Yogyakarta, zekriansyah.com – Belakangan ini, jagat maya dihebohkan dengan kabar gugatan Keraton Yogyakarta kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang nilainya terbilang unik: hanya Rp1.000. Angka kecil ini sontak memicu beragam spekulasi dan pertanyaan di kalangan masyarakat. Sebenarnya, apa sih makna di balik tuntutan seribu rupiah ini? Mari kita bedah bersama agar Anda lebih paham duduk perkaranya.
Ilustrasi: Kesepakatan historis antara Keraton Yogyakarta dan PT KAI terungkap, menguak makna di balik nominal gugatan yang simbolis.
Artikel ini akan menjelaskan secara gamblang mengapa Keraton Yogyakarta memilih nominal yang tidak biasa ini, sekaligus mengungkap pesan mendalam di baliknya. Anda akan memahami bukan hanya kronologi kasusnya, tetapi juga kearifan lokal yang terkandung dalam gugatan ini.
Awal Mula Gugatan Keraton Yogyakarta ke PT KAI
Gugatan ini bermula dari klaim Keraton Yogyakarta atas sejumlah bidang tanah yang kini tercatat sebagai aset tetap PT KAI. Padahal, menurut Keraton, tanah-tanah tersebut adalah bagian dari Sultan Ground atau tanah Kasultanan yang memiliki status hukum khusus.
Gugatan yang diajukan oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, GKR Condrokirono, ini bukan semata-mata soal uang. Nominal Rp1.000 yang dituntut justru menjadi sorotan utama dan memicu rasa penasaran publik. Keraton ingin PT KAI tertib administrasi dan tidak mencatatkan tanah milik Kasultanan sebagai aset tetap perusahaan.
Makna “Nuwun Sewu” di Balik Angka Seribu Rupiah
Kuasa hukum Keraton Yogyakarta, Markus Hadi Tanoto, menjelaskan bahwa angka ‘seribu’ atau ‘sewu’ dalam bahasa Jawa punya makna mendalam. ‘Sewu’ ini sering dikaitkan dengan frasa ’nuwun sewu’ yang berarti ‘permisi’ atau ‘mohon izin’.
Kan seribu itu kan sewu, permisi dan sebagainya.
— Markus Hadi Tanoto, Kuasa Hukum Keraton Yogyakarta
Jadi, tuntutan Rp1.000 ini bukan soal nilai materi, melainkan sebuah ‘permisi’ atau peringatan halus dari Keraton agar PT KAI lebih tertib administrasi dan menghormati status kepemilikan tanah Kasultanan. Ini adalah bentuk komunikasi budaya yang sopan namun tegas, mengingatkan bahwa ada aturan dan etika yang harus dipatuhi dalam penggunaan tanah Sultan Ground.
Lebih dari Sekadar Gugatan, Ini Pesan Penting Keraton
Inti dari gugatan ini sangat simpel: Keraton ingin PT KAI tertib administrasi. Mereka meminta agar PT KAI tidak lagi mencatat tanah milik Kasultanan sebagai aset tetap perusahaan.
Markus menambahkan, Keraton sangat memikirkan kepentingan masyarakat Yogyakarta. Oleh karena itu, mereka tidak menggugat materiil yang besar. Tuntutan Rp1.000 adalah cara untuk mengingatkan PT KAI agar tunduk dan patuh pada aturan yang berlaku.
Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY, juga menegaskan bahwa tanah Sultan Ground adalah aset yang sudah dipisahkan dari negara dan bukan milik PT KAI. Menurut Sultan, PT KAI hanya memiliki hak guna bangunan (HGB) atas tanah tersebut, bukan hak kepemilikan.
Kami sepakat, mereka tidak bisa mengeluarkan itu. Harus dibatalkan lewat pengadilan. Makanya hanya Rp1.000 rupiah.
— Sri Sultan Hamengku Buwono X
Sultan juga menyebut bahwa upaya komunikasi sudah dilakukan dengan berbagai pihak, termasuk PT KAI, Kejaksaan, Mahkamah Agung, hingga Kementerian Keuangan. Namun, pembatalan status kepemilikan harus melalui jalur hukum pengadilan.
Bidang Tanah yang Jadi Objek Sengketa
Ada lima bidang tanah yang menjadi objek gugatan Keraton Yogyakarta. Kelima bidang ini dicatat oleh PT KAI sebagai aset mereka, padahal Keraton mengklaimnya sebagai pemilik berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) No. 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, serta Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Bidang-bidang tanah tersebut meliputi:
- Kantor Samsat dan Ditlantas Polda DIY
- Kantor Kecamatan Gedongtengen
- Depo Stasiun Tugu
- Sisi selatan Stasiun Tugu
- Mess Ratih ke barat
Markus Hadi Tanoto juga menegaskan bahwa Keraton Yogyakarta memiliki sertifikat atas tanah-tanah tersebut.
Proses Hukum dan Pihak yang Terlibat
Gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta dengan nomor perkara 137/Pdt.G/2024/PN Yyk tertanggal 17 Oktober 2024. Selain PT KAI sebagai tergugat utama, gugatan ini juga melibatkan beberapa pihak lain:
- PT Kereta Api Indonesia (Persero)
- Kementerian BUMN RI
- Kantor Pertanahan BPN Kota Yogyakarta
- Kementerian Keuangan RI
- Kementerian Perhubungan RI
Sidang perkara ini sudah beberapa kali ditunda, salah satunya karena ketidakhadiran Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan sebagai pihak terkait. Agenda selanjutnya diperkirakan adalah mediasi sebelum masuk ke pokok perkara jika mediasi tidak berhasil.
Kesimpulan
Singkatnya, tuntutan Rp1.000 dari Keraton Yogyakarta kepada PT KAI bukanlah soal nominal uang. Ini adalah pesan mendalam yang sarat akan makna budaya dan kearifan lokal ’nuwun sewu’ atau permisi.
Keraton ingin mengingatkan pentingnya tertib administrasi dan penghormatan terhadap status khusus tanah Kasultanan yang memang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat Yogyakarta. Sebuah langkah hukum yang halus namun tegas, menunjukkan bahwa menjaga adat, kepastian hukum, dan kepentingan publik adalah prioritas utama.