dapat bergema lebih luas dan menemukan landasan yang kokoh, implikasinya bagi dunia Islam dan geopolitik global akan sangat signifikan. Sebuah umat yang bersatu akan memiliki kekuatan tawar yang lebih besar dalam menghadapi tantangan eksternal, menegaskan kedaulatan, dan memperjuangkan hak-hak mereka di panggung dunia.

Kesimpulan: Sebuah Seruan Reflektif di Tengah Badai

Seruan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, agar muslim bersatu, abaikan pertentangan Sunni-Syiah, adalah lebih dari sekadar pernyataan politik biasa. Ia adalah sebuah refleksi mendalam tentang kondisi dunia Islam, sebuah peringatan terhadap intrik eksternal, dan sebuah ajakan untuk kembali pada fondasi-fondasi Islam yang universal. Dengan menekankan kesamaan teologis dan mengidentifikasi musuh bersama, Khamenei berupaya membangun jembatan di atas jurang perbedaan yang telah lama memisahkan.

Meskipun jalan menuju persatuan sejati mungkin panjang dan penuh liku, pesan Khamenei mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati umat Islam terletak pada solidaritas dan kesadaran kolektif. Ini adalah panggilan untuk introspeksi, untuk melihat melampaui perbedaan superfisial, dan untuk menyadari bahwa identitas umat Islam adalah hal mendasar yang melampaui batas-batas negara dan mazhab. Dalam konteks global yang semakin kompleks, seruan ini menjadi pengingat penting akan nilai-nilai persatuan dan persaudaraan yang seharusnya menjadi ciri khas umat Nabi Muhammad SAW.

Bagaimana menurut Anda? Apakah persatuan Sunni-Syiah adalah sebuah keniscayaan atau utopia? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar di bawah.