Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, lembaga penjaga konstitusi tersebut resmi menolak beberapa permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang diajukan oleh kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil.
Keputusan ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan: mengapa gugatan tersebut ditolak? Apa artinya bagi UU TNI yang baru? Artikel ini akan mengupas tuntas alasan di balik putusan MK, siapa saja yang menggugat, serta pandangan pemerintah dan DPR terkait proses pembentukan undang-undang penting ini. Dengan membaca artikel ini, Anda akan lebih memahami seluk-beluk proses hukum di Indonesia dan dinamika di balik legislasi negara kita.
Kenapa Gugatan UU TNI Ditolak MK?
Alasan utama yang berulang kali disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam menolak gugatan uji formil UU TNI adalah para pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Apa itu kedudukan hukum? Sederhananya, ini adalah syarat bahwa seseorang atau kelompok yang menggugat harus bisa membuktikan bahwa mereka benar-benar dirugikan secara langsung oleh berlakunya undang-undang tersebut, dan kerugian itu punya hubungan sebab-akibat dengan proses pembentukan UU yang mereka persoalkan.
Simak ulasan lengkapnya dalam artikel: DPR Minta Tolak Gugatan Uji Formil UU TNI: Menelusuri Babak Baru Pergulatan Hukum dan Demokrasi di Mahkamah Konstitusi
Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan pertimbangan putusan, menjelaskan bahwa para pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan kerugian yang mereka alami, yang terkait dengan dugaan masalah konstitusional dalam proses pembentukan UU 3/2025.
“Para pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan kerugian para pemohon, dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan UU 3/2025,” ujar Ketua MK Suhartoyo.
Hakim Konstitusi Saldi Isra juga menambahkan bahwa meskipun para pemohon mengaku sebagai aktivis, mereka tidak mampu menunjukkan bukti nyata keterlibatan dalam proses pembentukan undang-undang, seperti:
- Mengikuti seminar atau diskusi khusus tentang RUU TNI.
- Menyampaikan tulisan atau pendapat langsung kepada DPR atau Pemerintah.
- Melakukan kegiatan lain yang secara konkret menunjukkan upaya aktif dalam proses legislasi.
Bukti-bukti seperti tangkapan layar media daring atau brosur kegiatan demonstrasi tanpa uraian yang jelas mengenai keterlibatan langsung pemohon, dinilai tidak cukup meyakinkan Mahkamah. Dengan kata lain, MK tidak menemukan bukti konkret yang menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian hak konstitusional yang diakui para pemohon dengan proses pembentukan UU TNI yang digugat.
Siapa Saja yang Menggugat dan Bagaimana Prosesnya?
Gugatan yang ditolak ini merupakan bagian dari gelombang permohonan uji formil (mempersoalkan prosedur pembentukan undang-undang) dan uji materiil (mempersoalkan isi atau substansi undang-undang) terhadap UU TNI.
Salah satu gugatan yang ditolak adalah Perkara Nomor 83/PUU-XXIII/2025, yang diajukan oleh lima mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, yaitu M. Arijal Aqil, Nova Auliyanti Faiza, Shanteda Dhiandra, Bisma Halyla Syifa Pramuji, dan Berliana Anggita Putri.
Dalam petitum atau tuntutan mereka, kelima mahasiswa ini meminta MK untuk:
- Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.
- Menyatakan UU TNI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat.
Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, MK juga telah menolak lima gugatan uji formil lainnya dengan alasan serupa, yaitu tidak adanya kedudukan hukum. Berikut adalah daftar gugatan yang ditolak MK hingga saat ini:
Nomor Perkara | Pemohon | Status | Alasan Penolakan |
---|---|---|---|
55/PUU-XXIII/2025 | Swasta | Ditolak | Tidak ada kedudukan hukum |
58/PUU-XXIII/2025 | Mahasiswa FH Universitas Internasional Batam | Ditolak | Tidak ada kedudukan hukum |
66/PUU-XXIII/2025 | Mahasiswa Universitas Pamulang | Ditolak | Tidak ada kedudukan hukum |
74/PUU-XXIII/2025 | Mahasiswa FH Universitas Islam Indonesia | Ditolak | Tidak ada kedudukan hukum |
79/PUU-XXIII/2025 | Mahasiswa FH Universitas Brawijaya | Ditolak | Tidak ada kedudukan hukum |
83/PUU-XXIII/2025 | Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta | Ditolak | Tidak ada kedudukan hukum |
Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa masih ada beberapa gugatan lain terkait UU TNI yang masih diproses dan berlanjut ke tahap persidangan selanjutnya, seperti perkara nomor 45, 56, 69, 75, dan 81/PUU-XXIII/2025. Gugatan-gugatan ini diajukan oleh gabungan mahasiswa dari berbagai kampus (UI, Unpad, UGM) dan Koalisi Masyarakat Sipil (YLBHI, Imparsial, Kontras, serta beberapa aktivis).
Tanggapan Pemerintah dan DPR: UU Sudah Sesuai Prosedur
Pemerintah dan DPR RI secara kompak meminta MK untuk menolak seluruh gugatan terhadap UU TNI. Mereka berargumen bahwa proses pembentukan undang-undang tersebut sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan prinsip keterbukaan.
Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, yang mewakili pemerintah, menegaskan bahwa pembentukan UU TNI dilakukan berdasarkan urgensi nasional.
“Urgensi nasional terkait upaya melindungi dan menyelamatkan Warga Negara Indonesia (WNI) karena meningkatnya dinamika keamanan regional, penguatan stabilitas pertahanan nasional dan internasional, ancaman militer, non-militer, dan hibrida terorisme dan perang siber,” ungkap Supratman dalam Sidang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025.
Supratman juga mengklaim bahwa pemerintah telah menyerap aspirasi publik melalui Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Babinkum TNI sejak 2023. Proses penyusunan hingga pengesahan dinilai telah mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), termasuk partisipasi masyarakat pada tahapan yang diamanatkan MK.
Senada dengan pemerintah, Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto juga berpandangan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Menurutnya, pemohon tidak berkapasitas sebagai TNI aktif, calon prajurit, atau pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan langsung oleh perluasan jabatan sipil yang bisa diisi oleh TNI. Ia juga menegaskan bahwa partisipasi publik telah dilakukan sejak tahap perencanaan hingga pengesahan, melalui rapat dengan pemangku kepentingan dan kunjungan kerja ke berbagai provinsi.
Terkait isu “dwifungsi TNI” yang sering menjadi kekhawatiran publik, DPR berpendapat bahwa hal tersebut merupakan ranah pengujian materiil, bukan formil, sehingga dianggap sebagai error in objecto atau kekeliruan objek yang disengketakan dalam gugatan uji formil ini.
Implikasi Putusan MK dan Langkah Selanjutnya
Penolakan gugatan uji formil oleh MK ini berarti bahwa secara prosedur, Mahkamah Konstitusi menganggap proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI sudah sesuai dengan ketentuan konstitusi. Ini memperkuat posisi pemerintah dan DPR terkait legalitas formal UU tersebut.
Namun, bukan berarti semua perdebatan berakhir. Masih ada gugatan-gugatan lain, termasuk yang diajukan oleh koalisi masyarakat sipil dan mahasiswa dari universitas ternama, yang sedang dalam proses persidangan di MK. Gugatan-gugatan ini akan terus menguji apakah substansi (materiil) dari UU TNI baru ini juga sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Putusan ini juga menjadi pengingat pentingnya bagi masyarakat untuk secara aktif terlibat dan mendokumentasikan partisipasi mereka dalam setiap proses pembentukan undang-undang. Bukti partisipasi nyata, bukan hanya sekadar mengetahui dari media, menjadi kunci dalam membuktikan kedudukan hukum di hadapan Mahkamah Konstitusi.
Kesimpulan
Penolakan gugatan uji formil UU TNI oleh Mahkamah Konstitusi sebagian besar didasarkan pada alasan teknis hukum, yaitu para pemohon dinilai tidak memiliki “kedudukan hukum” yang cukup kuat. Ini berarti mereka tidak dapat membuktikan adanya kerugian konstitusional yang jelas dan hubungan langsung dengan proses pembentukan undang-undang.
Meskipun demikian, dinamika seputar UU TNI ini menunjukkan betapa pentingnya peran masyarakat dalam mengawal setiap proses legislasi. Mari kita terus mengikuti perkembangan kasus-kasus lain di MK dan tetap aktif memberikan masukan konstruktif demi terciptanya peraturan perundang-undangan yang adil dan transparan bagi seluruh rakyat Indonesia.
FAQ
Berikut adalah bagian FAQ yang relevan dan optimal untuk Google Snippet (’People Also Ask’) berdasarkan artikel tersebut:
Tanya: Mengapa gugatan terhadap UU TNI ditolak oleh Mahkamah Konstitusi?
Jawab: Mahkamah Konstitusi menolak gugatan karena para pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas. Artinya, mereka tidak bisa membuktikan kerugian langsung akibat berlakunya UU TNI tersebut.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan “kedudukan hukum” dalam konteks gugatan UU?
Jawab: Kedudukan hukum adalah syarat bagi pemohon untuk membuktikan bahwa mereka mengalami kerugian secara langsung dan ada hubungan sebab-akibat dengan undang-undang yang digugat. Tanpa ini, gugatan dianggap tidak memenuhi syarat formal.
Tanya: Siapa saja yang mengajukan gugatan uji formil terhadap UU TNI?
Jawab: Gugatan uji formil terhadap UU TNI diajukan oleh kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil. Mereka mempersoalkan dugaan masalah konstitusional dalam proses pembentukan undang-undang tersebut.
Tanya: Apa implikasi penolakan gugatan ini terhadap UU TNI yang baru?
Jawab: Penolakan gugatan oleh Mahkamah Konstitusi berarti UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia tetap berlaku sesuai dengan keputusan tersebut. Proses pembentukan undang-undang ini dianggap telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.