Dunia politik memang selalu punya cerita. Kali ini, sorotan tertuju pada pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) terdahulu, Luhut Binsar Pandjaitan, yang mengaku sedih karena merasa jasa-jasa Presiden ketujuh RI, Joko Widodo (Jokowi), seolah dilupakan banyak pihak setelah tidak lagi menjabat. Ungkapan hati Luhut ini langsung disambut respons tegas dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang justru merasa tidak “cengeng” dan menyinggung balik soal siapa yang sebenarnya melupakan jasa.
Menyusul curhatan Luhut Binsar Pandjaitan soal jasa Jokowi yang dianggap dilupakan, PDIP menegaskan sikapnya yang tidak selemah itu, bahkan mengatasnamakan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Penasaran bagaimana drama politik ini bergulir dan apa saja responsnya? Mari kita telusuri lebih dalam.
Luhut Curhat Sedih: Jasa Jokowi Dilupakan?
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan curhatan Luhut Binsar Pandjaitan di media sosial. Ia bercerita sempat menjenguk Jokowi di Bali dan berbincang hangat selama lebih dari satu jam. Dalam unggahannya, Luhut menyampaikan bahwa ia dan Jokowi merasa sedih karena ada pihak yang seolah melupakan jasa-jasa Jokowi selama memimpin.
Menurut Luhut, menghormati pemimpin terdahulu adalah bagian dari budaya bangsa yang patut diteladani. Pernyataan ini sontak memicu beragam spekulasi dan perdebatan, terutama mengingat dinamika politik pasca-pemilu dan hubungan yang sempat merenggang antara Jokowi dan partai lamanya, PDIP.
Respons Pedas PDIP: “Kami Gak Secengeng Itu!”
Tak butuh waktu lama, respons dari PDIP pun mengalir deras. Ketua DPP PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, dengan tegas menepis ungkapan kesedihan Luhut. Menurut Deddy, partainya, apalagi sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, tidak akan merasa “cengeng” hanya karena ada pihak yang melupakan jasa Jokowi.
“Wah, kami mah gak secengeng Luhut. Apalagi Ibu Mega! Hidup itu harus terus berjalan, manis atau pahit,” ujar Deddy kepada awak media. Ia menambahkan bahwa setiap orang pasti ada masanya, dan jika Luhut merasa sedih karena Jokowi ditinggalkan, maka perlu juga membayangkan perasaan pihak-pihak yang mungkin merasa ditinggalkan, dirugikan, atau bahkan dikhianati oleh Jokowi. “Apa yang kita tabur maka itulah yang kita tuai,” tegasnya.
Senada dengan Deddy, politikus PDIP lainnya, M. Guntur Romli, juga mengultimatum Luhut agar tidak memainkan strategi playing victim untuk Jokowi. Guntur menilai bahwa Jokowi bukanlah sosok yang lemah dan tidak perlu dibela dengan cara seperti itu. Justru, Guntur mempertanyakan mengapa Jokowi seolah melupakan jasa orang-orang yang telah mendukung dan memenangkannya, termasuk Megawati dan PDIP, sejak Pilkada Solo, Pilgub DKI, hingga Pilpres 2014 dan 2019.
Dua Sisi Koin: Jasa dan Kekeliruan Pemimpin
Menanggapi polemik ini, Direktur Eksekutif Infonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan terkait jasa Jokowi yang dilupakan terlalu berlebihan. Menurut Dedi, jasa seorang pemimpin tidak mungkin dilupakan begitu saja oleh publik.
“Tidak bisa jasa pemimpin dilupakan, publik tetap ingat jasa Jokowi, hanya saja mungkin tidak memuji, dan memang Jokowi tidak perlu pujian mengingat apa yang ia lakukan selama ini bagian dari amanat negara,” jelas Dedi. Namun, Dedi juga mengingatkan bahwa jasa Jokowi tidak lantas membuat publik melupakan kekeliruan atau kebijakan yang berpotensi mengganggu ranah hukum. Kritik dan desakan untuk perbaikan harus tetap diberi ruang dan dihargai.
Hubungan Jokowi dan PDIP: Retak yang Terlihat Jelas?
Pernyataan Luhut sedih Jokowi dicampakkan PDIP ini seolah menjadi puncak gunung es dari ketegangan yang sudah lama tercium antara Jokowi dan PDIP. Sebagaimana diketahui, PDIP adalah partai yang mengusung Jokowi dari Wali Kota Solo hingga menjadi Presiden dua periode. Namun, hubungan harmonis itu mulai retak menjelang Pemilu 2024, terutama setelah putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, yang bukan dari usungan PDIP.
Berbagai insiden juga mewarnai hubungan ini, mulai dari pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait dugaan rekaman suara Jokowi yang bisa mengarahkan aparat hukum, hingga kasus Harun Masiku yang menyeret Hasto dan dibantah oleh Jokowi. Bahkan, isu Jokowi yang menolak tawaran menjadi Ketua Umum PPP dan justru dikaitkan dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) semakin memperjelas adanya pergeseran loyalitas politik. Semua ini menciptakan narasi bahwa justru Jokowi lah yang “melupakan” atau “mencampakkan” PDIP, bukan sebaliknya.
Kesimpulan
Drama politik terkait pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan yang sedih Jokowi dicampakkan PDIP ini menunjukkan betapa dinamisnya panggung politik Indonesia. Di satu sisi, ada kekhawatiran akan jasa-jasa yang dilupakan, namun di sisi lain, ada penegasan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan setiap pihak memiliki narasi versinya sendiri.
PDIP dengan tegas menunjukkan bahwa mereka bukan partai yang “cengeng” dan siap menghadapi realitas politik yang ada. Kisah ini menjadi pengingat bahwa dalam politik, loyalitas bisa bergeser dan hubungan bisa berubah, meninggalkan pelajaran berharga bagi semua pihak.