Dalam lanskap intelektual dan kebudayaan Indonesia, perdebatan mengenai siapa yang berhak dan berwenang menuliskan narasi sejarah bangsa adalah isu yang tak pernah usai. Salah satu pernyataan yang paling mengemuka dan memicu diskursus intens baru-baru ini datang dari Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Ia dengan tegas menyatakan bahwa sejarah tidak ditulis oleh aktivis atau LSM, melainkan harus menjadi domain eksklusif para sejarawan profesional. Pernyataan ini bukan sekadar lontaran opini, melainkan fondasi filosofis di balik proyek ambisius Kementerian Kebudayaan untuk menulis ulang sejarah Indonesia dalam 10 jilid.
Artikel ini akan melakukan eksplorasi mendalam terhadap argumen Fadli Zon, menelusuri konteks di balik proyek penulisan ulang sejarah, mengungkap metodologi yang diusung, serta menganalisis berbagai respons dan kritik yang muncul. Kita akan membedah mengapa Fadli Zon bersikeras pada pemisahan peran antara sejarawan akademis dan kelompok non-akademis dalam penulisan sejarah resmi, serta implikasi dari pendekatan ini terhadap pemahaman kolektif kita akan masa lalu.
Esensi Argumen Fadli Zon: Profesionalisme vs. Kepentingan dalam Historiografi
Pernyataan inti Fadli Zon, yang berulang kali ia tegaskan, adalah bahwa penulisan sejarah adalah tugas sejarawan, bukan aktivis, politisi, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Baginya, hanya sejarawan profesional yang memiliki kapasitas, metodologi, dan historiografi yang memadai untuk menghasilkan karya sejarah yang objektif dan bebas dari kepentingan.
Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat memberikan arahan di IPDN Jatinangor, Fadli Zon menekankan bahwa jika sejarah ditulis oleh aktivis atau politisi, hasilnya “pasti sesuai dengan kepentingannya dong”. Argumen ini berakar pada keyakinan bahwa disiplin sejarah menuntut objektivitas, verifikasi fakta, dan analisis berdasarkan kerangka keilmuan yang ketat. Sejarawan, dengan latar belakang pendidikan dan penelitian mereka, dianggap memiliki perangkat analisis untuk menyaring data dan menyusun narasi yang komprehensif, bukan narasi yang bias atau berpihak pada agenda tertentu.
Ia bahkan membandingkan praktik ini dengan negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika, di mana penulisan sejarah resmi juga dilakukan oleh sejarawan, dengan pemerintah hanya memfasilitasi. Ini memperkuat pandangannya bahwa historiografi adalah ranah spesialis, layaknya insinyur membangun jembatan atau dokter merawat pasien—masing-masing dengan keahliannya sendiri.
Proyek Ambisius: Penulisan Ulang Sejarah Indonesia 10 Jilid
Pernyataan Fadli Zon ini muncul dalam konteks proyek besar Kementerian Kebudayaan untuk menulis ulang Sejarah Indonesia dalam 10 jilid. Proyek ini digagas sebagai upaya untuk mengisi kekosongan narasi sejarah bangsa yang menurut Fadli, belum diperbarui secara komprehensif selama 26 tahun terakhir. Meskipun buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) karya Nugroho Notosusanto dan Sartono Kartodirjo telah menjadi acuan, edisi terakhirnya terbit pada 1984 dan dimutakhirkan datanya hingga 2008. Fadli menilai bahwa rentang waktu yang panjang ini membutuhkan dokumentasi sejarah yang berkelanjutan.
Beberapa poin penting mengenai proyek ini adalah:
- Tujuan: Untuk menyajikan sejarah perjalanan bangsa Indonesia secara komprehensif, bukan hanya fokus pada isu-isu spesifik seperti hak asasi manusia.
- Cakupan Waktu: Dimulai dari periode yang kini disebut ‘awal mula sejarah’ (sejak 1,8 juta tahun lalu) hingga awal pelantikan Presiden Prabowo Subianto (kemudian diperjelas di beberapa sumber hingga era BJ Habibie, dan bahkan Joko Widodo di Tempo, menunjukkan cakupan yang sangat luas dan inklusif).
- Tim Penyusun: Proyek ini melibatkan tim besar yang terdiri dari 113 sejarawan profesional dari 43 perguruan tinggi di seluruh Indonesia, termasuk para doktor, profesor, dan guru besar. Ini adalah bukti komitmen terhadap pendekatan akademis dan profesionalisme.
- Status Proyek: Hingga pernyataan Fadli Zon, penulisan ulang sejarah ini telah mencapai sekitar 70 persen.
Fadli Zon menegaskan bahwa proyek ini bukanlah upaya menulis sejarah dari nol, melainkan “melanjutkan apa yang tidak ditulis” dan melengkapi narasi yang belum lengkap dari penulisan sebelumnya. Ini menunjukkan adanya upaya untuk membangun di atas fondasi historiografi yang sudah ada, bukan menghapusnya secara total.
Inovasi Konseptual: Dari ‘Prasejarah’ ke ‘Awal Mula Sejarah’
Salah satu perubahan terminologi signifikan yang diperkenalkan dalam proyek ini adalah penggantian istilah ‘prasejarah’ menjadi ‘awal mula sejarah’. Fadli Zon menjelaskan bahwa istilah ‘prasejarah’ dianggap usang karena mengesankan bahwa sejarah Indonesia baru dimulai ketika tulisan ditemukan pada abad keempat Masehi.
Tim penulis berpandangan bahwa jejak peradaban dan sejarah di nusantara sudah ada jauh lebih lama dari itu, yakni sejak 1,8 juta tahun yang lalu. Pada periode tersebut, manusia purba di wilayah ini telah menunjukkan adanya kebudayaan melalui penciptaan artefak seperti kapak batu, bola-bola batu, busur, dan berbagai peralatan lainnya. Dengan demikian, sudah ada budaya, sudah ada sejarah sejak masa tersebut, sehingga penggunaan ‘awal mula sejarah’ dianggap lebih tepat dan inklusif.
Menanggapi Kritikan: Waktu, Bias, dan Isu Sensitif
Proyek penulisan ulang sejarah ini tidak lepas dari sorotan dan kritik publik, terutama terkait dua aspek utama: waktu pengerjaan yang singkat dan potensi bias politik.
Kritik atas Waktu Pengerjaan
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Prof. Harry Truman Simanjuntak, sempat mengkritik bahwa idealnya waktu penulisan sejarah yang komprehensif seperti ini adalah 10 tahun. Namun, Fadli Zon menepis kritik ini dengan menyatakan bahwa “dengan keahlian itu sudah cukup waktu, jadi jangan alasan yang aneh-aneh.” Ia kembali menekankan bahwa proyek ini tidak dimulai dari nol, melainkan melanjutkan dan menyempurnakan narasi yang belum lengkap dari penulisan sebelumnya. Keahlian tim sejarawan yang terlibat, menurut Fadli, memungkinkan proses ini berjalan lebih efisien tanpa mengorbankan kualitas.
Potensi Bias dan Independensi
Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, mengusulkan agar proyek ini dihentikan jika hanya bertujuan politis. Dia menilai bahwa penulisan sejarah tidak boleh dilakukan melalui pendekatan kekuasaan yang bersifat selektif dan parsial. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, bahkan berpendapat bahwa penggunaan label ‘sejarah resmi’ berpotensi menutup pintu bagi interpretasi beragam dan dapat menjadi upaya rekonstruksi dengan tujuan kultus individu atau glorifikasi masa lalu yang berlebihan. Kekhawatiran ini muncul karena cakupan proyek yang mencakup periode pemerintahan terkini, termasuk Presiden Joko Widodo.
Menanggapi kekhawatiran ini, Fadli Zon menegaskan bahwa penulisan sejarah ini murni dilakukan oleh kalangan akademik dan pemerintah tidak ikut campur dalam narasi sejarah. Ia meminta masyarakat untuk tidak khawatir karena melibatkan sejarawan profesional yang ahli di bidangnya. Menurutnya, justru yang patut dikhawatirkan adalah jika sejarah ditulis oleh aktivis yang memiliki perspektif masing-masing.
Kontroversi Isu 1998 dan Kekerasan Seksual
Salah satu polemik paling sengit yang muncul terkait pernyataan Fadli Zon adalah seputar isu “perkosaan massal” dalam kerusuhan Mei 1998. Fadli Zon sempat mempertanyakan bukti konkret dari istilah “perkosaan massal”, menyebutnya hanya rumor dan belum ada approval atau fakta yang teruji secara hukum dan akademik. Pernyataan ini memicu kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk aktivis perempuan Ita Fatia Nadia dan Bonnie Triyana, yang menilai Fadli melukai para korban dan mengabaikan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang menyebutkan lebih dari 50 korban kekerasan seksual.
Dalam klarifikasinya, Fadli Zon menegaskan bahwa ia tidak menyangkal keberadaan kekerasan seksual pada masa itu, melainkan menekankan perlunya kehati-hatian dan ketelitian dalam penggunaan istilah “massal” karena dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat. Ia menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta yang terverifikasi, bukan hanya opini atau narasi yang belum memiliki dukungan bukti hukum dan akademik yang kuat.
Lebih lanjut, Fadli Zon juga menepis tuduhan bahwa narasi peran perempuan dihapus dari penulisan sejarah. Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa peran perempuan justru diperkuat dalam struktur narasi terbaru buku Sejarah Indonesia, mencakup isu-isu strategis seperti:
- Sejarah organisasi perempuan pada era Kebangkitan Nasional.
- Peran perempuan dalam diplomasi dan perjuangan militer.
- Upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
- Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender dalam kerangka SDGs.
Ini menunjukkan upaya Kementerian Kebudayaan untuk menghadirkan narasi yang lebih inklusif dan berimbang, sembari tetap berpegang pada prinsip objektivitas dan verifikasi akademis.
Transparansi dan Pelibatan Publik
Meskipun Fadli Zon menekankan peran sentral sejarawan profesional, ia juga mengakui pentingnya keterlibatan publik. Setelah buku 10 jilid sejarah ini rampung, Kementerian Kebudayaan berencana menyelenggarakan diskusi publik secara terbuka. Ini merupakan langkah krusial untuk memastikan bahwa narasi sejarah yang disusun dapat diuji, didiskusikan, dan diperkaya dengan masukan dari berbagai lapisan masyarakat.
Fadli Zon menyatakan bahwa “sejarah bukan milik penguasa, bukan pula milik satu kelompok. Sejarah adalah milik bersama, dan karenanya, harus ditulis bersama dengan tanggung jawab dan empati.” Komitmen terhadap dialog publik ini diharapkan dapat menjembatani kekhawatiran akan potensi bias dan memastikan bahwa hasil akhir adalah narasi yang mencerdaskan, mempersatukan, dan membangun empati di kalangan bangsa Indonesia.
Mengapa Pembahasan Ini Penting?
Polemik seputar pernyataan “fadli zon sebut sejarah tidak ditulis oleh aktivis atau lsm” lebih dari sekadar perdebatan tentang peran individu atau kelompok. Ini adalah cerminan dari pertanyaan fundamental tentang sifat sejarah itu sendiri:
- Siapa yang memiliki otoritas untuk menafsirkan masa lalu?
- Bagaimana kita memastikan objektivitas dalam narasi sejarah?
- Bagaimana sejarah dapat berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa tanpa mengaburkan kebenaran atau mengabaikan pengalaman pahit?
- Sejauh mana peran negara dalam penulisan sejarah dapat diterima tanpa menjadi alat propaganda?
Fadli Zon, melalui proyek penulisan ulang sejarah dan penegasannya, mencoba menawarkan sebuah jawaban. Jawabannya berpusat pada profesionalisme akademis, metodologi yang ketat, dan pemisahan dari kepentingan praktis aktivisme atau politik. Namun, kritik yang muncul menunjukkan bahwa dalam masyarakat demokratis, narasi sejarah yang dominan akan selalu dipertanyakan, diperdebatkan, dan ditantang oleh berbagai perspektif.
Kesimpulan: Menuju Narasi Sejarah yang Akuntabel dan Inklusif
Pernyataan Fadli Zon bahwa sejarah tidak ditulis oleh aktivis atau LSM, melainkan oleh sejarawan profesional, menandai sebuah posisi kuat dalam perdebatan historiografi di Indonesia. Argumennya berakar pada prinsip objektivitas, metodologi ilmiah, dan kebebasan dari kepentingan politik atau agenda spesifik. Proyek penulisan ulang sejarah 10 jilid yang digagas Kementerian Kebudayaan adalah manifestasi konkret dari pandangan ini, yang melibatkan ratusan sejarawan terkemuka dan berusaha menghadirkan narasi komprehensif dari “awal mula sejarah” hingga masa kini.
Namun, seperti halnya setiap upaya besar untuk merekonstruksi masa lalu, proyek ini menghadapi tantangan dan kritik. Kekhawatiran akan potensi bias politik, kecepatan pengerjaan, hingga penanganan isu-isu sensitif seperti kekerasan 1998, menunjukkan kompleksitas dalam menyusun narasi sejarah yang dapat diterima secara luas. Fadli Zon sendiri telah berupaya menjawab kritik-kritik ini dengan menekankan independensi akademisi dan komitmen terhadap diskusi publik.
Pada akhirnya, apa yang kita saksikan adalah sebuah dialektika penting dalam upaya bangsa Indonesia untuk memahami dirinya sendiri. Terlepas dari siapa yang memegang pena, sejarah yang sejati adalah sejarah yang berani menghadapi semua fakta, yang ditulis dengan integritas, dan yang senantiasa terbuka untuk dikaji ulang demi pembelajaran kolektif. Perdebatan ini adalah bagian tak terpisahkan dari proses tersebut, mendorong kita untuk terus mencari narasi masa lalu yang paling akuntabel, inklusif, dan relevan bagi masa depan bangsa.
Bagaimana menurut Anda, seberapa penting peran sejarawan profesional dalam membentuk narasi sejarah resmi sebuah bangsa? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!