Siapa sangka, gedung Mahkamah Konstitusi (MK) yang biasanya identik dengan perdebatan hukum serius, tiba-tiba menjelma menjadi panggung pertempuran ide bagi dua musisi kenamaan Tanah Air: Marcell Siahaan dan Piyu Padi. Bukan, mereka tidak sedang bernyanyi atau beradu skill bermusik. Keduanya hadir sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi Undang-Undang Hak Cipta, pada Kamis (10/7/2025), dan justru beradu argumen tentang masa depan royalti musik di industri musik Indonesia.
Ilustrasi untuk artikel tentang Mahkamah Konstitusi Jadi Panggung Sengit Marcell Siahaan dan Piyu Padi: Mengurai Polemik Hak Cipta Musisi Indonesia
Artikel ini akan membawa Anda menyelami lebih dalam polemik Hak Cipta yang sedang hangat ini, memahami sudut pandang Marcell Siahaan dan Piyu Padi, serta mengapa isu ini sangat penting bagi setiap musisi Indonesia dan seluruh ekosistem musik kita.
Ketika Ruang Sidang Berubah Jadi Panggung Debat Musisi Tanah Air
Sidang lanjutan perkara nomor 28/PUU-XXIII/2025 terkait uji materi Undang-Undang Hak Cipta yang diajukan oleh Nazril Irham (Ariel Noah) bersama 28 musisi lainnya, memang menarik perhatian publik. Kehadiran Marcell Siahaan yang mewakili Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (Pappri) dan Piyu Padi sebagai representasi dari Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), membuat suasana sidang lebih berwarna. Meskipun sama-sama bergelut di dunia musik, pandangan mereka tentang Hak Cipta ternyata berbeda 180 derajat.
Marcell Siahaan: Suara Pelaku Pertunjukan dan Hak Publik
Marcell Siahaan tampil sebagai pihak yang pro terhadap gugatan Ariel Cs. Inti argumennya adalah bahwa hak cipta atas sebuah karya yang sudah dipublikasikan tidak lagi bersifat absolut milik pencipta. Menurutnya, publik juga memiliki hak atas karya tersebut, terutama jika digunakan untuk kepentingan sosial, pendidikan, atau kebudayaan.
Marcell menekankan perlunya peran negara dalam mengatur batasan agar pencipta tidak semena-mena menarik uang dari penggunaan karya untuk aktivitas non-komersial ini.
“Dengan memperhatikan fungsi sosial tersebut, menjadi kewajaran dan keniscayaan apabila hak ekonomi dari kita dibatasi dan netral oleh negara, khususnya dalam hal pemungutan royalti melalui sistem kolektif sebagai perwujudan nyata asas keadilan dan sistem hukum nasional,” ujar Marcell.
Ia juga menyoroti kegelisahan para pelaku pertunjukan musik yang kini sering merasa takut manggung akibat ancaman kriminalisasi, meskipun mereka telah membayar royalti secara resmi. Pasal-pasal dalam UU Hak Cipta yang multitafsir, seperti “jasa penggunaan secara komersial ciptaan” (Pasal 9 ayat 3), “orang” dan “membayar imbalan” (Pasal 23 ayat 5), serta ancaman pidana dalam Pasal 113 ayat 2, dituding menimbulkan ketidakpastian hukum. Marcell, yang juga seorang advokat dan konsultan kekayaan intelektual, berharap Mahkamah Konstitusi dapat memberikan tafsir yang adil demi melindungi musisi dan menjaga keberlangsungan ekosistem musik nasional.
Piyu Padi: Membela Hak Pencipta dan Sistem Hak Cipta
Di sisi lain, Piyu Padi mengambil posisi kontra terhadap gugatan tersebut. Bagi Piyu, sistem hak cipta adalah fondasi penting sebagai bentuk penghargaan negara terhadap kerja intelektual para pencipta lagu.
Ia menegaskan bahwa melalui UU Hak Cipta, negara seharusnya memberikan perlindungan yang layak atas karya warga negara, sesuai prinsip konstitusi. Piyu bersama AKSI, asosiasi yang diisi oleh para komposer terkenal seperti Rieka Roslan, Anji, dan Ari Bias, kerap menyuarakan isu transparansi royalti dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Piyu juga mengklaim bahwa sistem direct license, yaitu lisensi dan pembayaran royalti yang langsung dilakukan antar individu pencipta lagu dan pengguna karya cipta, tidak melanggar hukum. Menurutnya, sistem ini justru bisa menjadi solusi untuk mengatasi kelemahan LMKN dalam mengumpulkan royalti live performing, sebuah sistem yang sudah diterapkan di beberapa negara lain.
Polemik Hak Cipta: Titik Panas yang Tak Kunjung Reda
Perdebatan antara Marcell Siahaan dan Piyu Padi di Mahkamah Konstitusi ini hanyalah puncak gunung es dari polemik Hak Cipta yang sudah lama menghantui industri musik Indonesia. Isu ini menjadi semakin panas pasca putusan hakim yang memvonis Agnez Mo untuk membayar royalti kepada pencipta lagu Ari Bias sebesar Rp1,5 miliar.
Banyak musisi dan pencipta lagu yang merasa kebingungan dan ketidakpastian hukum. Di satu sisi, ada tuntutan bagi pelaku pertunjukan untuk membayar royalti secara transparan. Di sisi lain, para pencipta lagu merasa hak ekonomi mereka belum sepenuhnya terlindungi atau transparan dalam pengelolaannya, terutama melalui LMKN.
Ahmad Dhani, salah satu dewan pembina AKSI, bahkan sempat bersuara keras mengkritik pandangan Marcell terkait izin penggunaan lagu dan pembayaran royalti, menunjukkan betapa sensitif dan kompleksnya isu ini di kalangan pelaku industri musik.
Dampak bagi Industri Musik Indonesia
Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi UU Hak Cipta ini akan sangat krusial bagi masa depan industri musik Indonesia. Ketidakpastian hukum yang ada saat ini telah menimbulkan efek domino, mulai dari pembatalan kerja sama pertunjukan hingga penggunaan ancaman pidana terhadap musisi yang beritikad baik.
Baik Marcell Siahaan maupun Piyu Padi dan organisasi yang mereka wakili, sama-sama ingin menciptakan ekosistem musik yang lebih adil dan berkelanjutan. Perbedaan pendapat mereka menunjukkan kompleksitas masalah ini, di mana ada kebutuhan untuk menyeimbangkan hak ekonomi pencipta lagu dengan kemudahan akses dan penggunaan karya untuk kepentingan publik, serta perlindungan bagi pelaku pertunjukan.
Kesimpulan
Sidang di Mahkamah Konstitusi yang menghadirkan Marcell Siahaan dan Piyu Padi menjadi cerminan nyata dari dinamika dan tantangan yang dihadapi industri musik Indonesia terkait Hak Cipta dan royalti musik. Marcell dengan argumennya tentang fungsi sosial karya dan perlindungan musisi dari kriminalisasi, berhadapan dengan Piyu yang kukuh pada pentingnya hak cipta sebagai bentuk penghargaan terhadap kerja intelektual pencipta lagu.
Kita semua berharap keputusan Mahkamah Konstitusi nanti akan membawa kejelasan hukum dan keadilan bagi semua pihak, sehingga roda industri musik Indonesia bisa berputar lebih sehat dan harmonis, tanpa ada lagi ketakutan atau polemik yang berkepanjangan. Masa depan musik kita bergantung pada bagaimana kita bisa menemukan keseimbangan yang tepat dalam melindungi dan menghargai setiap karya anak bangsa.
FAQ
Tanya: Apa inti polemik hak cipta yang diperdebatkan Marcell Siahaan dan Piyu Padi di Mahkamah Konstitusi?
Jawab: Polemik ini berpusat pada perbedaan pandangan mengenai masa depan royalti musik dan bagaimana hak cipta musisi diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta yang sedang diuji materi.
Tanya: Mengapa sidang uji materi UU Hak Cipta ini melibatkan musisi seperti Marcell Siahaan dan Piyu Padi?
Jawab: Keduanya hadir sebagai pihak terkait yang mewakili asosiasi musisi untuk menyampaikan argumen dan pandangan mereka terkait implikasi UU Hak Cipta terhadap industri musik.
Tanya: Apa perbedaan mendasar antara pandangan Marcell Siahaan dan Piyu Padi mengenai hak cipta musisi?
Jawab: Marcell Siahaan mewakili pelaku pertunjukan dan hak publik, sementara Piyu Padi mewakili Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia, yang mengindikasikan perbedaan fokus pada aspek perlindungan hak cipta.